"Apa kau bercanda? Ini jelas tidak baik-baik saja!"
"Maaf. Ya sudah, kita bicarakan yang lain saja."
"Tidak bisa begitu! Aku butuh penjelasan!"
"Sudah, nanti saja kita bahas. Sekarang, aku ingin bertanya satu hal padamu. Hmm, banyak sih, tapi sepertinya satu dulu."
"Huh? Kamu mau bertanya apa?"
"Apakah sekarang kamu bahagia?"
"Kenapa kamu bertanya begitu?"
"Tidak. Hanya bertanya saja. Kamu tidak mau menjawab?"
"Hum, oke baiklah. Ya, aku bahagia. Rasanya semua yang kutargetkan hampir semua tercapai. Tinggal satu, oh tapi yang terakhir itu bisa kudapat sebentar lagi, sepertinya."
"Oh, begitu."
"Ya, kenapa?"
"Tidak apa-apa. Kalau begitu, kamu hidup untuk apa?"
"Maksudmu untuk apa?"
"Ya, tidak ada maksud apa-apa, hanya bertanya: untuk alasan apa kamu hidup selama ini? Mengejar kebahagiaan?"
"Bisa dibilang begitu, kan?"
"Jadi, jika yang satu tadi itu berhasil kamu dapatkan, tujuan hidupmu juga sudah tercapai?"
"Iya."
"Terus kalau sudah dapat, kamu mati dong."
"HAH?"
"Kan tujuan hidupnya sudah tercapai. Habis itu, mau apa lagi?"
"Ya aku juga tidak tahu mau apa lagi. Kalau sudah kaya, mapan, berkecukupan, ya sudah kan? Tinggal cari istri. Tidak susah kok, banyak yang mau, hahaha."
"Huuu. Kalau sudah mati, kamu mau ke mana?"
"Ke surga."
"Semudah itu?"
"Dan kenapa harus berpikir serumit itu?"
"Kamu... Yakin masuk surga?"
"Hahahaha. Kamu ini sudah dua lima, tapi pertanyaanmu seperti anak dua belas saja yang sedang mengerjakan PR Agama."
"Entahlah, hanya berpikir saja. Dan bagaimana jika kita buat saja dialog ini semudah itu? Seperti pertanyaan seorang bocah dua belas tahun yang bertanya soal tugas Agama?"
"Kamu mempersulit dirimu sendiri."
"Aku hanya ingin mengetahui pemikiranmu."
"Huh, baiklah. Aku umat beragama, jika ke arah situ pembicaraan ini yang ingin kamu ketahui. Aku percaya Tuhan, meskipun aku tidak tahu apakah dalam konteks ini, percaya yang kamu maksud sama dengan percaya yang ada dalam pemikiranku."
"Maksudmu, percayamu itu berbeda dari membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan dilakukan dengan perbuatan?"
"Ah, itu kan hanya retoris."
"Ehehe, kupikir malah justru percayamu itu yang retoris. Jadi misalnya kamu mencintai seorang gadis, kamu hanya membenarkan, kemudian mengucapkannya saja tanpa ada tindakan? Ah, gadis itu pasti sudah kabur menunggu kepastian darimu yang tidak kunjung datang."
"Hahaha."
"Berarti benar. Jadi.."
"Eits tunggu. Tidak bisa disimpulkan semudah itu."
"Bisa saja. Andre, aku mengenalmu sudah lama, lebih dari hitungan lima tahun kita berteman, kan? Jadi tanpa pembenaran darimu pun, aku sudah mengetahuinya, kawan."
"Oh, terserahmu lah."
"Iya, jadi kamu melakukan pembelaan pun sepertinya tidak mempan."
"Kalau begitu mengapa kamu mempertanyakan hal-hal yang menurutmu sudah kamu ketahui?"
"Hanya... Semacam ingin mendapatkan penyangkalan. Oke, jangan dipotong lagi, aku belum selesai berbicara. Jadi, jika kamu mempercayai Tuhan, apa hanya dengan pembenaran dalam hati saja dan pengucapan secara lisan, menurutmu itu sudah dibilang 'cukup' menjadi orang yang percaya Tuhan?"
"Jadi, apakah jika aku beribadah harus laporan padamu dulu setiap waktu?"
"Hahaha, sudah ah jangan[i] sewot,[/i] aku hanya bertanya. Kalau memang kamu seperti apa yang baru saja kamu katakan, tentang beribadah dan berbuat baik itu sudah kamu laksanakan, aku hanya bisa mengucap syukur. Kemudian beroda semoga kita bisa bertemu dan berteman lagi di surga, boleh berharap seperti itu kan?"
"Kamu minta doa saja sana ke Tuhanmu—"
"Sudah."
"—eh?"
"Ya. Aku sudah berdoa seperti itu. Semoga Tuhanku, Tuhanmu, Tuhan semesta alam raya mengabulkan doaku."
"Kamu ini kenapa, Ariana?"
"Hehe, tidak apa-apa."
"Oke, kalau begitu jelaskan, tentang pembicaraan awal kita yang tadi kaupotong jadi malah membicarakan soal bahagia, surga, Tuhan, dan hal-hal remeh lainnya itu."
"Ya Tuhan! Oke, persepsi kita soal itu rupanya [i]memang[/i] tidak sejalan. Kamu menganggap itu sebagai hal yang hanya bisa dengan mudah diucapkan, tapi aku menjadikan itu sebagai penerang jalan. [i]Way of life.[/i] Aku dan segala hal tentang kekolotanku soal sembahyang lima waktu, dan lain sebagainya. Kamu menganggap itu hal remeh sementara aku menjadikan itu sebagai tumpuan."
"Jangan mulai lagi deh, Ariana. Jelaskan, mengapa kamu menutupi hal penting soal kepindahanmu ke Bandar Lampung padaku, sekarang!"
"Aku... Aku akan menikah, bulan depan."
"Oh. Astaga!"
"Iya."
"Bagaimana bisa? Ba-bagaimana kamu tidak cerita padaku, Ariana?"
"Ini... Ini aku sudah cerita."
"Tapi bagaimana bisa?!"
"Bagaimana bisa apanya? Ada seorang yang baik memintaku pada kedua orang tuaku, lalu aku mengetahui kebaikannya, dan bersedia menerima kekurangannya. Aku berusaha yakin kalau dia mampu menjadi nahkoda yang baik bagi kehidupanku mendatang dan... Aku akan berusaha untuk mencintainya. Aku yakin pasti bisa."
"Yakin bagaimana? Apanya?!"
"Aku memiliki persepsi keyakinan yang berbeda denganmu, ingat kan? Jadi aku yakin pasti bisa."
"Kenapa... Kenapa bisa?"
"Bisa saja. Karena, aku sedang berusaha untuk menjadikan Tuhan sebagai tujuan dan menjalani keyakinanku sebaik-baiknya. Karena, aku sedang berusaha untuk menjadi orang baik, itu saja."
"..."
"Maaf kalau ternyata kita memang benar-benar berbeda. Bisakah tetap berteman, selamanya?"
0 komentar:
Post a Comment