Dua ribu lima ratus tahun yang lalu, terdapatlah sekelompok orang cerdas di Yunani. Mereka biasa dipanggil kaum Sophis (Sophist),
yang dalam bahasa Yunani berarti “orang-orang bijak.” Mereka sangat
terkenal di Athena, mungkin dapat kita bandingkan dengan para selebriti
zaman sekarang. Diantara mereka terdapat nama-nama filsuf ternama masa
itu seperti Heraclitus, Protagoras, Gorgias, Hippias, dan Prodicus.
Kaum Sophis ini hadir dengan mengusung paham skeptisisme, yang
intinya adalah meragukan segala hal. Bagi kaum Sophis tidak ada yang
disebut dengan kebenaran mutlak. Yang ada hanyalah kebenaran subyektif,
kebenaran orang per orang, bukan kebenaran universal. Benar dan salah
hanyalah soal opini. Sekiranya kebenaran itu memang ada mereka tetap
tidak percaya bahwa manusia bisa sampai pada kebenaran itu.
Kendati merupakan kumpulan orang-orang yang tidak punya keyakinan,
kaum Sophis justru pandai meyakinkan orang. Hal ini karena mereka
mengembangkan berbagai teknik berpidato dan berdebat. Ketrampilan ini
masa itu sangat dibutuhkan oleh para elit Athena ketika menghadapi
perdebatan dalam sidang dewan mahkamah Athena. Oleh karena itu mereka
memanfaatkan kepandaian ini dengan mengajarkannya kepada para bangsawan
dengan imbalan uang.
Tidak
seperti sekarang, masa itu tidak ada filsuf yang mengajar demi mendapat
imbalan. Mengajar bagi mereka bukanlah sebuah profesi, tapi merupakan
kewajiban mereka untuk mewariskan ilmu pengetahuan. Itu sebabnya filsuf
Yunani lainnya seperti Socrates mencela kaum Sophis karena baginya
seorang guru tidak patut mengambil keuntungan dari pengajarannya.
Kaum Sophis tidak hanya mengajar seni berpidato dan berdebat, tapi
juga menanamkan sifat munafik kepada murid-muridnya. Sebagai contoh,
murid-murid mereka disuruh berpidato tentang dua hal yang saling
bertentangan. Misalnya, murid disuruh berpidato yang membuktikan bahwa
Tuhan itu ada. Setelah itu murid tersebut diminta berpidato untuk
membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada. Jika sang murid mampu melakukan
kedua hal itu sama meyakinkannya, maka mereka dinyatakan lulus. Jadi,
disini bukan benar atau salah yang penting, tapi bagaimana cara
memenangkan perdebatan. Itu sebabnya Sophisme seringkali dikonotasikan sebagai argumentasi yang cerdas tapi sebenarnya menyesatkan.
Meskipun telah ribuan tahun berlalu tidak berarti ajaran Sophis telah
mati. Pengikut paham Sophis ini justru semakin banyak kita temukan di
masa sekarang. Mereka tersebar dari berbagai profesi yang ciri utamanya
adalah menjadikan retorika sebagai senjata seperti politisi, pengacara,
wartawan, pejabat pemerintah, hingga pegiat LSM,. Senjata utama mereka
adalah kelihaian beradu pendapat yang dilakukan lewat lewat ucapan,
tulisan, atau gambar (visual). Jika perlu debat kusir berkepanjangan
akan mereka layani sampai musuh mereka takluk.
Selama memberikan keuntungan, maka semua itu sah-sah saja bagi
mereka. Para politisi bersilat lidah agar terlihat berpihak rakyat,
padahal hanya ingin dipilih lagi. Para pengacara mencari-cari dalih agar
kliennya yang salah dibebaskan karena dia dibayar mahal untuk itu. Para
wartawan memutar balik fakta agar beritanya laku. Pejabat pemerintah
sibuk membesar-besarkan prestasi agar rakyat tak gelisah karena pajak
yang tinggi. Pegiat LSM sibuk protes sana sini demi mendapat sokongan
dana dari negara asing.
Satu-satunya cara menghadapi kaum Sophis adalah dengan ilmu yang
benar. Sebab, ilmu yang benar dapat mengenal celah-celah kepalsuan
retorika kaum Sophis. Dan sebaik-baik ilmu yang benar adalah yang datang
dari Yang Maha Mengetahui (wahyu) karena ilmu ini bersifat mutlak,
sempurna, dan abadi. Dengan ilmu yang benar seseorang akan terhindar
dari perangkap retorika kaum Sophis.
Oleh : Wendi Zarman
0 komentar:
Post a Comment