Aku menyebutnya bidadari. Terlalu belebihan?
Tidak. Aku tidak sedang merayu atau menggombal. Dia sungguh-sungguh seorang
bidadari. Setidaknya dia bidadari bagiku, bidadari dalam istanaku.
Apakah dia akan memanggilku ‘sang pangeran’ atau ‘pujaan
hati’? Aku tidak tahu. Tapi sepertinya ide yang bagus untuk menanyakan padanya.
Iya, nanti. Ada saatnya akan tiba aku menatap matanya, menyentuh ke dalam
relung hatinya, dan bertanya, apakah aku lelaki yang selama ini dijemput dalam doanya.
Saat itu tidak akan datang apabila aku tidak
segera melangkahkan kaki, menuju ke rumahnya. Namun apa daya, kakiku sungguh
bergetar hebat, tidak mampu lagi dipercepat. Tapi aku hanya tersenyum, meratapi
kegugupan diri yang tidak dapat dibendung.
Akhirnya aku melangkahkan kaki juga ke rumah yang
berhias gapura dan tenda. Beras kuning ditaburkan, shalawat dikumandangkan,
mengiringi kakiku yang berjalan. Hatiku
semakin berbunga-bunga ketika dihadapkan padanya. Ku coba mencari manik
matanya, namun dia hanya tertunduk malu, wajahnya merah tersipu. Oh bidadariku,
sungguh cantiknya dirimu.
“Saya terima nikahnya, Amanda Reviani binti
Maskur, dengan mas kawin seperangkat alat shalat, dibayar tunai.”
“Sah?” Tanya penghulu.
“Saaah…”
Doa terucap mengiringi langkah baru. Langkah
menuju bidadariku. Ia menangis tersedu di sampingku, dan kini aku mampu menggenggam
tangannya tanpa ragu. Bagiku, dia bukakan pintu hatiku
yang lama tak bisa kupercayakan cinta. Namun baginya, akulah yang membuka pintu
hatinya yang terkunci rapat.
Kasihku, kini aku bebaskan
nasib dan belenggumu, dari orang yang telah merenggut kesucianmu secara paksa
itu. Orang yang kusebut namanya tadi dengan amarah memuncak di dada. Orang yang
namanya akan selalu berada di nama belakangmu. Aku bebaskan kamu dari belenggu
kesedihan itu. Mari kita rebut kebahagiaan yang telah lama memudar dari
kehidupan masa remajamu.
Give me your love.
Now so come on and love me.
Give me your love.
Now so come on and love me.
0 komentar:
Post a Comment