Cinta tak pernah salah. Tapi
ini apa?
Sebuah pertanyaan yang belum
mampu kukorelasikan jawabannya. Aku tidak tahu, tidak pernah tahu menahu. Aku
hanya serpihan debu dalam galaksi yang maha luas. Aku, hanyalah atom tak
kasatmata dalam skenario besar alam semesta. Aku hanya setitik kehidupan yang
mungkin tidak diperhitungkan. Tapi dalam hidupku, akulah pusat galaksi. Bumi
berputar dan aku menjadi porosnya. Aku tokoh utama dalam kehidupanku sendiri meskipun
dalam waktu dan ruang yang sama, aku menjadi pemeran pembantu dalam kehidupan
orang lain. Pemeran figuran, yang sekali muncul kemudian terlupa dalam
hidupnya. Hanya menjadi kilasan dalam hidup seorang yang telah meninggalkan
seberkas noda dalam episode panjang takdirku sendiri yang kemudian menemui
jalan buntu. Bagaikan terowongan gelap, dengan ujung berkabut tebal yang
akhirnya buntu. Terasing. Hingga menyisakan misteri apakah kehidupan masih akan
bergulir dalam kehidupanku detik ini, detik berikutnya, dan berikutnya lagi.
Aku kini berada di sebuah bilik kecil dua kali tiga dengan penerangan maksimal. Hidupku dipertaruhkan oleh bantuan tiga orang—tepatnya dua yang berpakaian putih-putih, karena yang satu hanya bisa meringis memandangiku dengan kasihan tanpa bisa melakukan apa-apa—yang berbagi udara denganku saat ini. Mungkin jam telah menunjukkan waktu dini hari, aku tidak tahu persisnya jam berapa saat ini dan berapa lama aku terbaring di atas ranjang ini. Jangankan untuk mengamati waktu, bahkan aku tidak tahu apakah diri ini masih cukup memiliki waktu barang sejam lagi untuk menuntaskan misi suci ini.
Aku menghela napas lagi, sesuai
perintah. Bukan hanya karena sesuatu yang harus segera dikeluarkan, namun lebih
kepada mendengus tentang sebuah pemikiran tentang ‘misi suci’. Diriku ini cukup
hina untuk bisa katakanlah melakukan misi suci, tugas mulia, atau apapun yang
dinisbahkan orang pada apa yang sedang kulakukan saat ini. Aku seonggok daging
yang hina, pelanggar norma agama dan susila. Masih pantaskah dikatakan mengawal
sebuah misi yang berhubungan dengan eksistensi makhluk lain? Yang bahkan sama
sekali tidak kuinginkan keberadaannya bersemayam di tubuh ringkih ini.
“Ayo tarik napasnya lagi!
Keluarkan!” ujar seseorang berseragam putih di sebelah kiri.
Entahlah, tanpa perintah itu pun
pasti aku akan melakukannya. Mengeluarkan makhluk bernyawa yang telah
membersamaiku selama sembilan bulan lamanya. Aku sudah mengejan, mendorong,
berusaha sekuat tenaga hingga putus urat syarafku untuk melakukannya. Sudah
habis rasanya tenaga, mereka pun telah lelah sepertinya untuk membantuku. Aku
pun sudah lelah rasanya untuk berjuang.
Berjuang, sebuah kata yang manis
untuk dipikirkan. Yah, Kamila Natasha sedang berjuang untuk melahirkan anak
tanpa ayah ke dunia. Rasanya lucu, aneh. Mungkin kedua bidan itu menganggap
bahwa aku hanyalah bagian dari daftar tugas dalam pekerjaannya. Mungkin sudah
puluhan atau bahkan ratusan persalinan yang dibantunya. Tapi tetap saja, aku
adalah tokoh utama dalam kehidupanku. Ini kisahku, ini persalinanku yang
pertama. Dan ini akan menjadi tonggak sejarah kehidupanku yang pastinya seratus
delapan puluh derajat akan berubah. Jika dan hanya jika misi ini berhasil aku
selesaikan.
Tapi sepertinya aku sudah
menyerah.
Tuhan,ambil
nyawaku saja saat ini! Aku sudah menyerah!
Detik berikutnya kesadaranku
hilang sempurna.
***
Gadis bersurai hitam legam
sepunggung itu terlihat keluar dari sebuah rumah kost yang cukup mewah di
kawasan kampus yang terkenal di kotanya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh lewat
lima belas menit, di mana seharusnya arus yang terjadi adalah penghuni kost
yang seharian telah pergi, datang kembali untuk sekedar meletakkan mimpi pada
porsinya. Menggantungkan harapan pada doa sebelum tidur dan mengistirahatkan
raga sejenak dari roda kehidupan yang terus berputar. Namun yang dilakukan
Kamila, ia justru baru memulai harinya di luar.
Seperti malam-malam sebelumnya,
gadis bersorot mata tajam ini duduk di sebuah bangku taman yang kian malam
semakin ramai dengan aktivitasnya
sendiri. Ia membeli sebungkus kacang rebus, kemudian menikmati dinginnya malam
sendirian, bersandarkan bangku kayu dan mulai memandangi bintang.
Apa yang sedang dia cari? Petuah
hidup? Petunjuk akan sebuah harta karun? Kedamaian yang abadi? Entahlah.
Padahal hidupnya bisa dikatakan sempurna dalam kacamata orang awam. Lahir dari
keluarga yang cukup berada, dikaruniai wajah yang cantik rupa, dan pergaluan
yang luas. Namun entah mengapa, ada satu sisi dalam relung jiwanya yang kosong.
Ia menatap bulan yang sedang
purnama. Tak lama kemudian pandangannya menyapu ke sekitar taman yang semakin
malam semakin ramai ini. Biasanya ada bocah kecil itu yang menemaninya di
tempat ini. Kurang lebih setengah jam. Kamila akan memintanya menyanyikan lagu
apa saja yang bisa membuatnya terhibur, dan anak lelaki seumuran pelajar SMA
kelas XI itu biasanya akan menurutinya dan membawakan lagu-lagu itu dengan
sempurna. Begitulah setiap malam, kemudian rupiah bergulir dari sakunya ke
tangan pengamen cilik itu. Namun malam ini, satu-satunya hiburannya tidak ada. Lengkap
sudah semua penderitaannya hari ini.
Akhirnya ia hanya melamun,
sembari menyibukkan diri dengan kacang rebus dalam genggamannya. Pikirannya
mengelana jauh saat dirinya masih berumur enam tahun, menangis memandang bulan
purnama—seperti yang dilakukannya saat ini—dan menunggu ayahnya pulang.
“Kamila sayang,” ujar sang ayah
ketika mendapati putri kecilnya yang tersedu karena tidak bisa tidur akibat
menunggunya. “Kenapa belum tidur, Nak?”
Ayahnya mengelus surai hitamnya,
menggendongnya ke dalam kamar dan mendongenginya seperti malam-malam
sebelumnya.
“Kamu tahu cerita sang penyihir
zaman dulu kala, Kamila?”
“Nggak tahu, ayah,” jawabnya,
sembari mengusap pipinya yang masih berbekas air mata.
“Zaman dahulu kala di Britania,
ada sekumpulan penyihir yang hidup tenang dan damai. Penyihir itu memiliki
kekuatan untuk dapat menghilangkan kesedihan yang dialami oleh orang lain.
Dalam satu usapan ke wajah siapa pun, maka sang penyihir baik bisa
menghilangkan kesedihan orang lain. Seperti ini,” sang ayah kemudian mengusap
wajah gadis kecilnya dengan satu usapan lembut miliknya. Sisa-sisa air mata
lenyap begitu saja pada wajah Kamila enam tahun itu.
“Bagaimana kesedihannya bisa
hilang, Yah?”
“Ya karena kekuatan tadi.”
“Kekuatan sihir?”
“Sebenarnya bukan, Kamila.
Penyihir itu hanya ada di dongeng saja. Kenapa kesedihannya bisa hilang? Karena
ada kekuatan cinta di sana. Sama seperti yang tadi ayah lakukan padamu. Kamu
sudah tidak sedih lagi kan?”
Gadis itu tersenyum. “Nggak Yah,”
dan mengecup pipi kiri ayahnya. “Jadi, cerita ayah tadi itu, dongeng atau kisah
nyata?”
Sang ayah tersenyum. “Cerita tadi
hanya dongeng. Tapi, keberadaan ayah untuk menghapus kesedihanmu dengan sekali
usapan wajah, adalah nyata, sayang, sampai kapan pun,” kata sang ayah, sembari
mengecup ujung kepala sang gadis kecil. Kemudian begitu saja, Kamila kecil
tertidur dalam pelukan sang ayah dengan tenangnya.
Air mata menetesi pipinya. Kini
dia bukan lagi seorang anak enam tahun yang ditinggal pergi ayahnya sehingga
tidak bisa tidur. Dia adalah manusia dewasa yang telah memahami dengan jelas
baik buruk sebuah perbuatan. Dan untuk menyelesaikan kesedihan, tidak lagi
cukup dengan sapuan tangan ke wajahnya kemudian semua masalah akan selesai.
“Ayah,” ujarnya lirih, selirih
jatuhnya cairan bening dari sudut matanya yang turun tanpa suara. Ia rindu akan ayahnya, namun dalam kondisi
seperti sekarang ini, sulit baginya untuk pulang. Semua kepercayaan telah
dilanggar, semua norma telah dikangkanginya. Yang ada kini hanyalah penyesalan
yang percuma. Sebuah test-pack
bergaris merah dua dibuangnya dalam sekali lemparan, lenyap di kegelapan malam.
***
Tuhan,
ambil nyawaku sekarang! Aku sudah tidak sanggup lagi! Aku tidak memiliki muka
di depan kedua orang tuaku, di depan semua orang, di mata dunia yang
melingkupiku!
Dan
aku tidak sanggup bahkan hanya untuk memandangnya, Tuhan!
Aku tidak tahu bagaimana
pastinya, kesadaranku hilang begitu saja. Menit berlalu bahkan hingga hitungan
jam, mungkin selama itu pula aku tak sadarkan diri. Yang aku ingat hanyalah
sebuah dialog, entah dialog itu sungguhan ada ataukah hanya imajinasi belaka.
“Aku tidak sanggup
membesarkannya, Tuhan. Aku sungguh tidak punya muka, bahkan untuk menatapnya,
membelai, atau bahkan merawatnya hingga tumbuh dewasa.” Lirih terucap dalam
balutan air mata kepasrahan dan selimut tabir berwarna putih mengelilingiku.
Sunyi, tidak ada jawaban. Yang
aku sadari adalah bahwa ada suara entah dari mana datangnya, mengabarkan, bahwa
seorang yang meninggal dalam kondisi melahirkan, diganjar surga baginya. Yah,
surga, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan buah-buahan yang tidak
pernah habis. Surga, benar-benar sebuah surga.
Aku menangis. Bahkan di akhir
sisa kehidupanku, hanya sebuah permintaan sederhana untuk diambil nyawaku,
begitu besar beban yang harus kulalui. Aku malu pada dunia, malu pada dosa yang
telah kuperbuat. Aku malu pada nasib dan masa depan anak ini. Aku hanya ingin
diakhiri sampai sini, namun entah mengapa ganjaran surga begitu membebaniku.
Aku kembali berurai air mata hingga tak bisa bernapas. Mungkinkah aku mati
dalam imajinasi? Atau hanya pada alam bawah sadar sajalah keinginanku akan
dikabulkan?
“Apakah aku tidak layak
mendapatkan surgaMu ya Tuhan?”
Sebuah pertanyaan terbersit dalam
benakku. Aku tidak layak meminta surga, yang kuminta hanyalah berakhirnya
nyawa.
***
‘Yah,
mungkin aku bukan tidak layak untuk mendapatkannya. Tetapi belum. Belum
saatnya. Karena cinta, tidak pernah salah.’
Dia belum meninggal. Ada satu
nyawa yang tidak terselamatkan saat itu, namun bukan dia. Wajahnya putih tak
berdosa, dibalut kain yang menyelimuti tubuh mungilnya. Laki-laki, tampan
seperti ayahnya yang bahkan sejak pemberitahuan mengenai benih yang berhasil
ditanamkannya dalam rahim sang ibunda, ia lenyap dalam hitungan waktu dengan
segera. Seolah perempuan itu sendiri yang harus menanggung dosa seumur
hidupnya. Seolah perempuan itu hanyalah pemeran figuran yang hanya muncul
sesaat kemudian lenyap di balik panggung sandiwara. Namun bayi itulah yang
terlebih dahulu merasakan indahnya surga.
Sebulan sudah sejak peristiwa itu
terjadi. Tanah kuburan yang dulunya basah telah mengering. Bunga yang
ditaburkannya juga sudah menghilang dibawa angin yang melintasi tanah pemakaman
sang bayi. Yang telah pergi biarlah pergi, meninggalkan yang hidup untuk melanjutkan
skenario besar dari Pemilik alam semesta padanya.
Sampai detik ini, meskipun ia
hanya dianggap debu yang menempel pada ujung sepatu, atau bahkan aib besar
dalam lingkungan dan keluarga, Kamila tetaplah merasa dirinya adalah poros
semesta. Ialah tokoh utama dalam skenario kehidupannya. Dan seperti yang
dikatakan sebelumnya, bahwa hidup tetaplah harus berjalan sebagaimana
semestinya.
Sore itu, sosoknya yang kembali
ramping dengan wajah ranum dan ayu yang sama seperti sebelumnya, terlihat
mengetuk sebuah pintu. Berharap kehidupan kembali membukakan pintu untuk
kehadirannya.
“Sabar ya sayang, jangan menangis
dulu,” ujarnya pada sebentuk wajah menyerupai boneka cantik yang sedari tadi
digendongnya selama perjalanan jauh kembali.
Sekali lagi ia mengetuk pintu,
sembari menepuk-nepuk bagian bawah gendongannya. Semoga tangan itu masih ada,
yang akan mengusap wajahnya dan membuat kesedihan lenyap seketika, meskipun
untuk menghapus kesalahan tidak semudah gerakan tangan atau acungan tongkat
sihir dalam cerita dongeng belaka.
“Ayah.”
Pada saatnya nanti, tangannya ini
yang akan mengusap wajah gadis mungilnya. Menghilangkan kesedihan seperti yang
pernah dilakukan ayahnya dulu padanya. Gadis kecil ini, tidak pernah salah.
Bukan cinta yang salah, meskipun dia lahir dan bertahan hidup dari sebuah
kesalahan. Ia masih mengetuk pintu, berharap mereka masih mau menerimanya. Juga
bayi kembarnya yang masih diizinkan menatap dunia, Leonora Evelyn namanya, yang
artinya adalah cahaya kehidupan.
0 komentar:
Post a Comment