Wanita berkerudung hitam itu
keluar dari ruang besuk tahanan dengan mata sembap. Seorang sipir yang
dikenalnya menyapa.
“Sudah ketemu ibunya, Mbak?”
Ia mengangguk.
“Ini kolak pisang Pak, untuk
berbuka.” Ucapnya sembari tersenyum dan menyerahkan bungkusan di tangan kanannya.
“Saya titip ini juga untuk ibu.”
Ia juga menyerahkan keranjang berpita merah yang dibawanya.
Sipir paruh baya itu menatapnya
dengan sendu. Ia bukan lagi gadis muda yang dilihatnya pertama kali beberapa
tahun yang lalu.
“Ibunya masih belum mau terima
bingkisan ini Mbak?”
“Belum Pak.”
Wanita itu, yang hari-harinya
digunakan untuk bekerja sebagai pembantu di kota, dan setiap jelang lebaran
pulang kampung untuk menjenguk ibunya, menatap nanar bingkisan yang tidak
pernah mau diterima.
“Kalau tahun ini ibu nggak mau
terima lagi, ambil saja buat istri Bapak. Isinya ada kue lebaran, minuman, mukena,
baju, sama kerudung.” Ucapnya, kali ini dengan upaya menahan air mata.
“Semoga ibumu diberi hidayah
Mbak. Nanti Bapak berikan ke ibumu sampai dia mau terima.”
Air mata menetesi pipinya
menemaninya keluar dari lembaga permasyarakatan. Teringat kembali kejadian silam
saat ibunya mencoba untuk menjual dirinya ketika ia belia. Sebuah upaya yang
dilakukan untuk menyelamatkan diri dan kehormatannya, harus dibayar dengan
menjebloskan ibunya ke dalam penjara untuk waktu yang lama.
0 komentar:
Post a Comment