29.6.15

Aku dan Donna


Aku tahu bahwa hubunganku dengan Donna tidak pernah direstui. Manusia-manusia bodoh itu sungguh keterlaluan. Apa yang mereka harapkan dari makhluk semacam kami? Cinta suci? Ikatan sakral? Meh.

Semua perlakuan keluarga Donna yang menentang hubungan kami, membuatku semakin membenci mereka. Aku tidak tahu jenis sentimentil apa yang melekat padaku di mata mereka. Aku memang harus mengakui, bahwa aku dan Donna bukanlah dari kalangan yang sama. Tapi toh seharusnya itu tidak membuatku dihina, dicaci, dan diusir saat menanti kekasihku di depan pintu. Asal tahu saja, dengan perlakuan mereka seperti itu, justru membuatku semakin nekat untuk menerobos palang apapun yang menghalangi hubunganku dengan Donna.

Malam ini aku ada janji bertemu dengan Donna. Seperti biasa, Donna memintaku untuk menunggu di belokan dekat kompleks rumahnya. Bukannya tidak jantan, kalau memang parameter kejantanan adalah kau berani datang ke depan pintu rumah kekasihmu lalu meminta izin keluarganya. Di pertemuan terakhirku dengan Donna, aku sudah dengan berani menawarkan hal itu. Tapi ditolaknya, "Aku tidak mau ada keributan," ujar kekasihku itu. Lagi pula, aku berusaha untuk realistis. Kalau aku tetap nekat dan Donna diusir dari rumahnya, mau ditampung di mana kekasihku itu? Di tempatku? Oh tidak. Rumahku tidak cukup layak untuk betina cantik seelok Donna.

Sekarang berdoa saja, semoga Donna bisa lolos begitu saja malam ini dari cengkeraman keluarganya yang over protektif.

Beberapa waktu kemudian, refleksku membuat aku menggerak-gerakkan bagian belakang tubuhku, kegirangan! Siapa yang tidak senang melihat kekasihnya datang? Donna menghampiriku setelah kelelahan berlari sekian jauhnya dari rumah.

"Semuanya baik-baik saja?" tanyaku.
"Hahahahaa, baik..., aku berhasil meloloskan diri lagi.... Jangan tanya bagaimana!" Senyumnya merekah begitu indah, bak rembulan yang tengah purnama malam ini, sebagai latar pertemuan yang sudah dijanjikan.

Aku hanya tertawa melihat kekasihku begitu riang, setelah bisa membebaskan dirinya kembali malam ini. Oh, Donna sayang. Tahu tidak? Pertama kali bertemu, kekasihku ini begitu angkuh. Jangankan bermimpi bisa mendapatkannya sebagai belahan jiwa, menoleh pun dia tidak. Tapi ternyata lihat sekarang, bahkan dengan mengajaknya pergi diam-diam, keluar dari kebiasaannya dan melihat dunia dari perspektif luas dan sudut pandang yang berbeda, sudah bisa membuatnya bahagia. Betapa beruntungnya aku bisa memiliki Donna. Dia pun harusnya merasakan yang sama denganku.

"Sekarang kita pergi? Aku mau menunjukkan sesuatu padamu."
"Ke mana?"
"Rahasia. Kalau aku kasih tahu sekarang, bukan kejutan lagi namanya."
"Ah kamu, nyebelin!"
"Tapi suka, kan?"
"Hehehe."

Kami berjalan beriringan. Jika perjalanan kami tidak semulus sesuai dugaan, akulah yang memimpin jalan. Memberitahukan seluk beluk terdekat untuk mencapai tujuan. Percayalah, untuk memberikan kejutan malam ini, aku sudah menyiapkannya sejak beberapa minggu yang lalu. Pasti Donna akan senang. Atau bagaimana justru jika yang terjadi adalah sebaliknya? Mmm, berdoa saja itu tidak akan terjadi.

"Nah sudah sampai." Aku memanjat tembok yang cukup tinggi, disusul Donnaku kemudian. Lalu kami berdua bersisian.
Kekasihku terkejut, sesuai dengan perkiraan awal.
"Ini di mana? Kita tidak akan mengintip kan?"
"Justru bagian menyenangkannya itu ada di dalam sana, di bagian mengintipnya."

Ya, Donna tidak salah. Dan jelas dia harus mengubur dalam-dalam harapannya jika ia berharap akan berjalan menuju tempat romantis, makan malam spesial atau perburuan menyenangkan seperti momen terakhir pertemuan sebelumnya. Aku mengajaknya mengintip ke sebuah rumah mewah, yang sebenarnya berlokasi tidak jauh dari kediamanku berada. Ini bahkan lebih mewah ketimbang rumah Donna.

"Ikuti aku." Aku menuntunnya melewati lorong rahasia yang kuketahui sebelumnya. Perasaan senang yang awal mula tumbuh dalam benak Donna, semoga tidak luntur hanya karena ekspektasinya tidak sampai. "Aku janji, kau akan menyenangi aktivitas ini nantinya. Ada sesuatu yang mengejutkan di sana."

Dan akhirnya kami sampai juga. Dua buah lubang pada langit-langit kamar yang sudah kusiapkan sebelumnya. Bagiku, apa yang akau kusaksikan malam ini adalah tontonan menarik.... "Kita lihat saja apa yang akan terjadi."

Mulanya Donna memekik, beruntung aktvitas manusia di bawah sana terlalu—bagaimana aku bisa mendeskripsikan pegang-pegangan tangan dan tatapan penuh mesra antar sesama lelaki yang sedang kusaksikan dari tempat persembunyianku ini? Ya begitulah. Sehingga keduanya tidak terusik oleh suara-suara kami yang lirih dari tempat persembunyian.

"Menjijikan," sahut Donna lirih.
"Coba perhatikan, apa kau nggak mengenal pria berbaju biru itu?"
"Mana?"
"Yang itu."
"Oh! Galang?!"
"Ya, Galang yang terakhir kali menyiramku pakai air panas itu. Lihat, ekorku masih belum pulih sepenuhnya. Huh, sialan."
"Rangga, bagaimana ini? Aku nggak bisa percaya!"
"Aku terlalu kesal sama dia sampai-sampai aku mengikuti gerak-geriknya. Lihat apa yang kudapat?"

Donna masih pucat pasi, bahkan ketika aktivitas dua adam itu semakin intim.

"Pulang. Aku mau pulang, Rangga!" pekik Donna yang mau tidak mau membuatku luluh. Dan akhirnya menyerah. Kami pulang, bersisian seperti di awal. Melompati pagar-pagar tinggi, berjalan melalui atap rapat rumah-rumah kampung di belakang kompleks mewah itu.

"Maaf, Donna. Aku nggak maksud buat kamu sedih."
"Aku..., aku hanya kaget!"
"Kaget kenapa? Heran karena ada manusia yang perbuatannya melebihi hewan?"
Donna mengangguk, pupilnya membesar dan ada rona sendu yang berhasil kutangkap dari raut wajahnya.
"Andai aku bisa berbahasa seperti manusia berbicara, tahu nggak apa yang ingin kuucapkan?"
"Apa?"
"Ah..., nggak jadi saja."
"Hmmm, begitu?" Betina ras persia itu, kalau ngambek gemesin banget.

"Hanya tidak habis pikir saja. Tapi toh bukan urusan kita. Aku hanya ingin kau membuka mata, Donna. Berdoa saja, semoga anak kita kelak nggak seperti mereka."
"Kata siapa bukan urusan kita?" Donna sedikit protes.
"Kataku, barusan. Kalau ada manusia yang menyalurkan syahwatnya dengan cara yang hewan saja nggak mau melakukannya, aku bisa komentar apa, Donna?"
"Ngg, kamu bisa komentar, kalau kamu, kucing kampung paling pintar, ganteng yang aku punya!"
"Hahahaha."


_______
Diikutkan dalam @KampusFiksi #FiksiLGBT

2.6.15

Bungkus atau Isi?


Bungkus atau isi?


Seringkali dalam hidup, kita melakukan beberapa hal terpaku oleh kemasan atau bungkusnya saja, namun mengabaikan esensi atau makna yang terkandung di dalamnya. Bahkan, hidup kita akan sangat melelahkan, bisa juga dikatakan sia-sia dan menjemukan apabila kita hanya menguras pikiran untuk mengurus bungkusnya saja dan mengabaikan isinya. Sekarang, mari kita coba untuk membedakan, mana yang bungkus, dan mana yang isi.

  • Rumah yang indah, hanyalah bungkusnya saja; keluarga bahagia, itulah isinya.
  • Pesta pernikahan, hanya bungkusnya saja; cinta kasih, pengertian, dan tanggung jawab itulah isinya.
  • Ranjang mewah, hanyalah bungkusnya saja; tidur nyenyak itulah isinya.
  • Kekayaan, hanyalah bungkusnya saja; hati yang gembira itulah isinya.
  • Makan enak, hanyalah bungkusnya saja; gizi, energi, dan sehat itulah isinya.
  • Kecantikan dan ketampanan, hanyalah bungkusnya saja; kepribadian dan hati itulah isinya.
  • Bicara, hanyalah bungkusnya saja; apa yang dilakukan pada kenyatannya itulah isinya.
  • Buku, hanyalah bungkusnya saja; Pengetahuan yang terkandung di dalamnya itulah isinya.
  • Jabatan, hanyalah bungkusnya saja; pengabdian dan pelayanan itulah isinya.
  • Kharisma, hanyalah bungkusnya saja; karakter itulah isinya.

Marilah kita belajar untuk lebih mengutamakan isi ketimbang bungkus, meskipun begitu, jangan lupa pula untuk tetap merawat bungkusnya.

Cerita Ruas Jari


Coba perhatikan jari kita, masing-masing jarinya mempunyai tiga ruas. Jika diibaratkan dengan usia manusia, dan kalau dihitung setiap ruas jari adalah lima tahun, maka kita akan mendapatkan pada satu jari, ada lima belas tahun kehidupan.

Mari kita memulai dari jari kelingking. Dari jari yang terujung, kehidupan manusia dimulai, lima belas tahun pertama. Ini adalah masa keemasan manusia, di mana pertumbuhan sedang mengalami masa pesat-pesatnya. Kalau ingin menjadikan hidup berakhir dengan jempolan, maka dimulainya harus dari yang paling ujung, jari kelingking. Apa saja yang perlu dipenuhi pada masa jari kelingking ini? Tentu saja penanaman nilai-nilai harus sudah mantap pada fase ini, fase di mana tumbuh kembang anak-anak mengalami masa emasnya, semua nilai berakar dan bermula di sana. (Kalau anak-anak berantem, atau berjanji, mereka biasanya memakai jari kelingking, kan?)

Selanjutnya, setelah kelingking kita beralih ke jari manis, lima belas tahun kedua fase manusia, yakni usia 15 hingga 30 tahun. Di sini adalah fase kedewasaan awal. Pada ruas jari pertama, adalah masa bermulanya proses kedewasaan, atau bisa juga masa peralihan dari sosok anak kecil-remaja, menjadi sosok yang sedang menuju dewasa. Dua ruas jari setelahnya adalah tahap lebih lanjut. Seharusnya, di fase ini, proses kedewasaan sudah dimulai dan berkembang dengan maksimal. Fase pernikahan, pendidikan, semuanya seharusnya sudah selesai pada tahap ini agar tahap selanjutnya bisa berjalan dengan maksimal. Kehidupan rumah tangga dimulai pada fase ini, di mana pondasi awal kehidupan baru dengan pasangan dibangun dan dikuatkan. (Itulah kenapa kalau orang menikah, pasang cincinnya di jari manis.)

Nah, ketika fase jari manis sudah tuntas, sekarang kita berada pada fase jari tengah. Jari tengah adalah jari tertinggi, usia dalam fase ini pun juga adalah puncak dari masa kehidupan seseorang. Usia 30 hingga 45 tahun adalah masa keemasan manusia, baik dalam karir, pekerjaan, rumah tangga, anak. Di usia ini, kondisi tubuh juga sedang mengalami fase primanya. Itulah mengapa, seseorang yang telah berhasil melalui fase-fase sebelumnya, akan mengalami puncak kehidupannya dalam usia ini.

Setelah melalui fase gemilang, kehidupan berada pada fase jari telunjuk, usia 45 hingga 60. Lihat jari telunjuk, kan? posisinya di bawah jari tengah, yang artinya, dari segi fisik, manusia mengalami penurunan. Tapi coba perhatikan, apa yang bisa dilakukan oleh jari telunjuk? Ya, "menunjuk". Masa kematangan pemimpin berada dalam masa ini.

Lantas bagaimana lagi sesudahnya? Adalah fase ibu jari, puncak dari segala kehidupan. Masa kecil penanaman nilai spiritual, moral, dan nilai-nilai lain dalam kehidupan dipenuhi, lalu fase dewasa awal dilewati dengan baik, kemapanan di puncak karir juga terlampaui dengan baik, menjadi pemimpin amanah, maka pada fase tua, manusia akan dikenal dengan jempol teracung. Bahkan, ketika ia tiada, semua orang tidak akan lupa dengan apa yang telah diperbuat padanya semasa hidupnya. Husnul khotimah.