19.12.13

Pesan dan Kesan di Buku Tahunan

Assalamuaaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Terima kasih kepada anak-anak saya semua yang sudah memberikan kesempatan kepada saya untuk bisa menjadi wali kelas kalian selama dua tahun ini. Ada banyak sekali kesan yang terekam dalam perjalanan kebersamaan kita selama di sekolah. Suka dan duka silih berganti, namun semoga jika ada hal-hal yang kurang berkenan atau tidak menyenangkan dapat tereduksi oleh kenangan indah yang telah kita lalui bersama. Terima kasih karena telah bersama-sama saling belajar memaknai dan menggoreskan arti kehidupan. Semoga apa yang telah terukir selama perjalanan kita dapat dijadikan sebuah kisah klasik untuk masa depan.

Pesan saya, jadilah seperti bintang yang dapat memancarkan cahaya sendiri dari dalam diri kalian, jadilah seperti bulan yang memantulkan cahaya yang berguna tidak hanya untuk dirinya sendiri. Jangan pernah berhenti untuk beresonansi dalam menggetarkan kebaikan dalam kehidupan. Teruslah berkarya, bagai fluida dinamis yang terus mengalir tiada pernah berhenti. Ciptakan momentum dan berikan impuls yang positif pada sekeliling kalian. Jangan pernah melupakan jasa orang-orang yang berarti dalam kehidupan, kekalkanlah dalam ingatan menjadi bentuk energi yang tidak akan pernah hilang dalam perjalanan kalian selanjutnya.

Selamat melanjutkan perjalanan.

5.11.13

Curhat Buat Sahabat

Sahabatku, usai tawa ini Izinkan aku bercerita: Telah jauh, ku mendaki Sesak udara di atas puncak khayalan Jangan sampai kau di sana Telah jauh, ku terjatuh Pedihnya luka di dasar jurang kecewa Dan kini sampailah, aku disini... Yang cuma ingin diam, duduk di tempatku Menanti seorang yang biasa saja Segelas air di tangannya, kala kuterbaring... sakit Yang sudi dekat, mendekap tanganku Mencari teduhnya dalam mataku Dan berbisik : "Pandang aku, kau tak sendiri, oh dewiku..." Dan demi Tuhan, hanya itulah yang Itu saja kuinginkan Sahabatku, bukan maksud hati membebani, Tetapi... Telah lama, kumenanti Satu malam sunyi untuk kuakhiri Dan usai tangis ini, aku kan berjanji... Untuk diam, duduk di tempatku Menanti seorang yang biasa saja Segelas air di tangannya, kala kuterbaring... sakit Menentang malam, tanpa bimbang lagi Demi satu dewi yang lelah bermimpi Dan berbisik : "Selamat tidur, tak perlu bermimpi bersamaku..." Wahai tuhan, jangan bilang lagi itu terlalu tinggi

19.10.13

Learning

“Ah, child and youth, if you knew the bliss which resides in the taste of knowledge, and the evil and ugliness that lies in ignorance, how well you are advised to not complain of the pain and labor of learning.”   Christine de Pizan  
Source

15.10.13

Kerudung Jingga | Kejutan Sebelum Ramadhan

Pengantar: Ehm, cerpen ini ikut dibukukan dari 200 karya terpilih dari @nulisbuku





 ------------o0o-------------

Setiap orang lahir dengan banyak impian yang dihembuskan menjadi doa dalam helaan napas ibundanya ketika pertama kali ia menyapa dunia. Sebuah hela napas panjang seorang ibu yang memutus fase mengandungnya, mengantarkan ia menuju fase amanah baru yang akan dipikulnya sepanjang hayat sebagai seorang insan. Kiriman doa akan terlantun begitu saja ketika mendengar tangisan pertamanya. Namun beban beratnya kehidupan, menjadi bayang-bayang begitu tangisan selanjutnya terlantun menggema memenuhi ruangan tempat ia dilahirkan.

Aku lupa dengan tangisan pertamaku ketika lahir di dunia. Tapi entah mengapa, aku selalu teringat tangisan-tangisanku selanjutnya. Apakah itu karena aku terlahir tanpa impian, tanpa doa atau tanpa harapan dari orang-orang? Ataukah aku terlahir hanya menjadi beban bagi kehidupan yang semula sudah amat berat? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, sekarang aku hanyalah seorang lelaki beranjak dewasa yang setahun lagi menginjak kepala dua namun masih terjebak pada seragam putih abu-abu.

Tak perlu kuhabiskan waktu menjelaskan mengapa berulang kali aku tidak naik kelas, atau seberapa bermasalahnya aku dengan orang yang ada di sekelilingku. Bagiku hidup bukan hanya selembaran nilai rapor yang harus ditandatangani orang tua setiap akhir semesternya. Bagiku, hidup jauh lebih rumit daripada itu. Dan kenyataan bahwa orang yang menyebabkan rumitnya hidup yang harus ku jalani ini adalah orang yang amat ku sayangi, itu semakin menambah rumit kehidupanku.

Lupakan sejenak tentang itu. Kini, pikiranku tiba-tiba beralih pada sebuah fokus kehidupan yang lain. Mentari Jingga memang mengguratkan keindahannya yang cukup menyihir walau hanya sekejap mata dan kemudian pergi. Aku tidak memiliki kuasa untuk menahannya, karena aku bukanlah siapa-siapa. Pemuja rahasia? Mungkin saja. Mungkin aku seorang yang menunggu semburatnya untuk mengantarkanku terlelap dan bermimpi. Karena di siang hari, aku tidak memiliki mimpi yang nyata. Karena di malam hari ketika tidur, itulah impianku yang sesungguhnya.

            Ah, aku tidak mampu mengontrol wajahku untuk tidak tersenyum ketika melihat wajahnya dari kejauhan.

***

Aku tidak tahu apa itu cinta. Tapi apabila kamu merasakan kebencian yang amat sangat dalam, namun dengan hanya melihat mata teduhnya saat ia kelelahan kamu mampu melupakan semua kebencianmu, apa itu dinamakan cinta? Kata orang, cinta butuh bukti tidak sekedar pernyataan. Ketika kamu tiba-tiba berpikir untuk melakukan sesuatu sebagai bukti cintamu, apakah kamu sedang merasakan jatuh cinta? Kalau memang seperti itu, maka aku akan membuktikan semua itu pada orang yang sangat ku cintai dan akan berusaha memaafkan semua kesalahannya. Kesalahan fatal sekalipun.
 
***

Pagi ini, aku melihat Mentari Jingga sedang sibuk dengan kardus-kardusnya, dan instruksi-instruksi yang keluar dari bibirnya. Betapa sibuknya sekelompok orang di depan gerbang sekolah ini. Hari ini sekolah diliburkan jelang Ramadhan, dan seperti agenda rutin tahunan sekolah ini, OSIS akan melaksanakan bakti sosial membagi sembako ke Panti Asuhan sebagai kado Ramadhan kepada yang kurang mampu. Dan jangan tanya mengapa hari ini aku ada di sekolah, karena aku juga sedang berencana memberikan kado untuk orang yang spesial.

            “Ran! Ini kardus gula yang belum di packing kamu bawa ke anak-anak di sekretariat untuk di packing sekarang!” Teriaknya pada seorang gadis berkacamata bernama Rani yang berdiri tidak jauh darinya.

            “Mamat, Mat! Sumbangan Bu Neni sudah diambil belum? Ambil sana gih ntar gak keburu di pack sama anak-anak!” Teriaknya lagi pada yang lain. Dan semakin terlihat betapa sibuknya dia memberikan instruksi pada yang lain. Ia sendiri, gadis belia berkerudung putih susu, sibuk pula mengangkat beberapa dus yang tertumpuk di depan gerbang sekolah. Sementara aku, si berandal yang terkenal suka bikin rusuh, mengamatinya sambil berpura-pura membaca buku, di sebuah bangku tidak jauh dari situ.

       “Tari… Tari…!” Seorang anak perempuan teman sekelasku yang ku tahu bernama Nita menghampirinya dengan tergesa-gesa. “Pihak Panti Asuhan sudah siapkan acara penyambutan nanti jam sebelas. Tapi mobil pick up yang kita sewa kemarin barusan konfirm nggak bisa ngantar. Aduh Gue bingung musti sewa kemana lagi. Pakai mobil anak-anak udah Gue hitung-hitung nggak cukup. Mana acaranya tiga jam lagi, di sekretariat masih banyak yang harus dikerjakan lagi” Sambung Nita dengan panik.

            Bisa kulihat kalau Mentari Jingga sang ketua panitia mulai panik dengan situasi yang tidak diduga ini. Menurutku sih ini masalah sepele saja, namun sepertinya karena kelelahan sejak tadi pagi, juga mungkin dari kemarin-kemarin, ia bingung juga. Aku menghentikan bacaanku dan segera datang menghampiri mereka. Sebuah kejutan sepertinya melihat reaksi kedua orang ini yang memandangku dari ujung kaki hingga ujung kepala seperti sedang memberikan sensor Sinar X padaku.

            “Ada yang bisa dibantu?” Ucapku datar sambil membalas tatapan aneh mereka berdua.

            Taka ada balasan.

            “Hmm oke sorry, tapi tadi gue gak sengaja dengar dari sana.” Lanjutku sembari menunjuk ke arah bangku dimana tadi aku tiduran sambil pura-pura baca buku. 

Tak ada balasan lagi.

“Gue bisa mengusahakan pick up jam sepuluh. Gue bisa nyetir. Asal harga sewanya cocok, gue juga bisa bantu angkat-angkat barang.”

            Mungkin mereka masih kaget dengan keberadaanku, dan tawaran bantuan itu. Seorang Adhan Pradana, siswa yang hampir setiap bulan diskros karena kenakalannya, yang dua kali tidak naik kelas, yang tidak pernah peduli dengan sekelilingnya tiba-tiba datang menawarkan bantuan. Setiap orang pasti punya masa kelam dalam hidupnya, dan anggap saja ini adalah titik balik dalam kehidupanku. Bukankah setiap orang harus berubah menuju kebaikan? Sepertinya kejadian semalam cukup membuatku sadar untuk berubah. Dan inilah momen pertama kebaikanku.

            Walau terperangah cukup lama, akhirnya mereka setuju. Transaksi disepakati, bahkan aku menawarkan harga separuh dari yang mereka sepakati dengan penyewa pick up sebelumnya. Tapi kemudian aku juga membuat kesepakatan untuk menambah lima puluh ribu rupiahs ebagai biaya tambahan untuk aku ikut bantu mengangkat-angkat barang. Mereka menyepakati, karena tentu saja dengan tambahan itu mereka cukup diuntungkan karena mendapatkan harga yang masih jauh lebih murah dari sebelumnya. Dan bagaimanapun, ini adalah penghasilan pertamaku dari hasil keringat sendiri. Akan ku gunakan untuk membeli kado untuk orang yang ku cinta.

***

“Makasih Dhan untuk hari ini.” Ucap Tari sembari ikut membersihkan barang-barang seusai acara.

“Makasih untuk apa? Gue kan sudah dibayar professional, hahaha.” Jawabku sembari tertawa renyah.

“Emmm, kalau begitu, Saya mau minta maaf, karena… karena…”

“Karena salah sangka sama Gue? Sudah biasa kok. Seharusnya Gue yang minta maaf ke orang-orang kali ya, karena sudah jadi orang jahat selama ini.”

“Eh, tapi tetap saja Saya salah. Apa bisa dimaafkan?” Pintanya tulus.

Aku terdiam sejenak. 

            “Begini saja, Gue mau minta bantuan sama Elo. Dan setelah selesai, Gue anggap kesalahan Lo, yang sebenarnya bukan kesalahan sih ya, itu dimaafkan.” Jawabku. 

Kemudian aku jelaskan permohonanku, dan dia mengangguk sembari tersenyum. Aku merasa bunga-bunga bermekaran sebelum musimnya.

***

            Langit menggurat jingga mengantarkan kepulangan Mentari Jingga ke rumahnya. Dan aku terpaku sendiri menatap bungkusan cantik berpita emas di jok depan pick up yang baru saja diduduki oleh Mentari Jingga. Kerudung pilihannya sungguh cantik, tidak salah aku memilih dia untuk menemaniku memilihkan kado spesial ini. Entahlah, dari sekian banyak gadis berkerudung di sekolahku, aku memilih dia untuk menemaniku membelikan kado ini. Namun untuk berharap lebih pada gadis sholeha sepertinya, aku perlu berkaca diri. Menerima maafnya hari ini pun rasanya tidak pantas, dan mengetahui dia akan bersedia memenuhi permintaanku hari ini, rasanya seperti mimpi.

            Kini aku dihadapkan kepada pilihan sulit berikutnya untuk menyerahkan kado ini kepada orang yang tepat. Aku tidak mempunyai keberanian. Bahkan hanya untuk meletakkannya begitu saja di dalam kamarnya tanpa berkomentar apa-apa, rasanya sulit. Tapi sekali lagi, cinta butuh pembuktian dan aku harus berani membuktikannya.

***

            Ini sahur pertama. Namun aku terbangun bukan karena mendengar aktivitas dapur, tapi oleh isak tangis dari kamar sebelah. Pasti Ibu baru datang. Mungkin ia baru menyadari ada bungkusan tergeletak di kamarnya. Aku ingin pura-pura terpejam namun aku tidak bisa. Lebih baik aku ke dapur saja menyiapkan makan sahur untukku. Bukankah ini sahur pertamaku setelah sekian lama? 

            Kemudian terjadi begitu saja, orang yang begitu ku benci namun amat sangat ku cintai tiba-tiba muncul dengan air mata berderai, mengambil panci dari tanganku. Aku duduk memandanginya mengambil alih pekerjaanku. Aku menatapnya lama. Ia masih cantik, terlebih dengan kerudung jingga yang kini dikenakannya. Ingin aku teriakkan ‘aku sayang ibunda’ tapi tertahan begitu saja di rongga dada.

            “Maafkan Ibu Nak. Akan sulit untuk mengakhirinya sekarang. Namun Ibu akan berusaha.” Ucapnya lirih. “Dan kejadian kemarin malam, Ibu janji tidak akan terulang kedua kalinya.”

            Sekelebat muncul kembali peristiwa itu. Seorang ibu paruh baya datang ke rumah, menanyakan dimana suaminya pada Ibu. Memaki-maki, mengucapkan kata-kata sumpah serapah hingga semua tetangga keluar. Menampar dan menarik rambut ibuku dan menampar pipinya. Aku yang mencoba melerai keduanya terkena pukulan di kepala. Namun pukulan di hatiku amat jauh lebih sakit kurasa. Ibu itu mungkin terluka atas apa yang –aku tidak tahu- mungkin telah dilakukan ibuku pada kehidupannya. Namun aku, yang sepanjang usiaku hingga kini dinafkahi dan dibesarkan oleh ibu tanpa pernah tahu siapa ayahku, amat sangat jauh lebih terluka karena tak memiliki daya, bahkan untuk membela ibuku sendiri.

Wanita yang kini memakai kerudung jingga itu, telah menghabiskan dua puluh tahun hidupnya sebagai seorang Wanita Tuna Susila.

            “Adhan sayang Ibu.”

14.10.13

Seperti Itulah

Aku mencintainya...
Aku melihatnya membaca buku itu...
Kemudian aku pun ikut membacanya...

Aku jatuh cinta pada buku itu...
Aku menyukai jalan ceritanya...
Aku mencintai penulisnya...

Aku mencintai buku-bukunya yang lain...
Aku mencintai tulisannya...

Sampai sekarang aku masih mencintai buku itu, penulisnya, dan buku yang lain yang ditulisnya...
Tapi aku tidak mencintai dia lagi...

Seperti itulah hubungan kami...


28.9.13

Nina Gordon ~ The End of The World

Why does the sun go on shining
Why does the sea rush to shore
Don't they know it's the end of the world
'Cause you don't love me any more

Why do the birds go on singing
Why do the stars glow above
Don't they know it's the end of the world
It ended when I lost your love

I wake up in the morning and I wonder
Why everything's the same as it was
I can't understand, no, I can't understand
How life goes on the way it does

Why does my heart go on beating
Why do these eyes of mine cry
Don't they know it's the end of the world
It ended when you said goodbye

Why does my heart go on beating
Why do these eyes of mine cry
Don't they know it's the end of the world
It ended when you said goodbye


Lagi suka lagu ini. Dicopast dulu lah ya liriknya, baru ntar diapain gitu kek. Hehehe.

Fairy Tales


 
   But Sam, you know.
Fairy tales aren't just about finding handsome princes.

They're about fulfilling your dreams...
...and about standing up for what you believe in.   A Cinderella Story

Kisah Kaum Sophis

Dua ribu lima ratus tahun yang lalu, terdapatlah sekelompok orang cerdas di Yunani. Mereka biasa dipanggil kaum Sophis (Sophist), yang dalam bahasa Yunani berarti “orang-orang bijak.” Mereka sangat terkenal di Athena, mungkin dapat kita bandingkan dengan para selebriti zaman sekarang. Diantara mereka terdapat nama-nama filsuf ternama masa itu seperti Heraclitus, Protagoras, Gorgias, Hippias, dan Prodicus.

Kaum Sophis ini hadir dengan mengusung paham skeptisisme, yang intinya adalah meragukan segala hal. Bagi kaum Sophis tidak ada yang disebut dengan kebenaran mutlak. Yang ada hanyalah kebenaran subyektif, kebenaran orang per orang, bukan kebenaran universal. Benar dan salah hanyalah soal opini. Sekiranya kebenaran itu memang ada mereka tetap tidak percaya bahwa manusia bisa sampai pada kebenaran itu.

Kendati merupakan kumpulan orang-orang yang tidak punya keyakinan, kaum Sophis justru pandai meyakinkan orang. Hal ini karena mereka mengembangkan berbagai teknik  berpidato dan berdebat. Ketrampilan ini masa itu sangat dibutuhkan oleh para elit Athena ketika menghadapi perdebatan dalam sidang dewan mahkamah Athena. Oleh karena itu mereka memanfaatkan kepandaian ini dengan mengajarkannya kepada para bangsawan dengan imbalan uang.

Tidak seperti sekarang, masa itu tidak ada filsuf yang mengajar demi mendapat imbalan. Mengajar bagi mereka bukanlah sebuah profesi, tapi merupakan kewajiban mereka untuk mewariskan ilmu pengetahuan. Itu sebabnya filsuf Yunani lainnya seperti Socrates mencela kaum Sophis karena baginya seorang guru tidak patut mengambil keuntungan dari pengajarannya.

Kaum Sophis tidak hanya mengajar seni berpidato dan berdebat, tapi juga menanamkan sifat munafik kepada murid-muridnya. Sebagai contoh, murid-murid mereka disuruh berpidato tentang dua hal yang saling bertentangan. Misalnya, murid disuruh berpidato yang membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Setelah itu murid tersebut diminta berpidato untuk membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada. Jika sang murid mampu melakukan kedua hal itu sama meyakinkannya, maka mereka dinyatakan lulus. Jadi, disini bukan benar atau salah yang penting, tapi bagaimana cara memenangkan perdebatan. Itu sebabnya Sophisme seringkali dikonotasikan sebagai argumentasi yang cerdas tapi sebenarnya menyesatkan.

Meskipun telah ribuan tahun berlalu tidak berarti ajaran Sophis telah mati. Pengikut paham Sophis ini justru semakin banyak kita temukan di masa sekarang. Mereka tersebar dari berbagai profesi yang ciri utamanya adalah menjadikan retorika sebagai senjata seperti politisi, pengacara, wartawan, pejabat pemerintah, hingga pegiat LSM,. Senjata utama mereka adalah kelihaian beradu pendapat yang dilakukan lewat lewat ucapan, tulisan, atau gambar (visual). Jika perlu debat kusir berkepanjangan akan mereka layani sampai musuh mereka takluk.

Selama memberikan keuntungan, maka semua itu sah-sah saja bagi mereka. Para politisi bersilat lidah agar terlihat berpihak rakyat, padahal hanya ingin dipilih lagi. Para pengacara mencari-cari dalih agar kliennya yang salah dibebaskan karena dia dibayar mahal untuk itu. Para wartawan memutar balik fakta agar beritanya laku. Pejabat pemerintah sibuk membesar-besarkan prestasi agar rakyat tak gelisah karena pajak yang tinggi. Pegiat LSM sibuk protes sana sini demi mendapat sokongan dana dari negara asing.

Satu-satunya cara menghadapi kaum Sophis adalah dengan ilmu yang benar. Sebab, ilmu yang benar dapat mengenal celah-celah kepalsuan retorika kaum Sophis. Dan sebaik-baik ilmu yang benar adalah yang datang dari Yang Maha Mengetahui (wahyu) karena ilmu ini bersifat mutlak, sempurna, dan abadi. Dengan ilmu yang benar seseorang akan terhindar dari perangkap retorika kaum Sophis.

Oleh : Wendi Zarman

24.9.13

Fall (or Fool) in Love (?)

Sejauh ini aku telah jatuh cinta dua kali.
Pada orang yang layak, namun diwaktu yang salah.
Karena hanya mengejar bayangan yang terus pergi menuju cahaya.
Iya, mereka pergi menuju cahaya,
Namun aku hanya terpaku, menatap bayangan yang semakin pergi semakin memendek.

Bolehkah aku jatuh cinta sekarang?
Tidak boleh Nak, kamu terlalu kecil untuk menanggung bebannya.
Senyummu terlalu manis untuk berpura-pura bahagia ketika kau terluka.

Maka titipkan saja namanya,
Pada sehelai daun yang akan meninggi seiring pertumbuhan batang pohonnya.
Titipkan saja namanya,
Pada hamparan pasir di tepi pantai yang akan melarutkannya dan membawa ke laut lepas.

Yang manapun yang terbaik bagimu,
Akan dikirimkan kepadamu,
Sebagai bingkisan yang patut kamu syukuri,
Sepanjang waktu.




Puisi titipan 'anakku' ._.v

12.9.13

Selamat Jalan Renata

Kali ini kamu tertawa dengan lepasnya di hadapanku. Membuatku terlihat semakin bodoh, sangat bodoh. Adakah wanita yang telah dikhianati di hadapannya namun hanya menanggapinya dengan tertawa saja. Perempuan bodoh!

"Sampai kapan kamu mau bermain-main, Rian?" Tanyanya padaku yang masih terlihat bodoh.

"Bodoh...." Ujarku datar.

"Sampai kapan? Kamu mau menunggu sampai kamu tua dan tidak ada yang mau menjadi pelabuhanmu karena rambutmu yang penuh uban, perutmu yang membuncit, atau sakitmu yang perlahan akan menggerogoti?" Tanyanya, masih dengan seringai tawa yang tersungging di bibirnya.

"Atau kamu menunggu usahamu bangkrut? Kekayaanmu menipis dan keuanganmu habis?" Cemoohnya lagi.

Aku hanya tersenyum sinis. Pertama, tidak rela dengan jawaban sikapnya terhadap apa yang telah kulakukan secara terang-terangan padanya. Kedua, menyadari bahwa perkataannya adalah benar.

"Aku hanya ingin berpisah denganmu. Titik." Dengan begitu aku berhenti menyakitimu dengan semua sikapmu yang selalu memaafkan perbuatan bejatku.

Perempuan itu hanya tersenyum. Ah dasar bodoh, bodoh! Perempuan sebaik dirimu, mengapa harus dipertemukan dengan lelaki bejat dan brengsek sepertiku? 

"Setelah adikku yang kamu bawa ke rumah kita, siapa lagi sekarang? Temanku? Sahabatku? Sampai kapan kamu mau menyakitiku dengan menyakiti hati banyak orang lain lagi?"

"Beritahu aku Renata, bagaimana caranya supaya kamu melepasku. Agar kamu tidak terluka, dan aku bebas merdeka." Ujarku pelan. Habis akal.

Perempuan itu hanya tersenyum, sembari menatapku tajam, pandangan matanya menusuk ke dalam jantungku, sebelum mulut beracunnya mengoyak perasaanku.

"Berhentilah bermain-main. Ketika saat itu tiba, aku akan melepaskanmu dengan ikhlas. Dengan tersenyum. Karena malaikat akan menyambutku, menyematkan mahkota atas kepalaku. Karena satu hal yang membuat hatiku bergerak untuk menikah denganmu, aku ingin menjadi istri yang menaatimu, dengan jiwa dan ragaku." 

Percakapan berakhir dengan sebuah belaian tangan halusnya yang menyeka wajahku. Perempuan bodoh! Aku terus memaki atas kesabaran seluas samudera yang dimilikinya.


***

Mengenang percakapan itu, membuat air mataku tidak berhenti mengalir. Renata benar-benar mengabulkan permintaanku kala itu. Aku dilepasnya, dengan sesungging senyuman yang terngiang di ingatan. Impianku, aku mampu terlepas dari ikatannya. Impiannya, ia ingin dilepas dengan predikat istri yang taat kepada suaminya, hingga akhir hayatnya.

Aku melepas kepergiannya sekarang, dengan penyesalan seluas bumi dan seisinya, dengan seikat mawar merah di atas tanah perkuburan yang masih basah. Jika kunci surgamu adalah ketaatanmu padaku, maka kuberikan pengakuan di hadapan Tuhan dan seluruh makhluknya, bahwa kau telah lulus atas ujian itu.

Selamat jalan Renata.

Surat Untuk Abang

Dear Abang,

Apa kabar Abang disana? Hujan kah di tempat Abang sana? Disini hujan turun dengan derasnya. Air-air dari selokan sepertinya meluap, kalau sudah begini, maka sebentar lagi pasti akan banjir. Ah, aku tidak ingin membahas itu dengan Abang, biarlah urusan banjir menjadi urusannya pemerintah saja. Aku tidak ingin merusak romantisme hujan dengan membicarakan dampaknya. Biar kita nikmati saja butiran-butiran hujan ini sebagai kumpulan butiran rinduku yang semakin membuncah kepada Abang.

Abang sehat kan? Aku disini sehat-sehat saja. Cukup makan, rajin minum susu. Ah ya, dokter mencekokiku dengan berbagai suplemen vitamin karena kemarin sempat terkena flu. Tidak Bang, aku tidak bermain hujan. Bukankah aku sudah berjanji pada Abang untuk selalu menjaga kesehatan? Ini hanya sedikit kelelahan saja. Sekarang sudah baikan kok. Kamu tidak perlu mencemaskanku Bang.

Seperti pesanmu dulu, jika aku merindukanmu, maka tulislah surat sepenuh hati. Tidak perlu mempedulikan kemajuan teknologi yang kata orang bisa mengubah dengan singkat komunikasi dengan orang lain. Maka seperti titahmu, aku mengirimkan surat kepadamu ketika aku rindu. Tidak dengan sms, skype, atau chatting di facebook.

Katamu, surat mampu mengeluarkan segala jenis kerinduan. Buncahan dalam setiap katanya, momen menunggu pak pos menyampaikannya, mengkristalkan rasa rindu itu sendiri, sehingga ia akan dengan indah tersampaikan. Seperti butiran uap air yang rela menunggu menjadi turunan hujan. Itulah makna rindu yang sesungguhnya.

Sungguh aku rindu denganmu kali ini Bang. Meski katamu, jarak hanyalah bilangan kilometer yang mampu diukur, namun jarak rindu yang membentang akan terbayarkan dengan kecepatan cahaya, jika diungkapkan melalui doa. Aku tak henti mendoa agar dapat dipertemukan kembali denganmu.

Bang, si kecil sekarang sudah pandai menendang-nendang. Membuatku semakin kelelahan saja. Tidak sanggup rasanya aku menunggu kehadirannya di dunia. Kau tidak merindukannya? Kata dokter dia laki-laki, pasti setampan dirimu.

Bang, semoga kau baik-baik saja di alam sana. Kutitipkan surat ini di atas makammu, kutitipkan isinya di akhir doaku. Semoga Abang junior mampu mengisi kerinduanku padamu, dan menemaniku hingga hari tuaku. Peluk kecup dari kekasih yang terpisahkan tidak hanya oleh jarak dan waktu.

10.9.13

Terselip Sebuah Cerita


Baru seminggu aku bekerja disini. Menerima berbagai map hasil penelitian dari peneliti, kemudian memperbaiki karya ilmiah mereka dari segi tanda baca dan penulisan EYD sesuai dengan kaidah berbahasa yang benar.  Untuk kemudian, bisa layak diterbitkan dan menjadi rujukan dan konsumsi kaum akademisi yang haus akan hasil penelitian terbaru.

Sebuah map bertuliskan Prof. Dr. Sulastri, M.Si sudah berpindah dari mejaku. Baru saja aku menuju ke ruangan beliau untuk mengembalikannya. Irisnya yang hitam dibalik kacamata menyapu halaman demi halaman penelitiannya itu. Aku mengamati wajahnya. Masih cantik. Walau telah menginjak usia lima puluh tahun, aura kecantikan beliau masih terpancar, meski kerutan wajahnya tidak dapat disamarkan. Masih sama dengan foto masa mudanya yang pernah kulihat. Beliau belum menikah. Seperti ada cerita masa lalu yang belum usai.

Kurogoh laci mejaku, mencari sebuah portrait yang kumaksudkan tadi. Tidak ada. Dimana foto itu?

Derap langkah yang berhenti di pintu ruanganku menjawab pertanyaan tadi.

“Sarah.” Suara yang biasa tegas, terdengar lirih. Foto Ibu Sulastri muda sepertinya terselip di antara kertas pekerjaanku tadi.

“Kamu anaknya ….?” Tangan kirinya memegang potret hitam putih dirinya dan seorang pemuda.

Aku tergagap, mengangguk pelan. “Bapak menunggu anda Professor, tapi …” 

Ia masih seorang lelaki dari desa yang tak berpendidikan tinggi.

Di Atas Pusara Ayahnya

Satu jam berlalu setelah berita kematian seorang pejabat tinggi daerah beredar. Kini di sebuah kompleks pemakaman terkenal telah ramai dikunjungi oleh para pelayat. Sebentar lagi, prosesi pemakaman akan dilangsungkan. Mobil-mobil berjejer rapi hingga memadati pinggir jalan. Semua ingin memberikan penghormatan terakhir kepada mendiang. Keluarga pun banyak memadati petak dua kali satu meter tempat peristirahatan terakhir sang pejabat. 

Dari kejauhan, di bawah pohon kamboja yang tumbuh subur di area pemakaman, aku berdiri mematung. Berpakaian serba hitam sebagai tanda bela sungkawa, dan membawa seikat rangkaian bunga mawar merah tua. Aku belum beranjak dari tempat ini, karena di tempat mendiang dikuburkan masih sangat ramai. 

Aku hanya melihat dari jauh, mencoba mengenali satu per satu keluarga yang hadir. Aku mengenali sosok istri pejabat itu. Ibu yang cukup berumur dibalut kerudung putih dan kaca mata hitamnya sedang menaburkan bunga sembari terduduk di sisi makam. Aku juga melihat anak tertua, Afian, dengan kaca mata hitam pula duduk di samping ibundanya. Yang tidak terlihat adalah wajah Adrian, yang mungkin saat ini sedang melintasi garis meridian demi melihat tanah basah tempat ayahnya dikuburkan.

Beberapa saat berlalu, aku keluar dari tempat ini bersamaan dengan pulangnya para pelayat yang hadir. Rangkaian mawar merah tua masih aku bawa. Ingin rasanya kuletakkan bunga ini di atas makam beliau, namun ini bukan saatnya. Masih ramai, dan tentu kehadiranku disana akan menyumbangkan tanda tanya besar.


Sejam kemudian, aku memutuskan untuk kembali. Namun sepertinya kedatanganku kali ini masih bukan di waktu yang tepat. Aku kembali berdiri di tempat yang sama dengan sebelumnya, menyaksikan drama keluarga yang begitu menyayat hati.

Keluarga sah almarhum Satrio Miharja masih berada disana. Beserta dua wajah baru yang tidak diundang.

“… kalian sudah kuperingatkan! Pergi dari sini. Sekarang!” Suara tegas Afian, memerintah kepada dua orang yang terdiri dari lelaki muda dan seorang ibu berusia lima puluhan.

Suara isak dari ibu berkerudung hitam itu mengusik kesunyian di sekitar pemakaman.

“Kamu tidak bisa melarang kami untuk kesini! Walau bagaimanapun, ini adalah makam ayahku juga!” Teriak sang lelaki yang baru datang di depan wajah Afian.

Afian, sang putra pertama membuka kaca matanya dan menampakkan sorotan yang mengancam pada pemuda itu yang disinyalir usianya lebih muda darinya.

“Pak Diman!” Teriaknya pada sopir pribadi mereka yang masih berada di sekitar tanah kuburan ayahnya.  “Bawa ibu pulang duluan. Aku akan membereskan sampah kecil ini dulu sebelum pulang!”

Pak Diman yang namanya tadi dipanggil, tergopoh-gopoh membawa sang nyonya yang tadi hanya terduduk dan diam menyaksikan kedatangan dua orang baru tersebut. Sorot mata sang nyonya yang amat sangat kelelahan tidak mampu menambahkan ekspresi duka maupun keterkejutan lagi, menurut saja apa titah sulungnya.

Aku menyembunyikan postur kecilku di belakang batang pohon yang kokoh sembari memandang sosok nyonya besar dan supirnya, yang keluar dari area pemakaman. Selanjutnya, inderaku kukonsentrasikan ke tempat tadi sepenuhnya.

“Kalau kau datang kemari hanya untuk masalah warisan, lupakan! Kau dan ibumu tidak akan mendapatkan harta sepeser pun!”

“Kau sungguh hina! Bagaimana mungkin berbicara warisan sementara kuburan ayahmu, ayah kita, …” pemuda kedua itu menunjuk ke makam di sebelah mereka. “masih basah, belum kering?”

“Kau hanyalah seorang anak dari istri yang tidak sah!” Bentak Afian, yang juga menunjuk sosok ibu yang sedari tadi menangis tak henti sembari mencoba menenangkan anaknya yang terpancing emosi.

“Kami tidak mengharap warisan, Nak. Kami hanya ingin melakukan penghormatan terakhir. Walau bagaimanapun, ayahmu adalah suami sah ibu di mata Tuhan. Dan Andre, adalah adikmu juga, bagaimanapun kau mengingkarinya.” Ujar sang ibu, dengan air mata berleraian.

Aku tidak sanggup lagi menyimak pembicaraan tersebut. Kuputuskan untuk meninggalkan tempat ini, tanpa sempat mengantarkan doa secara pribadi dan meletakkan rangkaian bunga ini di atas makamnya. Kuusap air mata yang perlahan jatuh ketika indera pendengaranku masih mampu menangkap pembicaraan mereka yang ada di dekat makam sana. Orang waras mana yang memperkarakan warisan saat kuburan orang tuanya belum kering?


Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke tempat ini, sejam lagi kemudian. Ini adalah kesempatan terakhir. Jika tidak ada momen untukku meletakkan sendiri rangkaian bunga ini, maka akan kuletakkan saja di bawah pohon kamboja yang tadi menemaniku mematung.

Keberuntungan memihakku kali ini. Di atas tanah basah miliknya tidak ada siapa-siapa. Aku menahan keinginanku untuk segera berlari menuju ke gundukan tanah itu. Aku hanya berjalan dengan tenang, menjaga langkahku agar tidak terpeleset oleh kontur tanah pemakaman yang tidak rata. Dan kini aku sampai di atas pusaranya.

“Ayah.” Ucapku lirih.

Kusapu daun yang berguguran di atas makamnya yang basah dan penuh dengan taburan bunga. Andai menghapus luka itu semudah membuang daun-daun kering yang sudah mulai berguguran di atas makamnya, maka tidak perlu ada air mata yang kini jatuh membasahi pipiku ini.

Seorang ayah, adalah cinta pertama bagi putrinya. Ayahlah yang melindungi putrinya ketika ada yang mengganggu. Ayah pula, yang nantinya akan memegang dengan mantap tangan lelaki yang dipilih anak perempuannya untuk bersama mengikrarkan akad, mengantarkan sang putri ke kehidupannya yang baru. Ayah adalah orang yang bersanding disampingnya kemudian menyerahkannya kepada lelaki yang direstuinya untuk menjadi pendamping bagi anaknya. 

Seharusnya memang begitu. Namun itu tidak terjadi dalam cerita kehidupanku. Kalimat sapa itu, baru saja aku ucapkan untuk pertama kalinya, di atas gundukan tanah basah, saat pemiliknya tidak lagi memiliki nyawa.

“Ayah, anak perempuanmu satu-satunya datang. Maaf atas keterlambatanku untuk berdoa di atas pusaramu. Kamu bahagia dengan kehidupanmu sekarang, Yah? Kuharap seperti itu. Supaya aku mampu dengan mudah memaafkan kesalahanmu padaku dan ibu.”

“Ayah, aku mencintaimu.”

Kukecup nisan dingin itu. Berharap itu bisa menggantikan jasadmu yang tidak pernah mampu aku cium, baik dalam keadaan hidup maupun tak bernyawa.

Aku sudah akan beranjak pergi ketika sebuah suara, yang masih aku kenal siapa pemiliknya, memanggil namaku dengan nada yang tidak biasa.

“Audriana?”

Aku menoleh, mengusapkan air mata yang tak henti keluar. Sosok Adrian berdiri di sisi lain makam, dengan wajah penuh tanda tanya besar dan juga raut kesedihan yang mendalam.

“Kamu…. Siapa?”

“Aku…. Anak dari istri ketiga ayahmu.”

Itulah fakta yang sebenarnya, yang tidak mampu aku tutupi lagi. Yang menjadi penyebab aku harus mengakhiri hubunganku dengan lelaki yang kini pandangannya mengisyaratkan meminta banyak penjelasan ketika melihatku, sang mantan tunangannya yang menangis tiada henti dan mengecup nisan, di atas pusara ayahnya.


***

Tulisan ini (994 kata) diikutkan ke Ngasih Hadiah September Bahagia by Harry Irfan yang dikembangkan dari fiksi mininya yaitu: 

ANAK BARU. “Anak mana Lo?” | “Aku anak dari istri ketiga bapakmu!”

7.9.13

Sebuah Kesalahan




Pukul 23.05, Kantor.

Tidak biasanya ia masih di kantor pada jam segini. Di atas mejanya, tumpukan berkas berserakan. Laptop pribadi dan komputer kantor menyala. Beberapa orang hilir mudik keluar masuk ruangannya.

Ini sebuah kejadian tidak diduga, ujian baginya yang baru dinaikkan jabatannya sebagai penanggung jawab keuangan. Ada kesalahan dalam menginput data ke buku besar yang dilakukan bawahannya. Sangat fatal.  Anggotanya sedang mengecek ulang semua data dari semua berkas dan bukti pembayaran namun belum diketahui letak kesalahannya dimana.

Handphonenya berdering beberapa kali. Bukan saatnya untuk menjawab telepon dari nomor tidak dikenal. Data keuangan ini harus segera diselesaikan dan diperbaiki hari ini juga. Sekarang. Tidak ada kompromi. Besok ada pelaporan keuangan.

Sekretarisnya masuk dengan wajah pucat.

“Pak, istri Bapak telepon.”

Ah, bukankah dirinya telah memberitahu kalau ada urusan penting dan tidak dapat diganggu dengan alasan apapun?

“Pak?”

Lelaki itu mengabaikan perkataan sekretarisnya, masih fokus meneliti berkas di hadapannya.

“Ibu ada di rumah sakit…”

“… terjatuh di kamar mandi dua jam yang lalu. Janin di kandungannya meninggal.”

“Pihak rumah sakit mencoba menghubungi ponsel Bapak tapi tidak ada jawaban. Bapak diminta kesana sekarang.”

Terdiam. Laki-laki itu dihadapkan pada dua tanggung jawab penting.

Namun ia tidak beranjak dan memilih bersama tumpukan berkas ini.