29.12.09

Ketika Cinta Tidak Perlu Diberi Nama

Sudah lama ngga ngeblog,,... dilanda malas nulis,... :) tapi itu ngga menurunkan niat dan semangat untuk terus menggali ilmu,...

copast dari http://eramuslim.com/oase-iman/ketika-cinta-tidak-perlu-di-beri-nama.htm semoga bermanfaat,.....



Udara yang cukup panas siang itu cukup membuat pori – pori kulit saya banyak mengelurkan keringat. Tetapi, saya cukup beruntung karena angkot yang tumpangi hanya berisi beberapa penumpang, hingga saya bisa lebih leluasa duduk tanpa harus berhimpit – himpitan dengan penumpang yang lain.

Tidak beberapa lama kemudian, angkot yang saya tumpangi kemudian sedikit merapat untuk kemudian naiklah dua orang penumpang. Seorang wanita yang mungkin umurnya saya perkirakan masih 20-an dengan dua orang anaknya. Secara jujur saya ingin mengatakan penampilan wanita muda itu dengan kedua orang anaknya itu jauh dari kesan menyejukkan mata. Rambut kusam dengan pakainnya yang bila boleh dikatakan tidak layak lagi.

Tetapi yang paling menarik perhatian saya adalah dua orang bocah yang duduk bersama perempuan itu. Dua orang bocah yang penampilan setali tiga uang dengan wanita muda itu. Bocah perempuan yang kira-kita umurnya delapan tahun duduk didekat saya, beberapa benjolan yang berisi nanah mengihiasi kepala dan bagian kaki serta lenganya. Dan sedikit menimbulakan bau yang kurang sedap. Begitu juga dengan bocah satu tahun yang berada dalam gendongan perempuan itu.

Beberapa penumpang yang ada didalam angkot itu, sedikit menutup hidungnya, mungkin karena bau yang ditimbulakan oleh koreng – koreng penumpang kecil itu. Saya yang kebetulan duduk di dekat dua bocah itu, rasaya pun ingin muntah, Karena bau anyir itu.

Merasa tidak diharapkan kehadirannya, wanita itu kemudian merapatkan bocah tertuanya untuk lebih dekat kepada tubuhnya, memeluk tubuh mungil itu dengan sebelah tangannya, sedang tangan yang satu ia pergunakan untuk menggendong bocah yan paling kecil. Tangannya kemudian membelai kepala anaknya yang tertua dan menciumnya penuh sayang.

Melihat apa yang dilakukan wanita muda itu, membuat hati saya jadi terenyuh. Saya yakin wanita itu pasti merasa bahwa orang – orang yang berada di angkot itu merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Namun, perbuatannya tadi itu saya tafsirkan sebagai bentuk pembelaan kepada kedua anaknya. Sebagai bentuk wujud cinta seorang ibu keapada sang anak. Apapun keadaan anaknya.

Ah, saya jadi teringat dengan wanita mulia yang ada di ujung Sumatera. Ibu saya, yang selalu setia menyambut kedatangan saya dari luar kota tempat saya kuliah dengan senyumnya yang menawan. Tak Pernah saya berpikir betapa besar cinta wanita separuh paya itu kepada saya. Sebuah cinta yang murni bagaikan tetesan embun di pagi hari yang menyegarkan suasana pagi hari yang sejuk.

Perasaan cinta. Yang tidak hanya dilatar belakangi oleh nafsu untuk memiliki sepenuhnya yang dicintai. Sebuah perasaan yang tulus untuk kebahagiaan sang buah hati. Sebuah ungkapan kasih sayang untuk sebuah daging yang telah lama bersemayam dalam tubuhnya. Karena sesungguhnya cinta adalah perasaan di mana setiap orang yang memiliki perasaan itu akan sepenuhnya menyerahkan jiwa dan raganya untuk yang di cintai.

Rumit memang, untuk mendefinisikan rasa cinta yang tak akan pernah habis untuk di bahas keberadaannya. Namun, toh tak ada salahnya bila kemudian saya merasakan rasa cinta begitu besar kepada semua yang layak untuk saya cintai apapun itu bentuknya. Tanpa aturan – aturan yang mengharuskan cinta itu untuk di definisikan artinya secara kaku.

Seperti juga perasaan wanita muda yang saya jumpai terhadap dua orang anaknya yang berada di angkot, kepada dua bocah yang mungkin sebagian orang mengganggapnya sebagai makhluk yang jijik. Tapi itulah sebenarnya rasa cinta yang kadang membuat kita memiliki energi lebih untuk melindungi orang yang kita cintai. Toh sebenarnya wanita itu juga mungkin seperti saya, tak mengerti apa itu sebenarnya definisi dari cinta yang abstrak. Wallahu.alam.

by: Dian Sianturi


8.12.09

Catatan Ramadhan: Mencari Makna Perjalanan

Ribuan langkah kau tapaki. Pelosok negeri kau sambangi.
Ribuan langkah kau tapaki. Pelosok negeri kau sambangi.
Tanpa Kenal lelah jemu. Sampaikan firman Tuhanmu.
Tanpa Kenal lelah jemu. Sampaikan firman Tuhanmu.*

*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*

Aku mencoba memejamkan mata di sela-sela deru mesin kendaraan dan hembusan angin yang kencang, serta medan jalanan yang tidak rata. Kulepas jaket tebal yang sedari tadi menyelimuti tubuhku, dan kusembunyikan seluruh wajah dengan jaketku itu untuk menghalau laju angin yang menerpa wajahku. Jam di handphone menunjukkan pukul sembilan malam, artinya masih ada dua jam perjalanan yang harus kami tempuh untuk sampai ke tempat tujuan kami, sebuah Kabupaten yang berada di perbatasan antara Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang lama perjalanan dari kotaku Samarinda kurang lebih tujuh jam. Sebelumnya, telah kami lalui perjalanan menggunakan bus, menyebrang dengan speedboat dan ini angkutan terakhir yang kami naiki.

Semakin aku memerintahkan mataku untuk terpejam, semakin kuat pula dorongan otak utuk melawannya. Berbagai macam pikiran bercampur baur menjadi satu. Teringat beberapa jam lalu sebelum kepergianku hari ini dimulai.


“Bu, uang jajannya ditambahin ya, soalnya lagi ngga ada dana nih buat berangkat.” Pintaku dengan wajah memelas sembari melipat pakaian yang akan ku bawa ke Tanah Grogot. “Soalnya bendaharanya lagi disana bu, lagipula keuangan memang lagi menipis nih. Berangkatnya aja kok ntar pulangnya gampang.” Lanjutku masih dengan wajah yang sama.
“Iya iya. Kalau sudah disana kan ngga bisa minta lagi sama siapa-siapa.” Jawab ibuku sembari mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna biru. “Ini jatah baju lebaranmu ya. Ngga ada tambahan lagi.”
“Baiklah. Alhamdulillah.” Jawabku, sembari tersenyum polos. “Ngga apa-apa deh ngga pakai baju baru, yang penting bisa berangkat.” Senyumku dalam hati.

Supir angkutan Penajam-Tanah Grogot masih memacu kendaraannya dengan kencang, sementara pikiranku masih berputar-putar tak tentu kemana arahnya. Perutku yang belum terisi makanan berat semenjak buka puasa beberapa jam lalu juga mulai memberontak sementara aroma makanan yang telah disiapkan ibu juga menggoda penciumanku. Sementara untuk makan, rasanya tidak mungkin dapat menelan nasi dalam perjalanan seperti ini.

Perang batin bergemuruh dalam pikiranku saat ini.
“Apa yang kau cari dari perjalanan ini Nisa?”
“Aku ngga tahu.”
“Kamu ngga tahu? Setelah sejauh perjalanan dan pengorbananmu kamu ngga tahu apa yang kau cari?”
“Aku benar-benar ngga tahu. Perjalananku adalah pemenuhan tugas dan amanahku.”
“Cuma itu?”
“Aku… A-aku… Ak-aku… sebenarnya aku tahu apa tujuanku. Hanya saja, aku malu, terlampau malu untuk sekedar membicarakannya dalam pikiranku.”
“Memangnya apa tujuanmu….?”
“Jangan tanya. Aku tak mampu mengatakannya….. sudah jangan tanya lagi….!!”

“Ka Nisa,… Ka….” Terdengar suara Aje yang duduk di sampingku membangunkanku dari tidur singkat. “Ada telepon dari Ka Jannah.” Lanjutnya.
Aku meraih handphonenya dan berbicara dengan Ka Jan di ujung telepon sana. Suaranya yang ramai menghilangkan sedikit kantukku.
“Dah sampai di mana de?”
“Ngga tahu Ka masih hutan nih.”
“Tanya sama siapa gitu. Atau sama sopirnya kah.”
“Iya.” Jawabku sambil tersenyum. Rupanya kakakku itu mengkhawatirkan kami juga.

Setelah itu suara yang ku dengar dari ujung telepon bermacam-macam. Sepertinya anak-anak disana berebut ingin berbicara denganku. Mereka adalah adik-adikku yang masih SMA. Semangatnya dalam menyiapkan kegiatan Training Ramadhan ini membuatku haru. Rasanya semua lelah, penat dan dilemaku terbang bersama angin mendengar mereka begitu menantikan kedatanganku. Ribuan langkah aku semakin dekat dengan kalian. Tunggulah kehadiranku disana pejuang-pejuang muda.

*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*

Hari demi hari kulalui disini. Sebuah kota kecil yang suasananya akan aku rindukan suatu saat nanti jika aku pulang. Kotanya masih asri dan suasananyapun tidak begiu ramai. Pernah aku bercanda pada temanku yang asli orang Tanah Grogot kalau suasana jalan rayanya sama seperti di Samarinda jam sebelas malam saking lengan dan sepinya kendaraan. Belum seminggu saja aku sudah hapal jalan-jalannya.

Ya, sudah hampir seminggu aku berada disini. Bergantian dengan Kak Jan mengisi training. Materi keislaman, kepemimpinan, dan yang lainnya juga kami sampaikan. Karena padatnya aktivitas disini hampir saja aku terlupa untuk menelepon rumah. Teringat beberapa malam lau ketika ayah menelepon dan aku bilang bahwa sedang mengisi materi. Teringat pula ketika hari-hari sebelumnya aku menghubungi orang rumah hanya untuk meminta kiriman pulsa. Pikiranku melayang-layang kehilangan fokus. Telingaku terpecah antara mendengarkan lantunan tilawah di masjid dan mendengarkan sisi lain di hatiku yang bergemuruh. Entah karena ikatan kerinduan yang begitu kuat, tak lama kemudian aku mendapat telepon dari rumah.

“Assalamualaikum ka, kapan pulang?” Suara adikku Monik yang masih kelas dua SD mengawali pembicaraan.
“Waalaikumsalam. Besok lusa de.” Jawabku.
Di belakang sana, terdengar suara adik kecilku yang sepertinya ingin bicara denganku juga.
“Kak, Aan mau ngomong.” Kata Monik kemudian.
“Halo…. Kakak apan ulan?” Suara adik balitaku kemudian terdengar.
“Sebentar lagi de. Tungguin aja ya.”
“Bawa ole-ole ya uat Aan.”
Aku tersenyum mendengar celotehannya. Tiba-tiba aku merasa rindu direpotkan olehnya. Merasa kangen bermain ataupun memarahinya. Jikalau aku tidak pergi, mungkin rasa rindu ini tidak kuat seperti biasanya.
“Kalau ada nanti kakak carikan ya. Mana ibu?”
Dan tak lama kemudian berganti menjadi suara ibu.
“Hallo. Eh, gimana sahurnya disana?” Tanya ibuku.
“Enak kok bu. Banyak panitianya yang masak. Kakak tinggal makan aja.” Jawabku.
“Kemaren ibu sakit ngga bisa puasa.”

Lama aku terdiam. Anak mana yang tidak tergetar hatinya mendengar ibundanya yang sakit? Aku merasa bersalah tidak ada di rumah saat ini, ketika ibu membutuhkan aku, menggantikan peranya mengurus rumah. Aku ingin pulang dan berada di rumah saat ini. Mendampingi buku, menggantikannya memasak dan menjaga adik-adikku.

Ada air mata yang tertahan di ujung kelopak mata. Hanya bisa tertahan tanpa aku mampu keluarkan. Entah karena betapa kerasnya hatiku, ataukah ini pertanda rasa cintaku yang teramat dangkal kepada ibu? Ibu yang begitu mengikhlaskan anaknya menjalani aktivitas lebih dari biasanya. Tidak melarang kegiatan ini dan itu seperti kebanyakan orang tua lainnya. Memberi kebebasan sepenuhnya kepdadaku untuk bertanggung jawab terhadap jalan yang telah aku pilih. Tak pernah protes ketika agenda di kampus ataukah kegiatan di luar yang memaksaku untuk pulang senja dan mengurangi aktivitas di rumah bersama keluarga. Ibuuu… batinku berteriak memanggilmu. Andai saja aku bisa pulang saat ini, mungikn aku sudah akan melakukannya.

“Sekarang masih sakit kah bu?”
“Sudah ngga. Ini Ibu sudah puasa. Kemaren empat hari ngga puasa.”
Dan hingga detik aku mendengar suara ibu ini, aku menyadari bahwa ibu mengabarkan setelah ia sembuh. Ibu tidak ingin aku mencemaskan keadaannya.

“Bu…..” Berat kata-kataku untuk melanjutkannya. “…. Nanti kalau kakak ke Samarinda, ada yang mau di selesaikan dulu disini. Jadi, ngga bisa nginap dirumah dulu. ngga apa-apa kah bu?”
“Iya ngga apa-apa. Nanti kabari aja ya.”

Hingga telepon itu terputus pun, aku masih tidak sanggup untuk mengeluarkan air mata. Ya Allah betapa kini kusadari, semakin jauh perjalanan Kau mengajarkanku arti kerinduan. Semakin lama waktu memisahkan akan semakin membuat makna tentang arti pertemuan. Ternyata dengan jalan ini Kau menyadarkan aku arti akan sebuah cinta dari keluarga. Cinta yang sebenar-benarnya cinta. Ketika setiap hari bertemu, bertatap wajah dan bercerita tentang hari-hariku, tentang aktivitasku dan tentang cita-cita dan masa depanku, setiap hari mencium tangan dan memberikan senyuman, rasa kerinduan ini tidak pernah tumbuh sedemikian kuatnya. Kerinduan akan arto sebuah keluarga, baiti jannati. Aku rindu rumah. Rindu yang tak pernah terpikirkan olehku ketika seharian meninggalkan rumah.

Ramadhan ini, aku ingin juga menikmati sahur dan buka puasa bersama ibu, ayah, dan keempat adik-adikku. Monik mulai belajar puasa, Aan belajar bersosialisasi dengan teman sebayanya sembari menikmati buka puasa dengan anak-anak kecil di masjid. Rezza dan Puput belajar rajin shalat dan tepat waktu. Ramadhan ini kami semua mengalami proses belajar. Sementara aku disini, ratusan kilometer dari mereka, aku belajar banyak dari perjalanan. Belajar memahami sebuah makna, sebuah arti dari ikatan indahnya sebuah keluarga.

Teringat kembali dialog batinku saat aku memuli perjalanan ini. Aku malu untuk mengatakan tujuanku menempuh perjalanan ini. Kini ku azzamkan dalam hati dan dalam diri, tujuan itu akan tetap terpatri dalam perjalananku pulang nanti, dan juga perjalanan-perjalanan hidupku setelah ramadhan ini berakhir, dan menyongsong Ramadhan-Ramadhan yang akan datang. Aku berjalan mencari Ridho Ilahi.

“Ibu, besok lusa Kakak pulang. Tunggu Kakak di rumah ya……….”


*Smd,111009*

*spesial buat ade2ku yang ada disana,....*


*) Lirik Nasyid Sang Murabbi, Izzatul Islam


MENUMBUHKAN TRADISI INTELEKTUAL ISLAM INDOENSIA

Oleh : Zulkifli Hasibuan*

Coba kita renungkan apa makna kenyataan sejarah sederhana ini ketika Al Ghazali yang berasal dari kota Thus di Persia ( sekarang Iran ) itu, sibuk menulis karya – karya polemis nya yang ditujukan kepada para Filsuf ( khususnya Ibnu Sina dan Al Farabi ), Indoensia dalam hal ini Tanah Jawah, menyaksikan kerajaan Kediri dengan Jayabaya sebagai rajanya. Al Ghazali dan Jayabaya memang hidup satu kurun, yaitu abad ke 12 Masehi.sebagaimana Al Ghazali yang meninggalkan warisan berbagai karya tulis seperti kitab Ihya ‘Ulumudin, Jayabaya juga meninggalkan sebuah karya tulis yaitu buku “Jangka Jayabaya ”.
Tanpa maksud mengurangi nilai warisan nenek moyang sendiri, namun jelas dari sudut penilain yang tidak apriori memihak, terdapat perbedaan kuantitatif antara isi karya warisan kedua tokoh itu. Yang pertama, Al ghazali mewariskan suatu rangkaian karya – karya renungan kefilsafatan dan kesufian yang amat mendalam, selain banyak yang besifat polemis; sedangkan yang kedua, yaitu Jayabaya mewariskan suatu karya yang oleh banyak orang, lebih – lebih di zaman modern ini dipandang sebagai hasil sebuah kreatifitas imaginative, jika bukan khayalan atau reka – reka belaka.

Penghadapan antara kedua tokoh dari satu zaman dengan mewariskan mereka masing – masing itu mengungkapkan satu kenyataan, yaitu bahwa berbeda dari kesadaran kebanyakan orang – orang muslin Indoensia sendiri, kedatangan Islam ketanah air ini khususnya dan Asia Tenggara umumnya adalah relative sangat baru.kebaruan ini sangat kuat terasa jika kita ketengahkan kenyataan histories lainnya,yaitu berdirinya Majapahit agak jauh sesudah periode Al Ghazali dan Jayabaya. Kerajaan Hindu yang sering dirujuk oleh kaum Nasionalis sebagai contoh persatuan tanah air kita dimasa lalu itu di dirikan pada tahun 1293 M, yaitu sekitar lima setengah abad setelah India tempat lahirnya agama Hindu jatuh ketangan orang – orang Muslim. Jatuhnya India ketangan orang – orang Muslim ini ditandai dengan ditaklukkannya Lembah Sungai Idrus oleh Bangsa Arab pada tahun 711 M. tepatnya pada masa kekuasaan Bani Umayyah di Damaskus. Juga cukup menarik untuk disadari, bahwa Majapahit didirikan hampir seabad setelah kesultanan Delhi di India Utara, yang didirikan pada tahun 1206 M.
Proses pengislaman Nusantara sendiri tergolong sangat cepat, sedemikan cepatnya sehingga membuat pengkaji masalah sejarah Islam terkenal, Marshal G.S Hogson ( Guru besar sejarah Islam Chicago University ), bertanya – tanya apakah gerangan yang sebenarnya terjadi saat itu digugusan Nusantara ini, sehingga agama Islam dalam waktu singkat diterima hampir secara Universal ? pertanyaan ini ternyata memancing munculnya jawaban yang beraneka ragam. Namun satu hal yang sudah jelas, yaitu karena kebaruannya plus kecepatan proses pertumbuhannya itu, sesungguhnya kaum Muslim Indoensia sebagian umat adalah tergolong muda atau baru dalam garis kelanjutan sejarah umat manusia.
Sebagai umat yang masih muda, maka kaum muslim Indoensia hanya memiliki tradisi Intelektual yang relatif muda pula, jika tidak dapat disebut lemah. Ini bias dibuktikan dari isi kepustakaan kita. Sementara itu, dianak benua Pakistan mislanya, disebabkan oleh pengalaman mereka memiliki sejarah keislaman yang panjang dengan kekuasaan politik Islam yang menjadi masa lampau gemilang anak benua itu kita dapati kepustakaan mereka penuh dengan warisan karya – karya klasik oleh anak negeri sendiri, yang mana karya – karya itu memperoleh pengakuan dunia. Dan karena adanya kesenjangan cultural antara kaum Muslim Indonesia dengan dunia Islam pada umumnya, seperti kesenjangan kebahasaan, tidak banyak orang Muslim Indonesia yang mengetahui bahasa Arab, apalagi bahasa – bahasa lain yang banyak digunakan oleh kepustakaan Islam, seperti bahasa Urdu dan Persia. Maka tradisi intelektual yang terjadi diluar itu hanya sedikit saja. Jika memang ada tradisi intelektual hanya mempunyai gaung di tanah air. Dengan mengesampingkan sejumlah kecil tokoh seperti Hamzah Fansuri, Nurudin Ar Raniri, Nawawi Bantani, Ihsan Muhammad Dahlan, Hamkah, kita dapat mengatakan bahwa umumnya tradisi intelektual Islam kita masih kecil menghasilkan karya – karya yang terbatas pada hal – hal elementer, bukan perenungan dan pemikiran yang mendalam.
Keadaan itu tidak bias tidak mengesankan kemiskinan intelektual, dan sebagai konsekwensi dari adanya kemiskinan ini adalah rendahnya kemampuan kita dalam memberi responsi pada tantangan zaman. Untuk memberi responsi pada tantangan zaman itu secara kreatif dan bermanfaat, kita dituntut memiliki kekayaan dan kesuburan intelektual. Kekayaan dan kesuburan intelektual inilah yang disebut sebagai suatu “ Tradisi Intelektual ”, karena ia tidak terwujud seketika setelah dimulai penggarapannya, melainkan tumbuh dan berkembang dalam waktu yang panjang. Dan selama masa pertumbuhan dan perkembangan itu terjadi proses penumpukan dan akumulasi pengalaman masa lampau. Suatu tradisi intelektual tidak akan memiliki cukup vitalitas jika tidak memiliki keotentikan sampai batas – batas tertentu. Sedangkan keotentikan itu antara lain dapat diperoleh dari adanya akar dalam sejarah.
Berdasarkan analisa diatas, tradisi intelektual Islam di negeri ini pun sulit sekali memiliki vitalitas, jika tidak memiliki kesinambungan dengan pemikiran masa lampau. Dan pada zaman modern sekarang ini, kesinambungan temporal atau historis itu juga mulai dalam bentuk kesinambungan spatial atau geografis. Dalam arti bahwa apa yang terjadi di Indonesia, atau suatu negeri ( Islam ) manapun, akan mustahil dapat berkembang dengan baik jika tanpa ada kesinambungan dan keterkaitan dengan yang terjadi di negeri lain. Dalam abad teknologi komunikasi yang semakin canggih sekarang ini yang di ikuti oleh derasnya arus globalisasi __ isolasi cultural dan intelektual oleh siapa saja adalah kemustahilan.
Marilah kita sejenak merenungkan apakah kita kader Pelajar Islam Indonesia ( PII ) merupakan bagian dari kebangkitan ataupun pengusung tradisi intelektual Islam Indonesia ? mari kita lihat seberapa banyak kader PII yang memiliki karya – karya yang membanggakan ? berapa banyak kader PII yang suka membaca , berdiskusi ? seperti nya kita juga mengalami penurunan yang sangat drastis. Padahal salah satu indicator kebangkitan intelektual adalah dengan semaraknya budaya baca dikalangan umat Islam Indonesia terkhusus kader PII.

- Penulis adalah mantan PW PII SUMUT 2006 – 200
- Anggota Jarik Sumut
- LPSDI SUMUT