18.4.14

Seberkas Cahaya Kehidupan


Cinta tak pernah salah. Tapi ini apa?

Sebuah pertanyaan yang belum mampu kukorelasikan jawabannya. Aku tidak tahu, tidak pernah tahu menahu. Aku hanya serpihan debu dalam galaksi yang maha luas. Aku, hanyalah atom tak kasatmata dalam skenario besar alam semesta. Aku hanya setitik kehidupan yang mungkin tidak diperhitungkan. Tapi dalam hidupku, akulah pusat galaksi. Bumi berputar dan aku menjadi porosnya. Aku tokoh utama dalam kehidupanku sendiri meskipun dalam waktu dan ruang yang sama, aku menjadi pemeran pembantu dalam kehidupan orang lain. Pemeran figuran, yang sekali muncul kemudian terlupa dalam hidupnya. Hanya menjadi kilasan dalam hidup seorang yang telah meninggalkan seberkas noda dalam episode panjang takdirku sendiri yang kemudian menemui jalan buntu. Bagaikan terowongan gelap, dengan ujung berkabut tebal yang akhirnya buntu. Terasing. Hingga menyisakan misteri apakah kehidupan masih akan bergulir dalam kehidupanku detik ini, detik berikutnya, dan berikutnya lagi.


Aku kini berada di sebuah bilik kecil dua kali tiga dengan penerangan maksimal. Hidupku dipertaruhkan oleh bantuan tiga orang—tepatnya dua yang berpakaian putih-putih, karena yang satu hanya bisa meringis memandangiku dengan kasihan tanpa bisa melakukan apa-apa—yang berbagi udara denganku saat ini. Mungkin jam telah menunjukkan waktu dini hari, aku tidak tahu persisnya jam berapa saat ini dan berapa lama aku terbaring di atas ranjang ini. Jangankan untuk mengamati waktu, bahkan aku tidak tahu apakah diri ini masih cukup memiliki waktu barang sejam lagi untuk menuntaskan misi suci ini.

Aku menghela napas lagi, sesuai perintah. Bukan hanya karena sesuatu yang harus segera dikeluarkan, namun lebih kepada mendengus tentang sebuah pemikiran tentang ‘misi suci’. Diriku ini cukup hina untuk bisa katakanlah melakukan misi suci, tugas mulia, atau apapun yang dinisbahkan orang pada apa yang sedang kulakukan saat ini. Aku seonggok daging yang hina, pelanggar norma agama dan susila. Masih pantaskah dikatakan mengawal sebuah misi yang berhubungan dengan eksistensi makhluk lain? Yang bahkan sama sekali tidak kuinginkan keberadaannya bersemayam di tubuh ringkih ini.

“Ayo tarik napasnya lagi! Keluarkan!” ujar seseorang berseragam putih di sebelah kiri.

Entahlah, tanpa perintah itu pun pasti aku akan melakukannya. Mengeluarkan makhluk bernyawa yang telah membersamaiku selama sembilan bulan lamanya. Aku sudah mengejan, mendorong, berusaha sekuat tenaga hingga putus urat syarafku untuk melakukannya. Sudah habis rasanya tenaga, mereka pun telah lelah sepertinya untuk membantuku. Aku pun sudah lelah rasanya untuk berjuang.

Berjuang, sebuah kata yang manis untuk dipikirkan. Yah, Kamila Natasha sedang berjuang untuk melahirkan anak tanpa ayah ke dunia. Rasanya lucu, aneh. Mungkin kedua bidan itu menganggap bahwa aku hanyalah bagian dari daftar tugas dalam pekerjaannya. Mungkin sudah puluhan atau bahkan ratusan persalinan yang dibantunya. Tapi tetap saja, aku adalah tokoh utama dalam kehidupanku. Ini kisahku, ini persalinanku yang pertama. Dan ini akan menjadi tonggak sejarah kehidupanku yang pastinya seratus delapan puluh derajat akan berubah. Jika dan hanya jika misi ini berhasil aku selesaikan.

Tapi sepertinya aku sudah menyerah.

Tuhan,ambil nyawaku saja saat ini! Aku sudah menyerah!

Detik berikutnya kesadaranku hilang sempurna.

***

Gadis bersurai hitam legam sepunggung itu terlihat keluar dari sebuah rumah kost yang cukup mewah di kawasan kampus yang terkenal di kotanya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit, di mana seharusnya arus yang terjadi adalah penghuni kost yang seharian telah pergi, datang kembali untuk sekedar meletakkan mimpi pada porsinya. Menggantungkan harapan pada doa sebelum tidur dan mengistirahatkan raga sejenak dari roda kehidupan yang terus berputar. Namun yang dilakukan Kamila, ia justru baru memulai harinya di luar.

Seperti malam-malam sebelumnya, gadis bersorot mata tajam ini duduk di sebuah bangku taman yang kian malam semakin  ramai dengan aktivitasnya sendiri. Ia membeli sebungkus kacang rebus, kemudian menikmati dinginnya malam sendirian, bersandarkan bangku kayu dan mulai memandangi bintang.

Apa yang sedang dia cari? Petuah hidup? Petunjuk akan sebuah harta karun? Kedamaian yang abadi? Entahlah. Padahal hidupnya bisa dikatakan sempurna dalam kacamata orang awam. Lahir dari keluarga yang cukup berada, dikaruniai wajah yang cantik rupa, dan pergaluan yang luas. Namun entah mengapa, ada satu sisi dalam relung jiwanya yang kosong.

Ia menatap bulan yang sedang purnama. Tak lama kemudian pandangannya menyapu ke sekitar taman yang semakin malam semakin ramai ini. Biasanya ada bocah kecil itu yang menemaninya di tempat ini. Kurang lebih setengah jam. Kamila akan memintanya menyanyikan lagu apa saja yang bisa membuatnya terhibur, dan anak lelaki seumuran pelajar SMA kelas XI itu biasanya akan menurutinya dan membawakan lagu-lagu itu dengan sempurna. Begitulah setiap malam, kemudian rupiah bergulir dari sakunya ke tangan pengamen cilik itu. Namun malam ini, satu-satunya hiburannya tidak ada. Lengkap sudah semua penderitaannya hari ini.

Akhirnya ia hanya melamun, sembari menyibukkan diri dengan kacang rebus dalam genggamannya. Pikirannya mengelana jauh saat dirinya masih berumur enam tahun, menangis memandang bulan purnama—seperti yang dilakukannya saat ini—dan menunggu ayahnya pulang. 

“Kamila sayang,” ujar sang ayah ketika mendapati putri kecilnya yang tersedu karena tidak bisa tidur akibat menunggunya. “Kenapa belum tidur, Nak?”

Ayahnya mengelus surai hitamnya, menggendongnya ke dalam kamar dan mendongenginya seperti malam-malam sebelumnya.

“Kamu tahu cerita sang penyihir zaman dulu kala, Kamila?”
“Nggak tahu, ayah,” jawabnya, sembari mengusap pipinya yang masih berbekas air mata.

“Zaman dahulu kala di Britania, ada sekumpulan penyihir yang hidup tenang dan damai. Penyihir itu memiliki kekuatan untuk dapat menghilangkan kesedihan yang dialami oleh orang lain. Dalam satu usapan ke wajah siapa pun, maka sang penyihir baik bisa menghilangkan kesedihan orang lain. Seperti ini,” sang ayah kemudian mengusap wajah gadis kecilnya dengan satu usapan lembut miliknya. Sisa-sisa air mata lenyap begitu saja pada wajah Kamila enam tahun itu.

“Bagaimana kesedihannya bisa hilang, Yah?” 
“Ya karena kekuatan tadi.”
“Kekuatan sihir?”
“Sebenarnya bukan, Kamila. Penyihir itu hanya ada di dongeng saja. Kenapa kesedihannya bisa hilang? Karena ada kekuatan cinta di sana. Sama seperti yang tadi ayah lakukan padamu. Kamu sudah tidak sedih lagi kan?”

Gadis itu tersenyum. “Nggak Yah,” dan mengecup pipi kiri ayahnya. “Jadi, cerita ayah tadi itu, dongeng atau kisah nyata?”

Sang ayah tersenyum. “Cerita tadi hanya dongeng. Tapi, keberadaan ayah untuk menghapus kesedihanmu dengan sekali usapan wajah, adalah nyata, sayang, sampai kapan pun,” kata sang ayah, sembari mengecup ujung kepala sang gadis kecil. Kemudian begitu saja, Kamila kecil tertidur dalam pelukan sang ayah dengan tenangnya.

Air mata menetesi pipinya. Kini dia bukan lagi seorang anak enam tahun yang ditinggal pergi ayahnya sehingga tidak bisa tidur. Dia adalah manusia dewasa yang telah memahami dengan jelas baik buruk sebuah perbuatan. Dan untuk menyelesaikan kesedihan, tidak lagi cukup dengan sapuan tangan ke wajahnya kemudian semua masalah akan selesai. 

“Ayah,” ujarnya lirih, selirih jatuhnya cairan bening dari sudut matanya yang turun tanpa suara.  Ia rindu akan ayahnya, namun dalam kondisi seperti sekarang ini, sulit baginya untuk pulang. Semua kepercayaan telah dilanggar, semua norma telah dikangkanginya. Yang ada kini hanyalah penyesalan yang percuma. Sebuah test-pack bergaris merah dua dibuangnya dalam sekali lemparan, lenyap di kegelapan malam.

***

Tuhan, ambil nyawaku sekarang! Aku sudah tidak sanggup lagi! Aku tidak memiliki muka di depan kedua orang tuaku, di depan semua orang, di mata dunia yang melingkupiku!
Dan aku tidak sanggup bahkan hanya untuk memandangnya, Tuhan!

Aku tidak tahu bagaimana pastinya, kesadaranku hilang begitu saja. Menit berlalu bahkan hingga hitungan jam, mungkin selama itu pula aku tak sadarkan diri. Yang aku ingat hanyalah sebuah dialog, entah dialog itu sungguhan ada ataukah hanya imajinasi belaka.

“Aku tidak sanggup membesarkannya, Tuhan. Aku sungguh tidak punya muka, bahkan untuk menatapnya, membelai, atau bahkan merawatnya hingga tumbuh dewasa.” Lirih terucap dalam balutan air mata kepasrahan dan selimut tabir berwarna putih mengelilingiku.

Sunyi, tidak ada jawaban. Yang aku sadari adalah bahwa ada suara entah dari mana datangnya, mengabarkan, bahwa seorang yang meninggal dalam kondisi melahirkan, diganjar surga baginya. Yah, surga, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan buah-buahan yang tidak pernah habis. Surga, benar-benar sebuah surga.

Aku menangis. Bahkan di akhir sisa kehidupanku, hanya sebuah permintaan sederhana untuk diambil nyawaku, begitu besar beban yang harus kulalui. Aku malu pada dunia, malu pada dosa yang telah kuperbuat. Aku malu pada nasib dan masa depan anak ini. Aku hanya ingin diakhiri sampai sini, namun entah mengapa ganjaran surga begitu membebaniku. Aku kembali berurai air mata hingga tak bisa bernapas. Mungkinkah aku mati dalam imajinasi? Atau hanya pada alam bawah sadar sajalah keinginanku akan dikabulkan?

“Apakah aku tidak layak mendapatkan surgaMu ya Tuhan?”

Sebuah pertanyaan terbersit dalam benakku. Aku tidak layak meminta surga, yang kuminta hanyalah berakhirnya nyawa.

***

‘Yah, mungkin aku bukan tidak layak untuk mendapatkannya. Tetapi belum. Belum saatnya. Karena cinta, tidak pernah salah.’

Dia belum meninggal. Ada satu nyawa yang tidak terselamatkan saat itu, namun bukan dia. Wajahnya putih tak berdosa, dibalut kain yang menyelimuti tubuh mungilnya. Laki-laki, tampan seperti ayahnya yang bahkan sejak pemberitahuan mengenai benih yang berhasil ditanamkannya dalam rahim sang ibunda, ia lenyap dalam hitungan waktu dengan segera. Seolah perempuan itu sendiri yang harus menanggung dosa seumur hidupnya. Seolah perempuan itu hanyalah pemeran figuran yang hanya muncul sesaat kemudian lenyap di balik panggung sandiwara. Namun bayi itulah yang terlebih dahulu merasakan indahnya surga.

Sebulan sudah sejak peristiwa itu terjadi. Tanah kuburan yang dulunya basah telah mengering. Bunga yang ditaburkannya juga sudah menghilang dibawa angin yang melintasi tanah pemakaman sang bayi. Yang telah pergi biarlah pergi, meninggalkan yang hidup untuk melanjutkan skenario besar dari Pemilik alam semesta padanya. 

Sampai detik ini, meskipun ia hanya dianggap debu yang menempel pada ujung sepatu, atau bahkan aib besar dalam lingkungan dan keluarga, Kamila tetaplah merasa dirinya adalah poros semesta. Ialah tokoh utama dalam skenario kehidupannya. Dan seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa hidup tetaplah harus berjalan sebagaimana semestinya.

Sore itu, sosoknya yang kembali ramping dengan wajah ranum dan ayu yang sama seperti sebelumnya, terlihat mengetuk sebuah pintu. Berharap kehidupan kembali membukakan pintu untuk kehadirannya.
“Sabar ya sayang, jangan menangis dulu,” ujarnya pada sebentuk wajah menyerupai boneka cantik yang sedari tadi digendongnya selama perjalanan jauh kembali. 

Sekali lagi ia mengetuk pintu, sembari menepuk-nepuk bagian bawah gendongannya. Semoga tangan itu masih ada, yang akan mengusap wajahnya dan membuat kesedihan lenyap seketika, meskipun untuk menghapus kesalahan tidak semudah gerakan tangan atau acungan tongkat sihir dalam cerita dongeng belaka.

“Ayah.”

Pada saatnya nanti, tangannya ini yang akan mengusap wajah gadis mungilnya. Menghilangkan kesedihan seperti yang pernah dilakukan ayahnya dulu padanya. Gadis kecil ini, tidak pernah salah. Bukan cinta yang salah, meskipun dia lahir dan bertahan hidup dari sebuah kesalahan. Ia masih mengetuk pintu, berharap mereka masih mau menerimanya. Juga bayi kembarnya yang masih diizinkan menatap dunia, Leonora Evelyn namanya, yang artinya adalah cahaya kehidupan.

0 komentar:

Post a Comment