10.7.09

When Mr Spiderman Has Gone




Sebenarnya pikiran dan konsentrasiku tidak pada lagu-lagu yang kudengar. Itu hanya sekedar teman malam ini. Aku tersenyum simpul mengevaluasi hari ini. Setelah nangis hebat di belakang kelas tadi, aku muncul dengan senyum ke dalam kelas. Tentu saja teman-temanku kembali menginterogasi.

Dan aku menyerah. Akhirnya ku ceritakan juga tentang tragedi perjodohan itu. Toh pada saatnya nanti mereka juga pasti akan tahu. Di tempat yang sama denganku duduk sekarang beberapa jam yang lalu, teman-temanku hanya mampu memelukku dan berbagi airmata. Tak ada solusi. Namun itu sangat berarti bagiku, karena ada beberapa kepala yang sanggup kubagi dukaku kepada mereka.

Hmm, Aan sama Elsa kemana ya? Tumben mereka tidur jam segini. Aku menjadi sangat kangen pada mereka, seolah-olah kami tidak akan bertemu lagi. Apa anak-anakku nanti se imut dan se lucu mereka ya? Ada banyak ketakutan yang menyeruak hidupku. Aku takut akan nasib masa depanku sendiri. Tiba-tiba menjadi gelap, tak mampu aku merabanya dengan sebuah lilin harapanku yang semakin meredup.

Tiba-tiba dari mp3 ku melantun Nantikanku di Batas Waktu nya Edcoustic. Aku tak ingat kapan pernah menaruhnya di hape.

“Sungguh walau ku kelu, tuk mengungkapkan perasaanku,
namun penantianku, pada dirimu jangan salahkan………”

Aaaarrghhh…….. Segera kumatikan dan ku lepas headset yang memekakkan telingaku. Tak ada penantian di batas waktu buatku. Tak ada penantian. Sebaiknya memang aku menelpon ibu, menanyakkan keadaannya sebelum operasi besok malam.

Dan aku menikmati bercengkrama dengan ibu. Aku kangen ibu. Aku utarakan keinginanku untuk pulang besok, menemani ibu hingga keluar dan sadar dari meja operasi. Namun ibu, dengan suara lemahnya melarangku.

“Ngga usah kesini nak. Ibu ngga apa-apa. Doakan aja dari sana. Biar ibu bisa sehat lagi dan bisa bayar hutang rumah sakit ini. Ibu ngga mau kamu yang dikorbankan nak”.

Suara isak tangis ibu dan aku terdengar bersamaan.

“Ibu, ibu ngga usah mikir macam-macam ya. Ibu siapkan mental aja untuk besok. Echa percaya Ibu akan sembuh”.

“Belajar yang rajin aja disana ya nak. Ngga usah kesini. Ibu ngga apa-apa”.

Dan semakin kencang kuayunkan diriku, hingga pembicaraanku dan ibu berhenti.

Suara handphoneku berdering. Sms masuk dan langsung kubaca.

Cha, kerumah ya. Lgsg ke ruang tengah aj spt biasa.

Aku mengusap air mata. Sedikit tersenyum saja membaca sms tante Sil. Padahal kami kan hanya terpisah tembok saja. Hanya perlu sepuluh langkah untuk sampai ke dapur rumahnya. Aku mengucap salam dan masuk lewat pintu dapur yang masih terbuka, dan langsung duduk pada sofa empuk di ruang tengah karena sudah dipersilahkan via sms tadi.

Tak lama, kulihat Salim, om Ibrahim dan tante Sil habis turun dari tangga dengan wajah serius. Ketika melihatku, Salim tersenyum kaku. Dingin, namun mampu mencairkan suasana sejenak. Kemudian dia berlalu masuk ke balik pintu kamarnya. Om Ibrahim dan istrinya duduk di depanku.

“Besok Salim pulang. Om mau kembalikan motormu”. Kata om Ibrahim sembari menyerahkan kunci dan STNK motorku.

“Kami juga mau ngucapkan terima kasih Cha atas pinjamannya”. Kata tante Sil kemudian. “Ini ada sedikit rezeki dari kami”.

Aku menerima sebuah amplop cokelat. Apa ini? Kubuka perlahan dan aku terhenyak. Lima lembar uang berwarna merah. Lima ratus ribu. Aku tidak bisa menerimanya. Dengan halus aku menolak. Bagaimana bisa aku menerima imbalan atas permohonan kedua orang baik yang telah banyak membantuku ini? Padahal uang kos dua bulan saja belum ku bayar.

“Rezeki jangan ditolak Cha. Ambillah, jangan sampai tante maksa lho ya”. Lagi-lagi tante Sil mendesakku sembari tersenyum tulus.

Ya, aku tidak mampu meolaknya. Toh aku juga sangat membutuhkan uang saat ini. ‘Ibu, ini rezeki buat ibu.’

*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*

Di kostnya Melly, aku dan ketiga temanku berkumpul. Padahal biasanya selepas kuliah aku langsung pulang ke kostku sendiri, cuman hari ini lagi malas. Ngga mau melihat pelepasan si akhi Salim itu. Jadi ya sudah, aku sandarkan saja punggungku ke kasur empuk milik Melly.

Ngga lama, aku di telpon dan diminta pulang sama tante Sil. Aduh, aku dilema nih, pulang ngga ya? Aku khawatir saja kejadian kedatangan akh Salim itu terulang lagi. Saat acara makan siang harus ditunda karena menunggu kehadiranku. Aduh tante ini, aku benar-benar ngga enak diperlakukan istimewa seperti ini.

Akhirnya kuptuskan untuk pulang. Nah benar saja, mereka sudah siap pergi seolah-olah hanya menunggu kehadiranku, aduh jadi GR banget nih. Tante Sil, om Ibrahim, dan kedua anak kecilnya bersiap mengantar sang Sulung ke bandara Sepinggan di Balikpapan. Balikpapan, aku jadi kangen ibu. Seandainya aku diperbolehkan ibu untuk menemaninya, tentu aku sudah minta ikut sama mereka.

Perpisahan. Aku ngga sedih. Karena hanya orang yang berani untuk bertemu yang berani untuk berpisah. Aku hanya tertunduk kaku. Berusaha menjaga pandanganku. Karena mungkin ini pertemuan terakhirku dengannya. Karena bisa jadi setelah menikah nanti aku tidak lagi tinggal di kost ini.

Aku berjalan menuju kamarku. Satu-satunya cara ampuh untuk menenangkan hatiku saat ini adalah tidur. Ya, tidur sejenak.

Aku teringat satu hal yang membuatku beranjak bangun sebelum benar-benar terlelap. Aku lupa mengembalikan novel The Kite Runner pada Salim. Segera saja ku sms tante Sil, karena memang aku ngga punya nomor hape ikhwan itu.

Tak lama ada balasan, dari nomor tak dikenal.

Nnti aja ukh balikinnya. Insya Allah Ramadhan nt ana pulang. ASR.

Aku mendadak sedih lagi. Apa mungkin bisa ketemu lagi?

Tak lama setelah itu, sms masuk lagi. Dari nomor yang sama.

Nt malam, ada yg mau dibcrakan papa sama anti.

Segera saja ku hapus dua sms itu. Aaarggghhhh,….. Kuhempaskan wajahku dengan bantal. Tidur,…. Tidur,….!!! Aku berteriak dalam hati dan kembali menghempaskan punggung ini.

*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*

“Begini Echa”. Suara teduh om Ibrahim memulai pembicaran. Raut kelelahan sehabis perjalanan ke Balikpapan terpancar dari wajah om dan tante ini. “Om punya niat untuk membeli motomu”. Lanjutnya.

Aku terdiam. Apakah ini suatu pencerahan atas doaku supaya mendapat jalan keluar dari kemelut persoalanku? Tapi, bagaimana kalau kakakku itu sudah menjawab lamarannya om Irawan? Bukankah semua akan sia-sia saja dan aku akan kehilangan peninggalan ayah satu-satunya yakni si ranger biru yang setia menemaniku. Aku masih terdiam ketika om Ibrahim melanjutkan perkataannya.

“Rencananya motor itu buat Salim kalau dia pulang lagi kesini. Jadi, selama masih kuliah, kamu bisa pakai motornya seperti biasa”. Om Ibrahim melanjutkan.

“Iya Cha, soalnya kamu kan tahu tante ngga bisa naik motor, jadi ya kamu pakai aja nanti motornya”. Kata Tante Silvi.

Aku masih bimbang. Ya Allah, Kau membantuku lewat perantara keluarga yang baik ini. Tapi, aku masih speechless.

“Bagaimana Cha? Kalau bersedia, malam ini kita langsung akad ya”. Om Ibrahim, masih dengan nada tenangnya, sepertinya bisa membaca kebimbanganku. “Dua belas juta, bagaimana?”.

Aku terkejut mendengar nominal yang disebut om Ibrahim. Dua belas juta.

“Sebentar saya berpikir dulu om”. Jawabku lemah.

“Echa, Om boleh tanya satu hal?”. Kembali om Ibrahim berbicara. Jarang aku melihatnya banyak bicara seperti ini. Aku mengangguk lemah. “Kamu masih mau kuliah atau menikah?”.

Aku terperanjat mendengarnya. Kulihat wajah mereka berdua. Hanya kesungguhan yang kulihat. Lantas, apa maksudnya pertanyaan itu? Tak terasa air mataku keluar.

“Kuliah….”. jawabku semakin pelan. Ada kegetiran kurasa ketika ku menjawabnya.

“Kalau memang mau kuliah, terima niat baik kami untuk membantumu. Insya Allah ada jalan untuk ibumu tanpa harus ada perjodohan itu”.

Aku semakin tersentak. Hei, tahu darimana? Tanyaku dalam hati. Tangsiku semakin meluncur deras. Tante Silvi pindah ke sampingku dan memelukku. Seolah bisa membaca penasaranku, om Ibrahim kembali menjelaskan.

“Salim tidak sengaja mendengar pembicaraanmu kemarin sore. Dan dia menceritakan pada kami malamnya. Om langsung telepon kakakmu dan bilang bahwa kami akan membayar semua biaya pengobatan ibumu dengan syarat perjodohan itu dibatalkan. Sebelum ke bandara tadi kami juga sudah mengunjungi ibumu. Dia titip salam buatmu. Dia baik-baik saja”.

Allahu Akbar. Aku bertakbir dalam hati. Tak perlu kutanya darimana om Ibrahim tahu nomor telepon kakakku. Dia kan baak kostku, tentu saja dia tahu.

“Saya,……. Saya berhutang budi banyak dengan Om dan Tante…”. Ucapku

“Ngga ada yang hutang budi disini. Kalau kamu jual motormu, maka kamulah yang sudah membiayainya sendiri. Kami hanya membantu sebisanya”.

“Nanti kalau kurang tante pinjamkan. Ngga usah mikir bagaimana bayarnya. Ajarin Elsa sama Aan belajar ngaji sama mata pelajaran aja gantinya”. Dan tante Sil melanjutkan.

Aku semakin terhanyut dalam pelukan tante Silvi. Allahu Rabbi.

Sms masuk ke hapeku.

Assalamualaikum. Afwan malam2 sms. Ana ad krm email ke t4 anti, sdkt mnjelaskn klw2 yg dsmpaikn papa krg jelas. ASR

Perlahan aku mulai bisa tersenyum. Bismillah, kulakukan akad jual beli dengan om Ibrahim. Kuambil semua berkas-berkasnya si Ranger Biru. Semoga almarhum ayah tidak marah dengan keputusanku ini.

“Walaupun motor ini jadi punya Salim, kamu tetap bisa pakai kok. Di rumah ini kan selain Salim ngga ada yang bisa naik motor”. Kata om Ibrahim.



*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*


Hari ini seperti biasa aku akan pergi ke kampus. Sebelum pergi aku sempatkan cuci motor sebentar. Malu nih, soalnya kan bukan motorku lagi. Hmm hikmahnya, harus jadi rajin sekarang nih. Sebelum kuliah, rencananya mau ke bank. Transfer uang ke rekening kakakku. Bukankah yang dituntutnya padaku adalah uang. Jadi kuanggap masalah perjodohan itu selesai dengan aku mengirim uang ini. Alhamdulillah, aku bisa bernafas lega. Oh iya, aku sempatkan mampir ke warnet sebentar. Penasaran juga dengan isi emailnya akh Salim. Mungkin dia tahu alamat emailku dari mamanya.


Assalamualaikum.

Afwan ukhti kalau sekiranya email ini kurang berkenan.

Mungkin sudah diceritakan bagaimana akhirnya kami tahu permasalahan anti. Afwan kalau ana tidak sengaja dengar percakapan ukhti di taman belakang. Afwan juga kalau akhirnya permasalahan anti ana ceritakan dengan mama dan papa.

Dan mama antusias sekali untuk membantu anti. Ternyata ana tahu kenapa mama begitu dekat sama anti. Melihat anti mungkin mengingatkan mama akan masa mudanya. Mungkin pakaiannya saja yang membedakan anti sama mama.

Sebagai saudara seiman dan seaqidah, sudah selayaknya kita saling tolong menolong dalam hal kebaikan. Insya Allah apa yang ana lakukan ini sebagai ikhtiyar ana untuk membantu anti.

Semoga apa yang kami usahakan bisa meringankan beban anti.
Oh iya, novelnya nanti saja ya dikembalikannya. Tafadhol dibaca saja dulu.
Insya Allah Ramadhan nanti pulang.

Salam.
ASR.


Kuklik reply, dan kubiarkan tanganku menari-nari pada tuts keyboard komputer didepanku.

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa melepaskan kesusahan seorang muslim dari kesusahan dunia, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat; barangsiapa memudahkan seorang yang mendapat kesusahan, Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat; dan barangsiapa menurutpi (aib) seorang muslim, Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan Akhirat; dan Allah selalu akan menolong hambanya selama ia menolong saudaranya." Riwayat Muslim.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah, ana ucapkan syukur kepada Allah yang telah meringankan beban hamba-Nya, melalui tangan antum sekeluraga yang telah membantu langkah anak yatim seperti ana. Rasanya mengucapkan ribuan terima kasih pun tak mampu membalaskan kebaikan dan pertolongan kalian. Ana hanyalah hamba-Nya yang dho’if, yang lemah dan mudah putus asa dan futur.
Akhi, Allah telah membebaskan ana dari satu ujian yang sangat berat berkat pertolongan antum. Ana sungguh tidak tahu dengan apa bisa membalasnya. Namun ana sepertinya harus menyadari, bahwa ujian aka terus senantiasa mengiring kehidupan manusia. Setelah ujian ini akan banyak ujian lainnya yang menanti ana.
Akhi, kiranya perlu antum ketahui, ana menaruh simpati yang dalam kepada antum sebelum kejadian ini, bahkan setelah antum menjadi pahlawan dalam hidup ana, perasaan itu semakin memuncak. Ana takut hal ini akan menjadi celah syaithan untuk menguji ana juga antum. Ana takut tidak mampu menjaga hati yang masih lemah ini. Ana sungguh takut jika ujian kemarin ana bisa melampauinya, namun untuk ujian ini ana gagal bahkan harus terperosok oleh jurang hina yang sangat dalam.

“Dan janganlah kamu dekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu yang buruk.” (Al-Isra:32)

Akhi, ana menganggap ujian hati ini sama beratnya dengan ujian kemarin. Sungguh Allah sangat cinta kepada ana sekarang.

Ana tidak bermaksud menorehkan virus atau mengusik hati antum dengan coretan kata-kata ana ini. Sungguh, juga tidak bermaksud untuk melupakan kebaikan-kebaikan yang antum dan keluarga antum berikan pada ana. Sungguh ana minta maaf.

Mungkin suatu hari ana mampu meredam perasaan yang terlarang ini. Tapi, siapa yang tahu hati seseorang. Mungkin ana sedang futur dan hati ini bisa saja berpenyakit. Insya Allah, Ramadhan nanti ana akan pulang ke Balikpapan. Usahakan untuk meminimalisir percakapan ya.

Ana sungguh menyadari bahwa tidak ada yang salah pada pembicaraan antum kepada ana. Tapi, ana yang dho’if ini mungkin masih lemah dan terkadang tidak mampu mengendalikan diri. Sungguh, ana ingin menyerahkan cinta ini hanya kepada Allah dan akan menyimpan cinta insani ini sebelum diminta oleh pemiliknya kelak.

Semoga antum tidak terusik akhi dengan email ana ini. Tidak ada maksud apa-apa selain perbaikan diri.

La haula walaa quwwata illa billaah…..
Ya muqallibal quluub, tsabbit qalbi ‘alaa diinik…..

Sekali lagi afwan, bila hal ini menganggu antum.
Jazakummullah khairan katsira.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Reisha Nurmala Fitriani.

Dan klik.
Saved to draft.

Aku menarik nafas panjang. Lega setelah menuliskannya. Meskipun keberanianku hanya seujung kuku untuk mengirimkannya. Kembali ku ulangi proses tadi dengan menulis email di layar yang kosong. Akhirnya, yang terkirim sebagai balasan hanyalah beberapa potong paragraf.


Assaalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah, terima kasih. Semoga Allah membalas kebaikan antum sekeluarga dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa melepaskan kesusahan seorang muslim dari kesusahan dunia, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat; barangsiapa memudahkan seorang yang mendapat kesusahan, Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat; dan barangsiapa menurutpi (aib) seorang muslim, Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan Akhirat; dan Allah selalu akan menolong hambanya selama ia menolong saudaranya." Riwayat Muslim.
Jazakummullah khairan katsira.
Fastabiqul khairaat.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Reisha Nurmala Fitriani.


Dan kali ini benar-benar terkirim. Alhamdulillah. Semoga aku mampu melewati ujian kali ini. Aku harus komitmen dengan pernyataanku kepada om Ibrahim. Aku mau kuliah. Demi ibu dan pembuktian kepada kakak-kakakku. Demi menumut ilmu dan berlomba-lomba dalam kebaikan.

Aku ganti status facebookku terbaru,

“kusampul hatiku, dan kukunci rapat-rapat. kan kubuka jika saatnya tiba”

dan tak lama, sms masuk ke hapeku.

Online terus….!!! Kuliah bu,…!! Dosennya dah masuk…… Melettttttt

Astaghfirullah. Masih saja aku ini pelupa dan ceroboh. Segera ku logout semua situs yang kubuka, bayar warnet, dan secepatnya ngebut.

Semoga Mr Spiderman ngga marah motornya kubuat kebut-kebutan…….



Aku duduk di sebuah ayunan yang berada di depan bangunan kostku. Di tengah taman yang sunyi ini, diteman cahaya bulan sabit yang temaram berwarna keemasan. Aku heran, kenapa malam ini begitu sunyi, tidak seperti biasanya yang begitu hidup dengan suara berisik teman-teman satu kost, tangisan atau suara tawa renyah dari kedua anak Tante Sil, si Andre atau Aan, dan Elsa. Tapi malam ini tidak ada suara. Seperti hidup di kota mati.

Aku semakin kencang mengayun ayunanku. Sembari menatap langit yang tak tahu dimana atapnya kan berakhir dan ditemani alunan merdu penyiar radio yang kudengar dari handphone dengan headset. Sesekali terdengar lagu persada yang sekarang sedang hits. Dan kini, suara Ariel Peterpan bergemuruh di telingaku.

“Takkan selamanya,…”

Hupffftt,…… langsung saja kumatikan radio itu. Bosen ah dengar lagu-lagu mellow dan cengeng. Ku putar mp3 yang ada di hape, kuganti dengan lagu-lagu nasyid. Dan ku ayunkan kembali ayunan kayu ini.

0 komentar:

Post a Comment