Matahari mencapai puncaknya saat seorang gadis dengan kaki gemetar
melangkah ke tengah ladang yang kering kerontang. Dadanya bergemuruh bagaikan
embusan badai di musim salju. Laksana deru es memeluk angin kencang yang
menghantam setiap gubuk kecil yang hanya memiliki kayu bakar terakhir dengan
api menyala sendu. Tapi itu semua hanya berlangsung di dalam benak sang dara.
Tidak pernah ada badai salju di tanah mereka. Meskipun ada, dan andaikan badai
salju tersebut akan memorak-porandakan gubuk mereka, itu jauh lebih baik
ketimbang puncak kemarau yang tengah melanda sekarang.
‘Setidaknya, jika musim dingin itu terjadi, aku tidak perlu
mengalami ketakutan yang tengah kualami saat ini,’ batinnya.
Tangannya menggenggam sebatang bambu dengan ujung runcing yang
bahkan tidak pernah ditatapnya. Dari jarak tidak terlalu jauh darinya, pemuda
berusia dua tahun lebih muda darinya menghunuskan pedang, tatapannya mengandung
nafsu untuk mengalahkannya dalam sekali tebasan. Gadis itu, Naya namanya, hanya
berani menatap dengan getir, tidak mampu menyembunyikan ketakutan yang
bersemayam pada kedua bola matanya, membiarkan sang pemuda meraup sisa-sisa
harapan yang dia miliki… kalau masih ada.
***
“Aku sudah memutuskan…,” tatapannya melayang ke atas kasur,
saudara lelakinya terbaring tak berdaya di sana, “aku yang akan menggantikan
Victor pada Turnamen Tarian Kemarau nanti,” lanjutnya dengan suara pelan namun
tegas.
Seketika gubuk yang hanya memiliki satu obor sebagai penerangan
itu hening. Sebuah keheningan yang menyayat hati, bagaikan permainan suling
dalam upacara kematian di Halfland yang dilangsungkan secara turun-temurun
hingga sekarang. Dan keheningan itu dipecahkan oleh isak tangis teredam
salah seorang adik perempuannya.
“Ba… bagaimana mungkin aku membiarkanmu turun dalam turnamen itu,
Naya?! Setelah apa yang dialami Victor dua tahun yang lalu pada turnamen yang
sama?!” pekik Isabella adiknya.
***
Gemuruh penonton di pinggir ladang membuyarkan ingatannya yang
tadi sempat berkelana menyusuri masa beberapa hari sebelum dirinya berada di
pusat keramaian ini. Pandangan Naya bergerak menyusuri penonton, barangkali
adik-adiknya ada di antara kerumunan mereka, menontonnya. Meskipun beberapa kali
ia mengharapkan tidak ada satupun kerabatnya yang akan menangisi darahnya yang
tertumpah di atas retakan tanah ladang panas dan kering.
***
“Victor tidak pernah muncul sejak kekalahannya dua tahun lalu, aku
tidak dikenal oleh mereka. Dan aku yakin, mereka tidak akan pernah memedulikan
apakah Victor atau siapa pun yang akan mewakili rumah ini dalam turnamen.”
Dadanya seolah berapi, bagaikan ranting dan daun kering di puncak musim panas
yang terkadang membakar dirinya sendiri. “Aku tidak akan pernah membiarkan
mereka membawa Victor yang lemah.” Suara Naya tercekat.
Dia bisa membaca pikiran Isabella, bahkan Maureen adik bungsunya
yang bisu dan hanya menatap dirinya dengan berkaca-kaca. Satu-satunya opsi yang
paling memungkinkan adalah membiarkan Victor masuk ke dalam pertandingan,
dengan begitu bisa memuluskan jalan kakak sulung mereka hingga tidak lagi
merasakan kesakitan. Itu adalah satu-satunya opsi, hingga Naya mencetuskan
niatnya untuk menggantikan posisi Victor, mengenakan jubah dan baju zirahnya, memasang
ikat kepala hitam sebagai pertanda bahwa dia pernah menjalani pelatihan militer
bersama banyak pemuda di tanah Halfland beberapa waktu silam.
***
Tarian Kemarau, pesta akbar pemanggil hujan di mana awal mulanya
para cenayang dan pertapa percaya, bahwa bumi di puncak kemarau pada siklus dua
tahunan meminta persembahan. Semua pemilik rumah harus mempersembahkan pemuda
mereka sebagai peserta. Darah yang membasuh retakan-retakan tanah pada ladang gandum akan kembali menyuburkan, mengundang hujan turun mengguyur tanah mereka.
Raja dan panglima perang turut menabuh genderang, dengan menjadikannya sebagai
pesta rakyat dan ladang untuk mencari kesempatan merekrut para perwira
baru—mengabaikan yang mati atau terluka parah, ya, tentu saja, Victor adalah
contohnya.
“Ini akan sangat mudah untuk diselesaikan,” geram pemuda bernama Vlad.
Satu tebasan pedang menggores lengan Naya, darah menetes pada
ujung pedang perak itu. Seringai muncul pada bibir Vlad, barangkali tengah
membayangkan 20 keping emas yang akan ia dapatkan jika melewati babak pertama,
lalu 200 jika dia sanggup melesat di babak kedua, dan 2.000 emas jika berhasil
memenangkan pertandingan ini sampai selesai.
***
"Aku yang wajahnya paling mirip dengan Victor, aku yang
bertanggung jawab menjaga kalian setelah Victor tidak mampu melakukannya. Dan
aku, adalah seorang pekerja di dapur istana. Melakukan itu bahkan mungkin akan
semudah menebas daging kalkun atau mencincang biri-biri sebagai makan siang
para pekerja di istana." Suara Naya melemah dan bergetar.
Isabella hendak meneriakkan tangisnya, namun ditahan karena tidak
ingin membangunkan kakaknya yang tengah tidur terkulai lemah. Hanya Maureen
yang bangkit. Air matanya sudah diusap dengan punggung tangannya, lalu tangan
mungil itu mengambil sebilah belati, membuat kedua kakaknya terkejut dengan apa
yang dilakukan si bungsu bisu mereka.
***
Satu tebasan lagi menerabas ke arah kiri, namun tindakan impulsif
sang gadis, secekatan saat ia menghampiri tungku ketika air rebusan kepala
kambing yang ada di dalamnya mendidih dan hendak meluap dan menyimburkan air
untuk memadamkan apinya di bawah panci, secepat itulah ia mengelak dari
serangan yang baru ini. Dadanya masih berdebar. Gadis itu terkejut, lawannya
gemas dengan upaya pembelaan dirinya.
“Orang yang bangkit dari sekarat bisa juga membela diri? Apa kabar
Victor? Lelah dengan tidur panjangmu?” ejek Vlad kepadanya.
Gemuruh kembali melanda dada Naya. Ia tahu yang dirinya lakukan
hanyalah perlu diam, sediam yang Maureen lakukan, untuk memerankan skenario
ini.
Untuk memenangkan babak dalam pertempuran, petarung hanya perlu
menjatuhkan dan memerahkan tanah dengan darah lawan. Hanya itu. Tapi, jarang
menemukan para petarung baik hati yang mau membiarkan lawannya terjatuh saja.
Dan Naya terlanjur berjanji pada Maureen untuk melakukan satu hal.
Dua kali lengan kanannya tertebas, yang ini cukup dalam. ‘Ini
hanya seperti tergores pisau daging!’ batinnya meyakinkan diri. Tapi Naya masih
berdiri dengan kedua kakinya. Tombak yang menjadi senjata membantunya untuk
bertahan.
SRET!
Vlad memotong bambunya hingga terbelah menjadi dua, Naya berdiri
limbung tanpa tumpuan bersandar. Bambunya menyisakan setengah. Matanya
menyalang, menatap dengan tegas wajah lelaki itu. Dengan kekuatan entah datang
dari mana, gadis itu akhirnya bersuara.
“Aku tidak akan membiarkan nyawaku dihargai hanya dengan 20 keping
emas!”
Vladimir terkejut mendengar suara perempuan, dan saat ia lengah
itulah si gadis kidal memindahkan bambunya, dengan ujung yang terbelah ia
menggoreskan luka di tempat yang sama dengan yang ia dapati. Suara pedang
berkelontang jatuh, dengan satu kakinya gadis itu menendang dada sang lawan dan
membiarkan pemuda itu terjerembab di tanah. Darah lawannya telah membasahi
bumi, masuk ke dalam rongga tanah yang retak.
“Kau! Bisa-bisanya!”
Gemuruh suara dan tabuhan gendang semakin memekakkan telinga saat
mereka telah mendapatkan pemenangnya.
Setidaknya, Naya telah menepati janji pada adiknya, dan ia tahu
bahwa Maureen akan melaksanakan janji yang ia minta, di malam saat gadis itu
memotong rambut panjang miliknya.
***
Mata Maureen berkaca-kaca, namun tangannya sigap, mencengkeram
pirang platina berombak milik kakaknya. Terdengar bunyi gesekan rambutnya
dengan belati… dan kini jatuh ke atas lantai kamar tempat mereka berkumpul di malam itu. Isabella berlari keluar kamar dan berlari ke peraduannya sendiri.
Dari bawah, raungannya masih terdengar samar.
“Jadi, kau merestuiku, Maureen?”
Gadis itu mengangguk, namun belatinya dengan cekatan memotong
rambut panjang Naya. Dia tahu, jika ingin menggantikan peran Victor, Naya harus
melakukannya dengan sempurna.
“Jika aku menjadi korban nanti, kaulah yang akan menggantikan
peranku di rumah ini.” Naya menahan suaranya supaya tetap tenang. “Isabella,
biarkan dia memupuk dan meraih mimpinya untuk menjadi seorang istri pekerja istana.
Biarkan dia menempuh jalannya. Tapi kau, kau harus percaya, Victor akan pulih.
Aku percaya itu. Kau hanya perlu bersabar dan terus merawatnya….”
Suaranya terhenti karena adiknya menatap wajahnya dengan lekat,
Naya melihat kesungguhan yang tidak pernah dilihat sebelumnya pada gadis tiga
belas tahun itu.
“Aku berjanji, nyawaku tidak akan kubiarkan hanya seharga 20
keping emas saja.”
---
Diikutkan dalam #FragmenKemarau @KampusFiksi | 1.200 kata | Sumber gambar
0 komentar:
Post a Comment