20.7.09

mak, ada bom...!!!!!

Atikah berlari memasuki rumahnya. Terburu-buru ia melepas sepatu dan menuju ruang tengah yang hanya berisi perabotan sederhana dan sebuah televisi 17 inchi. Melihat emaknya sedang makan bersama ketiga orang adiknya yang masih kecil-kecil, Atikah segera berlari dan menghampiri merka.

“Mak, ada bom mak…!! Di Jakarta ada bom…!!” Katanya sedikit panik.
“Apa tho Tikah, datang-datang bukannya salam dulu langsung teriak-teriak ada bom.” Jawab emak sembari asyik menyuapi Budi, adiknya Tikah yang masih berusia tiga tahun.
“Mak, Tikah serius nih, tadi pagi di Jakarta ada bom. Coba emak lihat tv.”Dan Tikah pun menyalakan televisi yang sedari tadi mati.

“Innalillahi,…. Tuh kan mak, Tikah ngga bohong. Coba emak lihat sendiri, semua stasiun tv meliput berita yang sama. Hotel JW Marriot sama Hotel Ritz Carlton di bom tadi pagi. Sudah ada korban yang meninggal mak.”

Sang emak menoleh sebentar ke arah televisi, kemudian kembali pada aktivitas makan siangnya sembari menyuapkan nasi ke anak-anaknya.

“Makan dulu sana.” Kata emak datar.
“Yah emak. Komentar dikit donk. Indonesia lagi gawat begitu.” Jawab Atikah sembari melepas tas selempangannya dan pergi ke dapur mengambil piring. Kemudian, dia bergabung dengan mak dan adik-adiknya di ruang tengah. Matanya masih menatap televisi memantau pemberitaan terbaru mengenai bom yang baru saja tadi pagi meledak di Jakarta.
“Makan dulu Tikah.” Kata emaknya sekali lagi.
“Iya mak.” Jawab Tikah sembari memalingkan wajahnya ke arah makanan yang ada di piringnya.

*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*


“Tikaaah,………..!! Bantuin Emak di warung…!!” Teriak Emak dari warung yang berada di salah satu bagian rumahnya.

Dengan sedikit malas dia melangkah menuju warung. Matanya masih tertuju pada layar televisi yang kecil yang kini menyiarkan breaking news pidato presiden mengenai kejadian tadi pagi. Sengaja ia besarkan volume televisi sehingga meskipun tidak melihat, namun dia masih bisa mendengar suara berita. Kemudian, dia melanjutkan menggoreng pisang goreng yang dijual emaknya. Sementara emak sibuk melayani pembeli. Setelah pembeli itu pergi, kembali Atikah membuka pembicaraan seputar bom itu kepada emaknya.

“Mak, kasihan tuh pak presiden. Tikah hampir nangis dengar pidatonya.”
“Halah kamu ini. Anak kecil tahu apa tho.”
“Iya mak, sampai-sampai pemain bola itu ngga jadi main di Indonesia. Negara-negara lain juga ngeluarkan Travel Warning ke Indonesia. Trus pasti berpengaruh sama perekonomian negara yang mulai stabil.” Celoteh Atikah sembari menggoreng pisangnya.
“Ya trus maunya apa nduk? Biar aja lah bom itu di urusin sama negara. Kan ada polisi, ada tentara. Masak iya rakyat miskin kayak kita disuruh mikirin bom juga”
“Yah emak.”
“Loh, bener tho? Sekarang mikirnya gini aja. Ada nggak hubungannya bom itu sama kerjaan bapakmu, sama jualan emakmu? Ngga ada kan? Kalo bapakmu itu pengusaha atau pejabat kaya raya sana, wajar kalo emak disuruh mikirin juga. Lha wong bapakmu itu cuma tukang becak, makmu penjual gorengan kok disuruh mikirin juga. Emakmu ini yang dipikirin ya uang semsesteran mu yang belum dibayar. Adikmu yang mau masuk SD. Itu. Kok tega bener kalo negara juga minta diperhatiin masalah bom sama emak. Bisa botak kepala makmu ini Tikah.” Kata emak panjang lebar.

Atikah terdiam sejenak.

“Sudah, kata-kata emak ngga usah dipikirin. Biar kamu aja sana anak-anak mahasiswa sama pemerintah yang ngurusin bom-bom itu. Emak ngga ngerti nduk. Ngertinya Cuma ngulek bumbu, sama bikin pisang goreng. Cari duit biar bisa makan besok. Sudah kamu aja sana bantuin pemerintah, biar nanti kita dibantu juga, disejahterakan.”

Atikah kembali terdiam. Di satu sisi, dia ingin menunjukkan kepeduliannya pada negara. Bahwa betapa dahsyat akibat dari pemboman itu bagi negaranya, juga nama Islam yang kembali dikait-kaitkan dengan pelaku pemboman ini. Bahkan tim sepakbola MU pun membatalkan rencana bermain di Indonesia, yang sudah lama sekali dinanti-nantikan penggemarnya dan dipersiapkan dengan biaya yang tidak sedikit.

Atikahpun disadarkan oleh perkataan emaknya tadi. Ia terdiam. Betapa masalah perekonomian keluarganya tidak boleh ia lupakan. Dalam hati Atikah juga berdoa. Semoga dengan adanya pemboman ini, orang-orang yang memiliki kuasa atas negara sana juga tidak terlupa dengan permasalahan-permasalahan rakyat ataupun permasalahan yang lain yang harus diselesaikan secepatnya.

“Hei, jangan ngelamun nanti pisangnya gosong.”
“Eh, iya mak.” Jawab Tikah sembari tersenyum.
“Ya mudah-mudahan aja pelakunya cepat ketangkep, trus pemerintah bisa ngurusin kita lagi.” Kata emaknya sembari membalas senyum kecut Atikah. “Orang kecil kayak kita ya cuma bisa bantunya lewat doa, ngga bisa mikirin apa-apa. Lha wong yang dipikirin sendiri juga banyak kok ya. Makanya kuliah yang rajin. Nanti kamu nduk, kalo jadi orang besar jangan lupa sama orang kecil, dipikirn juga nasib kita-kita ini wong cilik.”

Dan Atikah pun tersenyum lebar. Melihat secercah harapan yang dibebani di pundaknya. Tentang penghidupan yang lebih layak, dan tentang masa depan bagi rakyat kecil sepertinya dan ribuan orang lainnya yang tersebar di Indonesia.


0 komentar:

Post a Comment