10.7.09

Ikhlaskan Kakakmu ya Nad,....





“Hehe. Maaf de. Soalnya kakak juga lagi sibuk. Masuk malam ini. Sejam lagi musti pergi”. Jawabnya sembari mengikuti mataku yang menatap jam dinding. Pukul sepuluh malam. “Sebenarnya, kakak memang lupa”.

Sudah kuduga.

“Tadi Marinda yang mengingatkan”.

Mendadak wajahku layu. Meskipun ku sudah menduganya, tapi aku tidak menduga kalau nama itu akan muncul pada pembicaraan malam ini. Mengapa harus disebut namanya? Bisakah kau berbohong atau tidak perlu mengatakan ini? Nadia, sudahlah. Kamu bukan termasuk orang yang terdapat dalam sabda Rasulullah yang memperbolehkan dusta dalam tiga perkara. Kamu kan bukan istrinya. Sudahlah terima saja. Kata hatiku mulai bergemuruh.

Dan suasana menjadi hening. Baik ibu, aku maupun kak Ivan tidak ada yang membuka suara.

“Nadia, kamu mau hadiah apa dari kakak?”. Tanya kak Ivan.

“Ngga usah ka, sebentar lagi juga gajian”. Jawabku. “Sebenarnya ada sih. Ngga tahu kenapa tadi pas baca buku mata kanan ini kok kabur ya? Apa pengaruh umur yang sudah tua kali ya?”. Sambungku lagi.

Dan kemudian, keluarlah beberapa lembar kertas berwarna merah dari dompetnya. Aku tertawa dalam hati. Aku masih seperti yang dulu, yang selalu merengek minta hadiah saat usiaku semakin bertambah. Kali ini sih sebenarnya sudah ngga mau lagi. Tapi berhubung ada yang menawarkan diri dan aku memang butuh kacamata, ku terima saja hadiah ulang tahun dari kakakku itu. Akan panjang pembahasan kalau aku menolaknya.

“Jazakallah ya kak”. Jawabku sembari tersenyum.

“Iya,. Sudah 27 ya. Kapan mau nambahin cucu buat ibu?”. Tanya ka Ivan.

Ini lagi yang di bahas. Aku sudah berusaha menghindari pertanyaan ini seharian dan selalu mendapatkan pertanyaan yang intinya sama. Dan kini ada lagi yang bertanya.

“Belum ketemu jodoh kak”. Jawabku singkat.

“Jodoh harus dicari Nad”.

“Kamu lah Van, carikan temanmu atau siapa gitu yang pantas buat pendamping adikmu”. Dan ibu pun bersuara.

“Sudah tiga kali bu. Ditolak semua sama Nadia. Ivan curiga Nadia punya calon sendiri. Kasitahu lah de, biar kakak bantu prosesnya, kasihan kan Ibu”. Lanjut ka Ivan.

‘Ngga usah bawa-bawa Ibu disini!’. Protesku dalam hati. Dan untuk beberapa saat aku terdiam.

“Biar kakak yang menikah lagi duluan. Baru Nadia. Nadia masih ingin jaga Naila bu. Nadia khawatir Naila bakal terlupa kalau Nadia menikah. Walau bagaimanapun, Naila itu seperti anak Nadia sendiri. Dan Nadia belum akan menikah sebelum kakak mendapatkan ibu yang pantas untuk Naila”. Jawabku tegas.

Tanpa sengaja aku menggiring pembicaraan ke topik yang baru.

“Ya sudah Van, sana cari pengganti Sinta. Biar Nadia juga cepat menikahnya”. Kata Ibu tiba-tiba.

“Lho bu, kok jadi Ivan sekarang yang disuruh menikah?”.

“Lho kamu nda dengar barusan kata-kata adikmu?”. Sela Ibu. “Kamu sendiri sudah punya calon kah Van? Ngga baik menduda terlalu lama”.

“Bingung bu”. Jawab ka Ivan pelan, nyaris tak terdengar. “Sebenarnya ada. Tapi…”

“Nadia ngga setuju dengan Marinda”. Potongku tiba-tiba. Setelah sedari tadi mendengar pembicaraan ibu-anak ini.

Kak Ivan hanya terdiam kaku mendengar pernyataanku barusan. Aku menang disini. Karena apapun pernyataanku selalu akan didukung ibu. Ibu ada bersamaku. Dan penolakanku itu, bukan tanpa alasan. Dan alasan itu selalu kulontarkan setiap kali permasalahan ini muncul ke permukaan.

“Jadi baiknya seperti apa Nadia?”. Sepertinya kak Ivan sudah kehabisan kata-kata.

Aku tertunduk lesu. Menatap kaus kakiku dan memilin ujung jilbab biru muda yang ku kenakan. Tak terasa airmata mengalir deras dari pipiku.

“Nadia hanya ingin……. Kakak mendapatkan isteri yang sebaik almarhumah mba Sinta. Bahkan kalau bisa, lebih baik dari mba Sinta…… Nadia…”. Aku menyeka airmataku dengan ujung tangan gamisku. Sementara ibu, duduk di sebelahku sembari mengelus punggung kurusku.

“Nadia hanya ingin…….. Naila mendapat…….. ibu yang terbaik…… Itu sebenarnya kado ulang tahun yang Nadia inginkan dari kakak”.

Dan hening kembali terjadi. Hingga kami mendengar dengan jelas tangis Naila dari kakarku. Aku berlari menuju kamar. Menutup pintu, melepas jilbab dan kaus kakiku kemudian berbering di sampingnya. Terdengar nyaring Naila memanggil kata ‘umi’, kata yang dulu pertama kali di ucapkannya. Aku mengelus penuh cinta pada gadis mungil piatu ini. Menyadari keberadaanku di sampingnya, Naila kembali melanjutkan tidur dan aku meneruskan tangisku pelan. Beberapa bulan ini, dia tidak lagi tinggal bersamaku. Berdua dengan ayahnya. Kecuali kalau kak Ivan tugas malam seperti ini, maka aku lagi yang menemaninya.

Kado itu, begitu beratkah untuk kau berikan padaku kak?

Air mataku kembali meleleh deras. Dan ku lihat ibu membuka pintu kamarku dan tersenyum, dan kembali menutup pintu. Setelahnya aku mendengar suara motor yang semakin lama semakin tak terdengar.

Hupft…. Aku menepis perasaan yang seringkali hinggap di benakku. Apa ini cinta? Tidak. Aku tidak boleh mencintai dia. Dia kakakku. Cukup cinta itu sebagai seorang kakak saja. Bukan cinta yang lain.

Tapi tetap saja ngga bisa. Aku pun juga tidak bisa mencintai dia sebagai kakak. Karena pada kenyataannya dia bukanlah kakak kandungku. Dia bukan mahrom bagiku.

Astaghfirullah, keluar lagi air mataku.

Aku adalah Naila masa lalu. Terlahir dari seorang ibu yang langsung tiada ketika melahirkanku, dan dicampakkan oleh ibu tiri yang telah merebut kasih sayang dari bapakku. Dan kemudian, ibu Rahmah mengambilku, menyelamatkan masa depanku dan memelihara bersama anak lelaki tunggalnya yang lebih tua dua tahun dariku. Dan aku bahagia karena ibu begitu sayang padaku.

Dan aku tidak mau nasib yang sama padaku menimpa Naila ku.

Ah cinta. Apakah cinta membukakan mata dan menulikan telinga. Sehingga ku biarkan dua orang itu terluka? Tiga, bukan dua. Ibu juga. Tapi, bukan itu alasan aku menolaknya. Aku tahu siapa Marinda.

Aku menangis tersedu. Ketidaksukaanku pada Marinda bukan tanpa alasan. Mba Marin, biasa ku memanggilnya begitu, adalah sosok akhwat yang lebih tua setahun dariku. Wajahnya begitu cantik dan baik. Sangat baik malah. Akhir-akhir ini dia mencoba untuk dekat dengan keluarga kami. Terutama denagn ibu dan Naila. Tidak ada alasan untuk menolaknya menjadi calon istri. Dia nyaris sempurna di mata manusia. Cantik, karir bagus, reputasi bagus, dan berasal dari keluarga terpandang. Dan dibanding aku, aku tidak ada apa-apanya.

Hanya saja, banyak gaya hidupnya yang tidak berkesesuaian dengan gaya hidup keluarga kami. Ada ketakutan yang sangat besar melanda hatiku. Aku takut, kakakku tidak mampu mengimbangi hidupnya dan aku takut, didikanku pada Naila akan berubah secara sangat drastis. Aku takut dia tidak bisa menerima seorang kakakku yang hanya seorang pegawai kantoran biasa, yang dengan gaji bulanan yang tidak sebanding dengan kebutuhan hidupnya. Aku takut dia tidak bisa menerima status duda kakakku yang ditinggal istrinya ketika melahirkan. Aku takut dia tidak mampu menjadi ibu bagi ananknya. Aku takut. Dan seribu ketakutan melanda diriku.

Aku mengenal mba Marin dengan baik. Pernah beberapa saat mabit bersama dengannya. Bahkan berkali-kali menginap di rumahnya. Dengan itu sedikit banyak akupun bisa menilai gaya hidupnya. Aku memang jahat, menilai orang secara sepihak saja. Penilaianku berat sebelah!. Astaghfirullah aku jahat sekali.

Ku langkahkan kaki menuju kamar mandi. Mengambil air wudhu, dan berniat istikharoh. Menyerahkan semua pilihan terbaik kepada Allah. Allahu Akbar. Kuangkat takbir dan megagungkan namaMu.

‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan kepada Mu dari anugerah Mu yang agung. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa dan aku tidak berkuasa. Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui, dan Engkaulah Zat Yang Maha Mengetahui perkara-perkara yang gaib….’

*_*_*_*_*_*_*

“Ikhlaskan kakakmu ya…”

Suara lembut dari mba Sinta mengalun dalam mimpiku. Dan aku sontak terbangun. Keringat mengucur deras dari wajahku. Sayup-sayup terdengar adzan subuh dari masjid dekat rumah. Ilahi, inikah jawaban istikharohku?. Kulangkahkan kaki memenuhi panggilan Ilahi. Setelah dzikir kuucap usai shalat, kuraih handphoneku dan mengirim pesan singkat untuk kakakku.

Nadia restui kk sama mb Marinda. Insya Allah.







Samarinda, 8 Juli 2009 13.10



Aku menggendong Naila menuju kamarku. Gadis mungil berusia dua tahun itu sudah terlelap semenjak dibawa ayahnya kesini. Kemudian, aku kembali ke ruang tengah. Disana ada Ibu dan kak Ivan.

“Nad, selamat ulang tahun ya”. Kata kak Ivan yang duduk tepat di depanku, dipisahkan meja jati dan taplaknya berwarna hijau bunga-bunga.

“Kirain sudah lupa. Jam berapa ini sudah?”. Aku menjawab dengan senyum kecil sembari melirik jam dinding yang terpampang megah di dinding ruang keluarga kami.

0 komentar:

Post a Comment