28.9.15

Senandung Lirih




Lelaki itu memilih gitar, di antara berbagai macam opsi yang mungkin bisa direngkuhnya untuk menginterpretasikan dua penggal kata yang tengah mewakilinya saat ini: patah hati. 

Minggu depan aku menikah.

Ia bisa saja menjatuhkan pilihan pada bir yang terkesan lebih gentle bagi sebagian orang. Namun lelaki itu lebih bisa memaknai kata gentle lebih baik ketimbang sebagian orang yang tadi. Baginya, menghilangkan kesadaran sementara dengan minuman keras hanya untuk orang-orang lemah, yang tak sanggup menaklukkan badai tornado yang berkecamuk dalam diri. Bukannya tidak mengharapkan untuk dapat menghapus jejak ingatan, justru sang lelaki tengah berjuang menghapuskan memori yang melekat kuat dalam dinding-dinding, pada jalanan yang sunyi maupun di tengah kemacetan, di ujung gang atau jalan tol yang tak bercabang. Setiap sudut kota memiliki kenangan tentang gadisnya, yang ingin disapunya dalam sekali usapan. Bahkan setiap helai udara, nama perempuan itu akan selalu didengarnya. Lirih, bernyanyi dan bersenandung, dalam puncak kemarau atau di tengah hujan. Menarikan tarian kenangan yang berpusar pada diri sang dara, sementara si laki-laki terombang-ambing hingga mabuk dan nyaris mati... ya, dia sudah mabuk tanpa pernah menyentuh bir. Jadi, jika hakikatnya dia telah menyerahkan sedikit kewarasannya untuk mengaku kalah dengan keadaan, untuk apa lagi zat adiktif itu direguknya?


Maaf cuma bisa kasih tahu lewat bbm.


Pemuda itu juga bisa memilih aspirin untuk meredakan nyeri di kepalanya, atau analgesik yang menghilangkan sakit tanpa harus membayar momen kehilangan kesadaran. Tapi melupakan kenangan tidak semudah minum obat tiga kali satu dalam sehari. Tidak segampang tertidur untuk berharap saat bangun luka yang menganga akan kering. Tidak semudah itu. Si pesakitan sekarang tengah menikmati penjaranya sendiri, merasakan kehampaan saat lubang yang tercipta di dalam hidupnya muncul karena sebuah kepergian.

Tapi si lelaki juga memilih pergi, segera setelah fakta menyayat hati itu sampai padanya. 

Pesan yang masuk ke dalam ponselnya belum ia balas.

Lalu dipetiklah gitar itu, bukan dengan nada sumbang, apalagi dengan untaian alunan dramatis yang mewakili sayap kanan sang Eros yang patah hingga ia tidak dapat terbang, memabukkan cinta pada sepasang insan, meskipun apa yang tengah berkecamuk di dalam dadanya lebih dramatis ketimbang itu. Petikan gitarnya cepat, tegas, lugas, namun mengiris hati lebih tajam ketimbang lagu-lagu yang dipilih perempuan untuk menemani rasa sakitnya. Dia seorang adam, bukan hawa. Dia memiliki caranya tersendiri untuk menyenandungkan luka.


Bodoh... kamu tentu saja sudah tahu kabar ini. Tapi... maaf, baru mengucapkan itu secara langsung... sekarang. Kalau kamu minta penjelasan, aku akan berikan... aku baru siap untuk memberikan....


Lelaki itu memainkan gitarnya dengan frustasi, mencoba meredam segala jenis pertanyaan tentang gadisnya, yang memutuskan hubungan dengan dirinya dan selang beberapa bulan kemudian mengikrarkan diri mengikat janji dengan pria lain. Pria lain...

Kenapa kau pergi?

Gadis yang terpaut lima tahun lebih tua darinya itu pernah mengatakan bahwa, usia yang terbentang hanyalah bilangan angka. Untuk apa merisaukan perbedaan umur jika hati sudah melebur? Ya. Untuk apa. Sebuah pertanyaan yang memiliki jawaban sama dengan banyak pertanyaan lain yang menyerbunya di dalam kepala.

Petikan gitar makin kencang meskipun nadanya tetap harmonis. Suara baritonnya tegas, nyaris sumbang untuk meredam suara-suara yang mulai menjajah pikirannya. Sesekali lirikan matanya beralih ke tab percakapan yang dibiarkannya terbuka.

Arga... pulanglah. Papamu mengkhawatirkan dirimu. Maafkan aku. Maafkan kami.

Dia adalah peselancar yang mendadak lemah. Pilihan apa yang bisa dilakukan olehnya selain menaklukkan ombak dengan gagah ataukah dia akan terseret ombak dan terbawa ke lepas pantai? Akhirnya toh dia menyerah kalah. Ke manapun ia melangkah, kenangan akan gadisnya akan tetap ada, bagaikan jejak-jejak kaki yang ditinggalkan di atas bumi. Kini, dia akan tetap mengenang si pemilik senandung, ratu yang pernah bertakhta dalam kerajaan di mana dialah sang abdi, bahkan budak yang dengan setia melayani. Sang ratu akan bersanding dengan raja. Dan raja itu bukanlah dirinya.

Yang dibutuhkan seorang lelaki patah hati hanyalah waktu. Dan baginya sebuah senandung yang digetarkan dengan lirih.

Nanti aku pulang.

Tangannya bergetar untuk mengetikkan sebuah pesan.

Mama.

Semoga kau temukan apa yang kaucari. Yang tak kaudapatkan dari aku.

Aku harus membiasakan panggilan itu mulai sekarang, bukan?

Karena gadis itu akan menjadi ratu dalam singgasana kerajaan ayahnya.




----

Diikutkan dalam #KataNada @KampusFiksi. Inspirasi dari Senandung Lirih by Iwan Fals

0 komentar:

Post a Comment