10.9.13

Di Atas Pusara Ayahnya

Satu jam berlalu setelah berita kematian seorang pejabat tinggi daerah beredar. Kini di sebuah kompleks pemakaman terkenal telah ramai dikunjungi oleh para pelayat. Sebentar lagi, prosesi pemakaman akan dilangsungkan. Mobil-mobil berjejer rapi hingga memadati pinggir jalan. Semua ingin memberikan penghormatan terakhir kepada mendiang. Keluarga pun banyak memadati petak dua kali satu meter tempat peristirahatan terakhir sang pejabat. 

Dari kejauhan, di bawah pohon kamboja yang tumbuh subur di area pemakaman, aku berdiri mematung. Berpakaian serba hitam sebagai tanda bela sungkawa, dan membawa seikat rangkaian bunga mawar merah tua. Aku belum beranjak dari tempat ini, karena di tempat mendiang dikuburkan masih sangat ramai. 

Aku hanya melihat dari jauh, mencoba mengenali satu per satu keluarga yang hadir. Aku mengenali sosok istri pejabat itu. Ibu yang cukup berumur dibalut kerudung putih dan kaca mata hitamnya sedang menaburkan bunga sembari terduduk di sisi makam. Aku juga melihat anak tertua, Afian, dengan kaca mata hitam pula duduk di samping ibundanya. Yang tidak terlihat adalah wajah Adrian, yang mungkin saat ini sedang melintasi garis meridian demi melihat tanah basah tempat ayahnya dikuburkan.

Beberapa saat berlalu, aku keluar dari tempat ini bersamaan dengan pulangnya para pelayat yang hadir. Rangkaian mawar merah tua masih aku bawa. Ingin rasanya kuletakkan bunga ini di atas makam beliau, namun ini bukan saatnya. Masih ramai, dan tentu kehadiranku disana akan menyumbangkan tanda tanya besar.


Sejam kemudian, aku memutuskan untuk kembali. Namun sepertinya kedatanganku kali ini masih bukan di waktu yang tepat. Aku kembali berdiri di tempat yang sama dengan sebelumnya, menyaksikan drama keluarga yang begitu menyayat hati.

Keluarga sah almarhum Satrio Miharja masih berada disana. Beserta dua wajah baru yang tidak diundang.

“… kalian sudah kuperingatkan! Pergi dari sini. Sekarang!” Suara tegas Afian, memerintah kepada dua orang yang terdiri dari lelaki muda dan seorang ibu berusia lima puluhan.

Suara isak dari ibu berkerudung hitam itu mengusik kesunyian di sekitar pemakaman.

“Kamu tidak bisa melarang kami untuk kesini! Walau bagaimanapun, ini adalah makam ayahku juga!” Teriak sang lelaki yang baru datang di depan wajah Afian.

Afian, sang putra pertama membuka kaca matanya dan menampakkan sorotan yang mengancam pada pemuda itu yang disinyalir usianya lebih muda darinya.

“Pak Diman!” Teriaknya pada sopir pribadi mereka yang masih berada di sekitar tanah kuburan ayahnya.  “Bawa ibu pulang duluan. Aku akan membereskan sampah kecil ini dulu sebelum pulang!”

Pak Diman yang namanya tadi dipanggil, tergopoh-gopoh membawa sang nyonya yang tadi hanya terduduk dan diam menyaksikan kedatangan dua orang baru tersebut. Sorot mata sang nyonya yang amat sangat kelelahan tidak mampu menambahkan ekspresi duka maupun keterkejutan lagi, menurut saja apa titah sulungnya.

Aku menyembunyikan postur kecilku di belakang batang pohon yang kokoh sembari memandang sosok nyonya besar dan supirnya, yang keluar dari area pemakaman. Selanjutnya, inderaku kukonsentrasikan ke tempat tadi sepenuhnya.

“Kalau kau datang kemari hanya untuk masalah warisan, lupakan! Kau dan ibumu tidak akan mendapatkan harta sepeser pun!”

“Kau sungguh hina! Bagaimana mungkin berbicara warisan sementara kuburan ayahmu, ayah kita, …” pemuda kedua itu menunjuk ke makam di sebelah mereka. “masih basah, belum kering?”

“Kau hanyalah seorang anak dari istri yang tidak sah!” Bentak Afian, yang juga menunjuk sosok ibu yang sedari tadi menangis tak henti sembari mencoba menenangkan anaknya yang terpancing emosi.

“Kami tidak mengharap warisan, Nak. Kami hanya ingin melakukan penghormatan terakhir. Walau bagaimanapun, ayahmu adalah suami sah ibu di mata Tuhan. Dan Andre, adalah adikmu juga, bagaimanapun kau mengingkarinya.” Ujar sang ibu, dengan air mata berleraian.

Aku tidak sanggup lagi menyimak pembicaraan tersebut. Kuputuskan untuk meninggalkan tempat ini, tanpa sempat mengantarkan doa secara pribadi dan meletakkan rangkaian bunga ini di atas makamnya. Kuusap air mata yang perlahan jatuh ketika indera pendengaranku masih mampu menangkap pembicaraan mereka yang ada di dekat makam sana. Orang waras mana yang memperkarakan warisan saat kuburan orang tuanya belum kering?


Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke tempat ini, sejam lagi kemudian. Ini adalah kesempatan terakhir. Jika tidak ada momen untukku meletakkan sendiri rangkaian bunga ini, maka akan kuletakkan saja di bawah pohon kamboja yang tadi menemaniku mematung.

Keberuntungan memihakku kali ini. Di atas tanah basah miliknya tidak ada siapa-siapa. Aku menahan keinginanku untuk segera berlari menuju ke gundukan tanah itu. Aku hanya berjalan dengan tenang, menjaga langkahku agar tidak terpeleset oleh kontur tanah pemakaman yang tidak rata. Dan kini aku sampai di atas pusaranya.

“Ayah.” Ucapku lirih.

Kusapu daun yang berguguran di atas makamnya yang basah dan penuh dengan taburan bunga. Andai menghapus luka itu semudah membuang daun-daun kering yang sudah mulai berguguran di atas makamnya, maka tidak perlu ada air mata yang kini jatuh membasahi pipiku ini.

Seorang ayah, adalah cinta pertama bagi putrinya. Ayahlah yang melindungi putrinya ketika ada yang mengganggu. Ayah pula, yang nantinya akan memegang dengan mantap tangan lelaki yang dipilih anak perempuannya untuk bersama mengikrarkan akad, mengantarkan sang putri ke kehidupannya yang baru. Ayah adalah orang yang bersanding disampingnya kemudian menyerahkannya kepada lelaki yang direstuinya untuk menjadi pendamping bagi anaknya. 

Seharusnya memang begitu. Namun itu tidak terjadi dalam cerita kehidupanku. Kalimat sapa itu, baru saja aku ucapkan untuk pertama kalinya, di atas gundukan tanah basah, saat pemiliknya tidak lagi memiliki nyawa.

“Ayah, anak perempuanmu satu-satunya datang. Maaf atas keterlambatanku untuk berdoa di atas pusaramu. Kamu bahagia dengan kehidupanmu sekarang, Yah? Kuharap seperti itu. Supaya aku mampu dengan mudah memaafkan kesalahanmu padaku dan ibu.”

“Ayah, aku mencintaimu.”

Kukecup nisan dingin itu. Berharap itu bisa menggantikan jasadmu yang tidak pernah mampu aku cium, baik dalam keadaan hidup maupun tak bernyawa.

Aku sudah akan beranjak pergi ketika sebuah suara, yang masih aku kenal siapa pemiliknya, memanggil namaku dengan nada yang tidak biasa.

“Audriana?”

Aku menoleh, mengusapkan air mata yang tak henti keluar. Sosok Adrian berdiri di sisi lain makam, dengan wajah penuh tanda tanya besar dan juga raut kesedihan yang mendalam.

“Kamu…. Siapa?”

“Aku…. Anak dari istri ketiga ayahmu.”

Itulah fakta yang sebenarnya, yang tidak mampu aku tutupi lagi. Yang menjadi penyebab aku harus mengakhiri hubunganku dengan lelaki yang kini pandangannya mengisyaratkan meminta banyak penjelasan ketika melihatku, sang mantan tunangannya yang menangis tiada henti dan mengecup nisan, di atas pusara ayahnya.


***

Tulisan ini (994 kata) diikutkan ke Ngasih Hadiah September Bahagia by Harry Irfan yang dikembangkan dari fiksi mininya yaitu: 

ANAK BARU. “Anak mana Lo?” | “Aku anak dari istri ketiga bapakmu!”

0 komentar:

Post a Comment