Pada suatu hari di masa lalu, seorang dari kaum Qalandar bertemu dengan seorang penjahat besar. Pada masa lalu, seorang faqir pengelana tiba di sebuah oasis di sebuah gurun barat. Dia seorang Qalandar yang berkelana di gurun-gurun Afrika dan Arab selama bertahun-tahun. Dia mencari-cari tempat penyendirian agar bisa mengingat Tuhannya dan merenungi misteri -misteri-Nya. Amal, iman, dan kepasrahannya kepada Tuhan membuatnya dianugerahi kedamaian jiwa. Ketulusan dan ibadahnya di Jalan Cinta sangatlah mendalam, sehingga hal-hal gaib tersingkap padanya, dan ia menjadi seorang Wali, Sahabat Allah.
Faqir itu tiba di oasis pada malam hari. Ia segera merebahkan tubuhnya di bawah pohon kurma untuk beristirahat sejenak sebelum menunaikan shalat Tahajud. Tetapi, tanpa disadari, ada lelaki lain yang juga sedang beristirahat di dekat pohon itu.
Tapi lelaki itu adalah penjahat tersohor, gembong dari sekelompok penjahat yang dahulu sangat ditakuti orang. Mereka dulu suka merampok kafilah-kafilah pedangan kaya yang bepergian melalui kota-kota di pedalaman. Tapi kekejaman para penjahat itu akhirnya sampai ke telinga Sultan, dan karenanya ia memerintahkan prajuritnya untuk memburu dan membunuh gerombolan perampok itu. Banyak anggota perampok yang tertangkap dan dipancung kepalanya. Yang lainnya meninggalkan gembong penjahat itu. Sebagian lagi mengkhianatinya karena takut dihukum mati seperti kawan-kawannya yang lain.
Akhirnya, pentolan penjahat itu sendirian. Hartanya ludes semua. Uangnya yang terakhi sudah habis dalam pelarian. Kini ia menjadi buron nomor wahid. Kepalanya dihargai sangat mahal. Bahkan, mantan kawan-kawannya tak mau lagi menolongnya. Mereka juga takut jika kemarahan Sultan menimpa diri mereka. Karena itulah penjahat ini melarikan diri berhari-hari melintasi gurun dan sampai di oasis tersebut dalam keadaan letih dan lapar. Ia duduk di bawah pohon dan merutuki nasibnya yang malang.
Nah, sekarang aku bertanya pada kalian, dari dua lelaki itu, mana yang lebih agung dan mana yang lebih rendah? Siapa yang diberkahi Allah dan siapa yang dilaknat-Nya? Jangan, jangan menjawab! Kalian tak akan tahu jawabannya, sebab kalian bukan hakim mereka. Hanya Sang Penciptalah yang berhak menghakimi ciptaan-Nya.
Tapi, Malaikat Munkar dan Nakir, yang bertugas menanyai orang yang sudah meninggal, melihat keadaan dua orang itu. Kata Malaikat Munkar, "Di sini jelas tampak beda antara emas yang murni dan yang palsu. Dua orang ini sudah bisa dinilai mutu jiwanya, walau mereka belum mati. Allah akan mengangkat lelaki yang saleh dan setan akan menemani lelaki jahat itu."
"Pasti demikian," kata Nakir setuju. "Emas sejati alangkah langka. Surga amatlah luas, dan neraka penuh api yang menyala-nyala hingga ke dasarnya."
Allah mendengar bersitan pikiran kedua malaikat-Nya itu. Dia berbicara kepada hati dua malaikat itu: "Kalian telah menghakimi nasib mereka. Namun manusia akan celaka jika Aku menghakimi makhluk-Ku hanya dengan keadilan belaka. Bukankah Aku Maha Pengasih lagi Maha Penyayang? Saksikanlah! Aku akan mengunjungi mereka dalam tidur dan visi mereka, agar kalian tahu kebenaran sejati dari makhluk-Ku."
Lalu Allah menidurkan dua orang itu dan mengirimkan mimpi kepada Si Faqir dan penjahat tersebut. Qalandar yangalim itu bermimpi berada di dalam nearaka, bahkan berada di dasar neraka yang paling dalam, dengan nyala api yang paling lebat dan hebat. Sedangkan pentolan penjahat itu berada di surga, berdiri bersama-sama para Wali Allah di hadapan singgasana-Nya.
Apakah baik memasukkan orang jahat ke surga? Apakah adil memasukan orang saleh ke dalam neraka?
Tidak ada yang menjawab.
Bagus! Membersihkan hati dari penghakiman akan membuka Jalan Cinta. Dan itulah pelajaran yang diterima oleh Malaikat Munkar dan Nakir.
Sebab, kedua malaikat itu menyaksikan Si Faqir yang saleh berada di tengah-tengah neraka, dan melihat orang yang sangat baik ini berdiri telanjang dengan api membakar dagingnya. Jeritan jiwa-jiwa yang tersiksa membuat telinganya sakit. Tapi lelaki itu tidak merasakan kesakitan saat api neraka membakarnya, dan ia bahkan tak terkejut ataupun takut. Ia hanya memikirkan Sang Kekasih. dan penderitaan sehebat apa pun tak bisa mengalihkan perhatiannya kepada Allah. Ia lalu duduk diselimuti kobaran api yang panas dan menyesakkan. Dengan suara tenang dan keras, sufi itu mulai berzikir:
Laa ilaaha illaallaah! Laa ilaaha illaallaah!
Api itu menyala lebih hebat saat zikirnya menggelegar. Lalu api itu meredup, dan gunung-gunung api di neraka bergetar hebat mendengar zikirnya. Jiwa-jiwa lain yang disiksa di neraka berhenti menjerit dan memasang telinga lebar-lebar, karena nama Allah selama ini tak pernah diucapkan di neraka. Kemudian suara lenyap kecuali zikir itu. Lelaki terus berzikir sampai dasar dan fondasi neraka berguncang hebat, sedangkan para penghuni lain yang terkutuk di neraka mulai mendapatkan secercah harapan untuk bebas dari azab neraka.
Neraka itu pasti akan runtuh berkeping-keping jika Iblis tidak muncul dan memohon kepada Si Faqir untuk menghentikan zikirnya. Tapi lelaki saleh itu terus saja zikir, sebab ia sudah lama menapaki Jalan Cinta, dan kehendak sang Kekasih sudah menjadi kehendaknya, entah ia dimasukkan ke surga atau neraka.
Allah juga memperlihatkan keadaan penjahat itu kepada malaikat-Nya. Mereka melihat penjahat itu berdiri dengan jubah panjang, gemetar di tengah-tengah penghuni surga di hadapan singgasana Allah Yang Mahakuasa. Dan Malaikat Jibril berbicara kepada lelaki itu:
"Dengan rahmat dan kasih Allah, Penciptamu, perbuatan burukmu telah dimaafkan," katanya. "Kini masuklah dengan damai."
Dan kini, kebenaran memasuki hati si penjahat itu. Ia amat takjub, air mata menetes dari matanya. Lalu ia menyaksikan keagungan dan keindahan Zat Yang Maha Pengasih. Ia pun tersungkur dan menangis sejadi-jadinya.
Dan Allah berfirman kepadanya: "Wahai anak cucu Adam, janganlah takut. Sebab tiada satu pun yang terperosok ke dasar tanpa bisa Kuangkat kembali ke permukaan."
Penjahat itu tak lagi jeri. Ia berlutut dan bersujud kepada-Nya sembari terus menangis. Air matanya mengalir tiada henti. Ia menyesali hidupnya yang kelam di masa lampau. Air matanya menjadi aliran rahmat yang tak bisa berhenti. Kaki Sang Wali yang tidur di sebelahnya basah oleh air mata.
Ia akan terus menangis kalau saja visi yang dihadirkan Allah itu tidak diakhiri. Kedua lelaki itu bangun mendadak. Kemudian sang penjahat melihat Si Faqir. Ia mendekati Faqir itu sambil masih menangis. Si Faqir yang mengetahui keadaannya, lalu memeluknya. Mereka berdua melakukan shalat dan berdoa bersama sampai fajar mengembang. Akhirnya, penjahat itu menjadi murid Si Faqir. Demikianlah....
Sementara itu, Malaikat Munkar dan Nakir, yang baru saja melihat setetes dari rahmat Allah yang tiada habisnya, bersujud di hadapan Tuhan. Mereka malu karena terburu-buru menghakii. Penilaian Allah berada di luar pemahaman manusia dan malaikat.
[Dikutip dari "Sang Raja Jin", karja Irving Karchmar halaman 128-134]
0 komentar:
Post a Comment