28.9.13

Kisah Kaum Sophis

Dua ribu lima ratus tahun yang lalu, terdapatlah sekelompok orang cerdas di Yunani. Mereka biasa dipanggil kaum Sophis (Sophist), yang dalam bahasa Yunani berarti “orang-orang bijak.” Mereka sangat terkenal di Athena, mungkin dapat kita bandingkan dengan para selebriti zaman sekarang. Diantara mereka terdapat nama-nama filsuf ternama masa itu seperti Heraclitus, Protagoras, Gorgias, Hippias, dan Prodicus.

Kaum Sophis ini hadir dengan mengusung paham skeptisisme, yang intinya adalah meragukan segala hal. Bagi kaum Sophis tidak ada yang disebut dengan kebenaran mutlak. Yang ada hanyalah kebenaran subyektif, kebenaran orang per orang, bukan kebenaran universal. Benar dan salah hanyalah soal opini. Sekiranya kebenaran itu memang ada mereka tetap tidak percaya bahwa manusia bisa sampai pada kebenaran itu.

Kendati merupakan kumpulan orang-orang yang tidak punya keyakinan, kaum Sophis justru pandai meyakinkan orang. Hal ini karena mereka mengembangkan berbagai teknik  berpidato dan berdebat. Ketrampilan ini masa itu sangat dibutuhkan oleh para elit Athena ketika menghadapi perdebatan dalam sidang dewan mahkamah Athena. Oleh karena itu mereka memanfaatkan kepandaian ini dengan mengajarkannya kepada para bangsawan dengan imbalan uang.

Tidak seperti sekarang, masa itu tidak ada filsuf yang mengajar demi mendapat imbalan. Mengajar bagi mereka bukanlah sebuah profesi, tapi merupakan kewajiban mereka untuk mewariskan ilmu pengetahuan. Itu sebabnya filsuf Yunani lainnya seperti Socrates mencela kaum Sophis karena baginya seorang guru tidak patut mengambil keuntungan dari pengajarannya.

Kaum Sophis tidak hanya mengajar seni berpidato dan berdebat, tapi juga menanamkan sifat munafik kepada murid-muridnya. Sebagai contoh, murid-murid mereka disuruh berpidato tentang dua hal yang saling bertentangan. Misalnya, murid disuruh berpidato yang membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Setelah itu murid tersebut diminta berpidato untuk membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada. Jika sang murid mampu melakukan kedua hal itu sama meyakinkannya, maka mereka dinyatakan lulus. Jadi, disini bukan benar atau salah yang penting, tapi bagaimana cara memenangkan perdebatan. Itu sebabnya Sophisme seringkali dikonotasikan sebagai argumentasi yang cerdas tapi sebenarnya menyesatkan.

Meskipun telah ribuan tahun berlalu tidak berarti ajaran Sophis telah mati. Pengikut paham Sophis ini justru semakin banyak kita temukan di masa sekarang. Mereka tersebar dari berbagai profesi yang ciri utamanya adalah menjadikan retorika sebagai senjata seperti politisi, pengacara, wartawan, pejabat pemerintah, hingga pegiat LSM,. Senjata utama mereka adalah kelihaian beradu pendapat yang dilakukan lewat lewat ucapan, tulisan, atau gambar (visual). Jika perlu debat kusir berkepanjangan akan mereka layani sampai musuh mereka takluk.

Selama memberikan keuntungan, maka semua itu sah-sah saja bagi mereka. Para politisi bersilat lidah agar terlihat berpihak rakyat, padahal hanya ingin dipilih lagi. Para pengacara mencari-cari dalih agar kliennya yang salah dibebaskan karena dia dibayar mahal untuk itu. Para wartawan memutar balik fakta agar beritanya laku. Pejabat pemerintah sibuk membesar-besarkan prestasi agar rakyat tak gelisah karena pajak yang tinggi. Pegiat LSM sibuk protes sana sini demi mendapat sokongan dana dari negara asing.

Satu-satunya cara menghadapi kaum Sophis adalah dengan ilmu yang benar. Sebab, ilmu yang benar dapat mengenal celah-celah kepalsuan retorika kaum Sophis. Dan sebaik-baik ilmu yang benar adalah yang datang dari Yang Maha Mengetahui (wahyu) karena ilmu ini bersifat mutlak, sempurna, dan abadi. Dengan ilmu yang benar seseorang akan terhindar dari perangkap retorika kaum Sophis.

Oleh : Wendi Zarman

0 komentar:

Post a Comment