16.10.09

Pertentangan Dua Hati


“Jadi solusinya gimana?”

Sampai pada kalimat ini, aktivitas Nita terhenti. Diteguknya kopi susu yang sudah tak hangat lagi dan kemudian ditatapnya penuh sabar bagaikan seorang psikiater yang sedang menghadapi kliennya. Nita mengeluarkan senyum sebelum melontarkan kata-kata.

“Hmm, masalahnya wajar kok, jadi harus dikasih solusi yang wajar juga.” Kata Nita kemudian.

“Wajar kah Nit? Menurutku ini sudah ngga wajar…….”

Nita kembali tersenyum.

“Ya sudah kalau menurutmu ini ngga wajar. Trus kamu maunya apa Ci? Aku mau bantu tapi kamu juga harus tahu ending dari permasalahanmu ini akan dibawa kemana. Ingat lho Ci, masalah ini kamu sendiri yang bisa selesaikan. Aku hanya bisa memberi saran.”

Segelas teh hangat menemani curahan hati Aci kepada Nita sahabatnya sejak sekolah dulu. sesekali pembicaraan terhenti oleh isak tangisan. Masalah klasik tentang cinta, selalu saja terjadi di sekeliling kita entah disadai ataupun tidak.

“Haha Aci, Aci.”

“Jangan gitu lah kau Nit. Aku bingung ini.” Kata Aci dengan wajah putihnya yang bersemu merah jambu.

“Kenapa Ci, ada yang salah dengan kata-kataku? Aku jujur itu. Masalah ini wajar lho Ci, semua orang juga mengalaminya. Tapi menjadi ngga wajar ketika kamu membiarkannya berlarut-larut padahal kamu tahu itu ngga baik buat dirimu.”

“Jadi gimana solusinya?”

“Sudah selsai ceitanya?” Tanya Nita tapa menjawab pertanyaan sebelumnya.

“Nitaaaa…!!” Aci mulai gemes dengan sahabatnya itu.

“Hehehe iya iya sudah nih bercandanya. Oke. Kesimpulannya, kamu itu sekarang lebih butuh di dengar daripada diceramahin iya ngga?”

Aci mengangguk mantap. “Iya Nit. Dan jujur, aku takut banget sebelum cerita ini ke kamu, kamu bakal ceramahin aku, menjudge kalau aku ini salah itu salah dan…. Dan ketakutan-ketakutanku lainnya.”

“Aku tahu kok betapa sakitnya dijudge orang lain Ci, makanya aku ngga melakukan itu sama kamu sekarang. Aku mendegarkan karena kamu butuh di dengar. Aku juga tahu kalau sebenarnya kamu sudah tahu solusi dari masalah ini kan?”

Lagi-lagi Aci mngangguk pelan.

“Sekarang yang harus kamu pahami, ketika kamu menceritakan masalah ini ke aku, kamu juga musti sadar bahwa kamu mempoercayakan controlling dari aku. Aku punya hak untuk menegur kamu dan berkewajiban membantu permasalahanmu.”

Aci terdiam dan tertunduk lesu.

“Karena apa Ci? Karena kau sudah percaya. Kepercayaan itu mahal harganya. Dan aku harus menjaganya.” Nita menggenggam erat tangan Aci. “Dan aku, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membantumu keluar dari masalah ini.”

Ada bening di mata keduanya yang tidak mampu di artikan oleh kata. Aci memeluk erat sahabatnya itu.

“Makasih Nit.” Bisik Aci di telinga Nita yang samar terdengar oleh Nita karena beradu dengan isak tangis keduanya.

“Kalau ada yang tahu masalah ini dan menjugde, didengarkan aja ya Ci. Itu artinya mereka sedang menyampaikan rasa cinta mereka ke kamu, meskipun kadang terdengar pahit.”

“Hehe iya Nita. Udah ah, kok kita jadi lebay gini sih? Mana nih Aci ama Nita yang sok ceria?”

Keduanya tertawa.

Rasa haru bergemuruh di dalam batin Nita. Bening itu mengalir mengantarkan kepulangan Aci dari rumahnya. Bening yang sejak tadi tertahan.



Alhamdulillah masih dapat di percaya menampung cerita orang lain tentang hati dan perasaan. Dan cerita tentang perasaanku sendiri, siapakah yang akan mendengarkan?


*Smd151009*

Terkadang kita lebih banyak butuh di dengar. Maka dengarkanlah keluh kesah orang lain. Solusi akan mengalir sebagai kata-kata cinta yang indah bukan seperti kata-kata perintah, padahal maksud dan tujuan keduanya sama :)


coretanisengdotcom %peace%



3 comments:

  1. iseng banget buat ceritanya :D

    ReplyDelete
  2. meski iseng tapi pelajaran yang bisa didapat sangat berguna. thanks ya.. ^,^

    ReplyDelete
  3. sama-sama,... semoga bisa di ambilhikmahnya :)

    ReplyDelete