Baru seminggu aku bekerja disini.
Menerima berbagai map hasil penelitian dari peneliti, kemudian memperbaiki
karya ilmiah mereka dari segi tanda baca dan penulisan EYD sesuai dengan kaidah
berbahasa yang benar. Untuk kemudian, bisa
layak diterbitkan dan menjadi rujukan dan konsumsi kaum akademisi yang haus
akan hasil penelitian terbaru.
Sebuah map bertuliskan Prof. Dr.
Sulastri, M.Si sudah berpindah dari mejaku. Baru saja aku menuju ke ruangan
beliau untuk mengembalikannya. Irisnya yang hitam dibalik kacamata menyapu
halaman demi halaman penelitiannya itu. Aku mengamati wajahnya. Masih cantik.
Walau telah menginjak usia lima puluh tahun, aura kecantikan beliau masih
terpancar, meski kerutan wajahnya tidak dapat disamarkan. Masih sama dengan
foto masa mudanya yang pernah kulihat. Beliau belum menikah. Seperti ada cerita
masa lalu yang belum usai.
Kurogoh laci mejaku, mencari
sebuah portrait yang kumaksudkan tadi. Tidak ada. Dimana foto itu?
Derap langkah yang berhenti di
pintu ruanganku menjawab pertanyaan tadi.
“Sarah.” Suara yang biasa tegas,
terdengar lirih. Foto Ibu Sulastri muda sepertinya terselip di antara kertas pekerjaanku
tadi.
“Kamu anaknya ….?” Tangan kirinya
memegang potret hitam putih dirinya dan seorang pemuda.
Aku tergagap, mengangguk pelan. “Bapak
menunggu anda Professor, tapi …”
Ia masih seorang lelaki dari desa yang tak berpendidikan tinggi.
o'ow.. andai ini kisah nyata..... :D
ReplyDelete... maka saya akan speechless... hehehe :D
ReplyDelete#nyes banget
ReplyDelete