Seseorang memanggilku dari arah
jam tiga. Seketika seluruh badan ini gemetar. Bukan karena nama Tiara yang
dipanggilnya, tapi karena suara itu, suara yang masih sangat familiar di
telinga.
Andai saja aku yang melihatnya
terlebih dahulu, sebisa mungkin aku akan menghindar. Entah dengan berpura-pura
tidak melihat kemudian pergi dengan jalan yang lain, atau apa saja yang bisa
aku lakukan supaya tidak terjadi percakapan, atau sekedar tatap muka.
Aku menoleh ke kanan. Rasanya
bibir ini tidak mampu kugerakkan untuk sekedar menyapa atau mengucap salam. Aku
sempat terdiam beberapa saat. Aku hanya mampu menatapnya dengan tatapan sendu.
Berdiri beberapa meter dari tempatku duduk, aku melihat seorang laki-laki yang
sedang menggendong anak perempuan cantiknya. Ia, lelaki yang dulu kukenal
hatinya.
Kau tahu, lelaki muda yang menggendong anak perempuannya adalah
pemandangan yang paling aku suka, kan? Dan kini, orang itu memberikan
pemandangannya buatku. Sore ini, di sebuah tempat minum kopi di pinggir jalan
ibukota.
@>-----
“Aku sudah menikah Tiara.”
Aku hanya bisa terdiam sambil
menatap secangkir kopi hitam di hadapanku. Kuaduk-aduk perlahan kopi yang belum
ku minum sama sekali. Kuperhatikan ampasnya di dasar cangkir yang terasa ketika sendok diadukkan.
Aku sudah tahu.
Pandanganku masih tidak lepas
dari cangkir, dan tanganku masih dengan sendok adukan kopi. Hitam, pahit, pekat.
Seperti itu juga perasaanku, yang ikut diaduk-aduk oleh apa yang terjadi saat ini,
juga saat yang lalu yang telah terjadi.
“Kenapa kamu tidak datang?”
Pertanyaan itu lagi. Mengapa pertanyaan ini muncul lagi, bahkan
itu muncul darimu? Tidakkah kamu tahu bahwa aku mengingkari rasa sakitku
sendiri demi menjawab pertanyaan itu dari teman-temanmu, dari teman-temanku?
“Karena yang kutemui hanyalah
selembar undangan” Jawabku, sambil menatap tajam sang pemilik suara.
Aku tidak pernah mengharapkan
lebih. Aku juga tidak membutuhkan penjelasan, karena tanpa dijelaskan pun aku
sudah tahu. Saat itu, aku hanya memilih untuk berpura-pura tidak tahu untuk
membohongi diriku sendiri. Parahnya, dia mengamini. Sampai suatu ketika semua
tabir telah terbuka, aku hanya mampu pasrah, pada kenyataan yang sudah dapat
kuprediksi sebelumnya.
“Tidak kusangka, kau begitu cepat
berganti hati. Dan bagiku, itu sudah membuktikan semuanya. Kamu tahu bahwa aku
tahu apa yang terjadi sebenarnya. Tapi kamu tidak tahu kan, bahwa aku
mengetahui banyak hal dari yang kamu prediksi!” Ujarku, tajam.
Aku menghela napas sejenak, mengatur
emosi dan menurunkan adrenalin. Kuteguk dengan perlahan air mineral botolan
yang juga kupesan tadi.
“Aku sudah prediksi sebelumnya
kan? Yang kusesali bukan karena ‘apa’ yang terjadi, tapi ‘bagaimana’ itu bisa
terjadi. Secepat itu.”
Cukup. Sudah cukup Tiara. Jangan menyiksa dirimu lagi dengan mengingat
semua yang sudah terjadi!
Kembali kuaduk lagi kopi hitamku
yang sudah tidak panas lagi.
“Aku minta maaf Tiara.” Ujarnya
lirih.
Terlambat. Mengapa kamu baru meminta maaf sekarang?
“Yang aku sesalkan adalah, kenapa
kau tidak memberitahuku sebelumnya bahwa kau akan menikah? Kenapa aku harus
mengetahuinya dari orang lain? Kenapa kau memberitahu semua temanmu sementara
aku tidak? Kenapa harus selembar undangan yang datang bukan kau yang
mengantarnya sendiri? Kenapa, bahkan kau tidak menganggapku sebagai temanmu
lagi? Dan ribuan ‘kenapa’ yang sebenarnya tidak perlu dibahas lagi! Basi!”
Satu sisi hatiku berkata ‘cukup’.
Namun sisi lainnya berkata ‘teruskan’. Selesaikan sekarang juga hingga tidak
akan berbekas lagi. Lagi-lagi kuteguk sisa air mineralku hingga habis. Aku
terlalu sibuk untuk mengembalikan kembali rona wajahku yang memerah seperti
kepiting rebus karena menahan amarah yang tertahan, sehingga aku pun tidak
menyadari betapa merah juga wajahnya.
“Tiara…” Ucapnya lirih, setelah
mendapat serangan dari kalimatku.
“… Aku tahu ini akan berat untuk
kita. Kamu tahu konsekuensinya jika aku
tetap memaksakan kehendak….” Ia melanjutkan.
Bukan itu masalahnya! Kau tahu itu!
“… Kau menghilang begitu saja
dari kehidupanku. Bagaimana mungkin aku bisa menjelaskan semuanya? Kamu pikir
aku bisa menghadapi itu dengan mudah?” Ia kembali melanjutkan.
“Kamu tahu aku melakukan itu demi
kamu juga. Apa kamu sejahat itu menyalahkan kepergianku sementara kamu juga
secara bersamaan menjalin hubungan dengan orang yang kamu panggil istri
sekarang?” Aku menimpali.
“Dan kamu masih menuntutku untuk
datang? Kamu gila! Oh tidak. Kamu hanya tidak pernah paham. Kamu selalu
menuntutku untuk mengerti kondisimu sementara kamu tidak melakukan yang
sebaliknya. Dimana letak adilnya?”
Cukup. Iya, sudah cukup.
Aku menghela napas panjang,
mengakhiri semua pembicaraan omong kosong ini.
“Sudah ya, sampai disini saja
pembicaraan kita, karena aku rasa semuanya juga percuma apabila harus dijelaskan
saat ini. Semuanya sudah terlambat. Perkataan maaf pun tidak akan mengubah
apapun yang sudah terjadi.” Ujarku, sembari mengambil tas yang kuletakkan di
kursi samping.
“Selamat atas pernikahanmu, maaf
karena kemarin aku tidak bisa datang. Dan juga selamat, atas kehamilan Vina.”
Aku berdiri, beranjak pergi. Tidak perlu ia tahu darimana informasi yang baru
saja aku katakan itu.
Aku melangkah perlahan, menahan
jatuhnya air mata. Entah seberapa merah mataku atau wajahku saat ini.
“Oya…” Beberapa langkah dari meja,
aku kembali menoleh ke belakang, kembali menatap wajahnya. “Tolong sekalian
bayarkan kopi dan air mineralku. Aku anggap permintaan maafmu aku terima.”
Sembari kutatap secangkir kopi hitam yang sama sekali tak kusentuh.
Matanya merah, pun wajahnya juga,
sama sepertiku. Tapi tetap saja, bagaimanapun perihnya perasaannya, ada
seseorang disisinya, membuatnya begitu mudah melupakan dan membuang segalanya.
Sementara aku? Apa dia peduli bagaimana kondisiku? Ironis sekali ya, secangkir
kopi bisa membayar permintaan maafnya yang sungguh sangat terlambat.
Semoga suatu saat nanti kita dipertemukan dengan kondisi yang lebih
baik. Dan semoga kamu masih menjadi lelaki yang kukenal hatinya.
@>-----
Seperti dejavu. Kami mengalami
situasi yang sama, di tempat yang sama, di meja yang sama, namun dengan kondisi
dan personel yang berbeda. Tempat ini pun ikut berubah, menjadi semakin modern
baik interiornya maupun menunya. Beragam jenis kopi yang disajikan semakin
bertambah banyak dan beraneka ragam.
Tanpa sengaja memori beberapa
waktu silam kembali berputar seperti putaran film yang ditampilkan ulang. Sudah
lama berlalu, seperti kejadiannya baru kemarin saja.
Aku mempersilakannya duduk di
depanku, dan si batita munginya duduk di sebelahnya. Gadis cilik itu cantik
sekali. Tidak ada sedikitpun kemiripan dengan wajah ayahnya. Ia mewarisi dengan
sempurna wajah ibunya. Sepertinya begitu, aku juga tidak tahu persis. Aku hanya
tahu ibunya dari foto mereka sebelum menikah.
“Hai gadis manis, siapa namanya?”
Ujarku, sembari mengelus dagunya yang runcing, mencoba mencairkan suasana yang
kaku, juga mencairkan hatiku yang beku.
“Tata…” Jawabnya, sembari
mengalihkan pandangan ke arah ayahnya, membuatku tanpa sengaja melakukan hal
yang sama.
“Namanya Qonita.”
“Ooh…”
Aku mengaduk kopiku. Kali ini bukan
lagi kopi hitam yang pekat, tapi, cappuccino dengan krim yang banyak diatasnya.
Manis dan pahit bercampur jadi satu, juga menghasilkan rasa sensasi yang bercampur
aduk jadi satu. Mewakili perasaanku kali ini, mungkin.
“Kamu sehat Tiara?”
“Alhamdulillah.” Jawabku sambil
menyeruput kopi hangatku perlahan. “Gimana juga kabarnya?” Pertanyaan
basa-basi, tidak sopan rasanya jika tidak menanyakan hal yang sama.
Sebenarnya aku sudah tidak ingin
mengetahui kabarnya lagi. Tidak juga aku mengetahuinya atau diam-diam mencari
informasi tentang kehidupannya. Tidak setelah pertemuan terakhir itu. Kuputus
semua bentuk komunikasi yang dapat menghubungkan aku dengannya. Menghilang
sekalian tampaknya menjadi obat bagiku. Setiap orang memiliki jalannya sendiri
kan untuk mengobati lukanya? Dia memilih untuk mengobatinya dengan cara
mengeliminasi aku dari kehidupannya dan mengganti secepatnya dengan orang lain
yang lebih pantas baginya dan keluarga besarnya. Maka aku memilih untuk
menghilang dan menghilangkan dia dari kehidupanku. Ya, aku memilih jalan itu.
Namun kali ini takdir
mempertemukan kami lagi yang memaksaku untuk keluar dari persembunyian. Melihat
wajahnya kembali, dengan situasi yang berbeda. Bukan berarti luka itu sudah
tidak ada. Luka itu masih ada, membekas disana, namun tidak lagi berdarah dan
menganga. Waktu memang obat paling ampuh untuk menyembuhkan luka.
“Baik.” Jawabnya, dengan senyum
yang berat.
Ada jeda yang cukup lama sebelum
ia menjawab, yang memaksaku untuk menatap lekat raut wajahnya.
Sesuatu sedang terjadi disana? Kamu masih tidak bisa membohongiku.
“Syukurlah.” Kataku datar, masih
mencoba menangkap gurat yang disembunyikan di wajahnya. Sudahlah, aku tidak mau
bertanya atau mencari tahu.
Lalu perhatianku kembali pada
seseorang disampingnya.
“Kamu mau es krim sayang? Tante
belikan es krim mau?” Ujarku ke arah gadis manis itu, sembari mengulurkan kedua
tangan berharap ia mau menerima tawaranku untuk menggendongnya. Bagaimanapun
rumitnya hubunganku dengan ayahnya atau ibunya dulu (meskipun aku tak pernah
mengenal ibunya), gadis kecil ini sama sekali tidak tidak tahu apa-apa.
“Berapa umurnya?” Tanyaku kepada
ayahnya, ketika sang gadis sudah berada di gendonganku dan siap kubawa ke
etalase kaca yang memajang aneka makanan dan minuman.
“Tiga bulan lagi dua tahun.”
Aku kembali dari memesan es krim
dengan Qonita di tangan kiri dan semangkuk es krim vanilla di tangan kanan. Kududukkan
batita ini di kursi kosong sebelah kananku dan mulai menyuapinya dengan es krim
yang baru saja kita beli. Bagiku, kehadiran gadis cilik ini cukup mengalihkan
perhatian dan bisa menjadi pelarian dari menghindari pembicaraan tentang masa
lalu. Namun harus kuakui, menatapnya membuatku ingat dengan raut foto ibunya,
yang tentu saja menggoreskan cerita lain di hati.
“Tiara, apa kamu sudah menikah?”
Sendok es krimku terhenti di
udara, kemudian kupalingkan wajahku ke arah datangnya suara.
“Kenapa kamu bertanya seperti
itu?” Kujawab dengan pertanyaan dan tatapan tajam. Sedikit sunggingan senyuman
untuk mengintimidasi.
“Maaf, aku hanya bertanya.”
Balasnya.
Kuhembuskan napas perlahan dan
kujawab pertanyaan darinya dengan satu kalimat dan lagi-lagi dengan sedikit
senyuman. “Belum.”
Jeda lama. Cukup lama karena
telah tiga suapan eskrim telah dinikmati Qonita.
“Sebenarnya kabarku tidak
baik-baik saja.”
Prediksiku benar lagi kan? Kembali kutekuni minumanku yang tinggal
separuh, demi menahan diri untuk bertanya ‘kenapa’. Benar saja, jeda waktu
diantara kami tidak membuat dia menceritakan mengapa seperti itu keadaannya.
Juga tidak membuatku kembali bertanya.
“Vina….” Ia mengeluarkan kata
lagi, kali ini tanpa senyuman, hanya menyisakan tatapan tajam yang beradu dengan
tatapanku.
“…. pergi.”
Kembali aku merasakan dejavu
menimpaku hari ini. Mendengarnya perasaanku seperti dicampur aduk jadi satu.
Seperti terjun bebas dari tebing yang tinggi, namun tidak mati.
Entahlah, dulu aku sempat
membayangan adegan ini akan terjadi. Dulu, dulu sekali, saat awal luka ini
masih berdarah dan bernanah. Tapi kini, sungguh aku tidak pernah berharap
khayalan saatku terluka dulu akan menjadi kenyataan, di saat aku telah memulai
lembaran baru dalam kehidupan.
Kulihat air muka perubahan dalam
wajahnya. Sendu, dan mungkin sedang menahan jatuhnya air mata. Aku tidak ingin
bertanya apapun tentang makna kata ‘pergi’. Apakah Vina pergi selamanya dari
kehidupan ini, ataukah hanya pergi dari kehidupannya. Aku sungguh tidak ingin
tahu. Yang jelas, satu hal yang aku tahu dibalik kata itu, pergi akan
memberikan luka pada yang ditinggalkan.
Perhatianku teralih begitu saja
pada seseorang yang sedang duduk di sampingku. Ku belai rambut ikalnya, dan
kembali kusuapi dengan eskrim vanilla.
Sekecil ini kamu ditinggal pergi ibumu sayang?
Kukecup keningnya yang lebar dan
kembali kuarahkan perhatian pada lelaki di depanku. Keadaan memang cepat sekali
berubah. Aku tidak tahu harus memilih sikap yang mana. Apakah aku harus senang?
Tertawa kecil dalam hati? Ataukah aku harus kasihan dengannya? Tidak bisa
kupungkiri, masih ada sisa sekeranjang kecil kasihan yang terselip di dalam
hatiku. Aku memilih perasaan yang terakhir tadi.
“Tata… Tidak biasanya dia bisa
akrab dengan orang yang baru saja dikenalnya.”
“Oh ya? Kamu lupa kalau aku ini sangat
suka dan dicintai anak kecil?” Jawabku, sembari tertawa renyah.
Dia tersenyum, tidak lantas
menanggapi perkataanku tadi.
“Iya, tentu saja aku tidak pernah
lupa.” Ujarnya. “Tiara…”
“…. Aku ingin kita melupakan yang
telah terjadi kemarin…. Dan memulai segalanya dari awal.”
Aku menghela napas panjang,
kemudian membalas pernyataan tadi dengan tatapan kosong.
“Aku sudah memaafkanmu jauh
sebelum kau meminta maaf.” Kataku setelah jeda yang cukup lama. “Apa itu
dinilai kurang untuk ‘memulai segalanya dari awal’ seperti yang kamu
maksudkan?”
“Eh. Maaf. Maksudku bukan seperti
itu.” Ujarnya, sembari mengaduk kopinya dengan sangat pelan, bukan memaksudkan
untuk meminumnya dengan segera, hanya sebagai sekedar mencari apa yang bisa
dilakukan.
“Entahlah…” ia memalingkan
wajahnya begitu saja, menatap ke arah jendela. “Akhir-akhir ini, aku hanya
berpikir kalau… Bagaimana jika kita memulai segalanya dari awal… dan aku juga
sering terpikir.. andai saja, waktu bisa diulang…”
Dari awal, hmm tidak, dari sejak
orang ini berkata sesuatu tentang ‘pergi’, aku sudah bisa menebak kemana arah
pembicaraan pemuda itu. Misterinya hanyalah kapan pemuda itu akan
mewujudkannya. Sepertinya sekarang. Tidak ada lagi kepura-puraan yang perlu
ditampilkan. Seketika saja aku memutus pembicaraan.
“Apa kamu sedang berandai-andai
tentang sesuatu yang tidak mungkin terjadi?” Ucapku tajam yang mampu
mengalihkan pandangannya lagi dari ujung jendela. “Aah, aku pikir bukan saatnya
aku pura-pura tidak tahu kemana arah pembicaraanmu itu.” Aku jeda sejenak,
untuk lagi-lagi menghela napas panjang. Mengungkit sesuatu yang menyesakkan di
masa lalu membutuhkan ketenangan dengan porsi ekstra. “Kau ingin aku
menemanimu? Berada di sisimu dan tidak akan pernah pergi? Bagaimana dengan
keluargamu? Bagaimana dengan status sosialmu? Atau alasan-alasan lainnya yang
membuat kau dulu mencoret namaku dalam daftar masa depanmu?”
Final. Itulah final dari
pernyataan ambigu dan pertemuan tidak disengaja hari ini.
Pemuda itu, lagi-lagi hanya
bermain dengan sendok kopinya tanpa mampu membalas tatapan tajamku. Wajah
pucatnya sedari aku bersuara yang terakhir tadi, hanya terpaku pada secangkir
kopi hitamnya, yang kemudian diteguknya dengan cepat.
“Kamu selalu bisa membaca
pikiranku.”
“Kalau aku jadi dirimu, aku tidak
akan mengangkat masalah ini di awal pertemuan kita, setelah sekian lama kau membuangku
begitu saja.”
Dan kopi hitamnya habis.
Diletakkannya cangkir kosong sembari membalas tatapanku yang sedari tadi
menyerangnya. Aku kembali bersuara tanpa mengizinkan ia mengucap sepatah kata.
“Kamu masih ingat ini?” Kataku
sembari menunjukkan sesuatu yang melingkar di jari manis tangan kiriku.
Ekspresinya tidak jauh berubah,
meskipun rona keterkejutan mampu terbaca dari gurat wajahnya.
“Cincin itu.” Gumamnya datar.
“Ya, cincin itu.” Ujarku, sembari
melepas sebuah cincin yang lain untuk melepas cincin berwarna perak yang kami
maksud itu.
@>------
“Tiara…!”
Seseorang memanggil namaku cukup
kencang. Derap langkahnya berirama cukup cepat dan semakin lama terdengar
semakin jelas, sehingga bisa kuprediksi kalau orang tersebut sedang berlari
menghampiriku yang sedang menunduk mengamati sesuatu yang terpajang rapi
disitu.
“Kemana aja sih?” Ujar orang
tersebut dengan nada sedikit kesal, dan orang tersebut sudah berdiri di sebelah
kanan Tiara dengan napas tersengal-sengal setelah berlari.
“Sini-sini aja.” Jawabku datar.
“Lima belas menit lagi busnya
berangkat!” katanya kemudian. Susah diartikan, apakah itu bentuk pemberitahuan
atau sebuah kata perintah untuk ‘Buruan naik bus sekarang!’
“Iya tahu.” Ucapku. Tanpa
bermaksud untuk mengabaikan bocah lelaki yang sudah rela menjemputku berlari
sekian jauh dari tempat parkir bus. “Bentar napa, lagi lihat-lihat ini nah.”
Lanjutku, sembari memandangi satu per satu souvenir yang diletakkan di atas
meja di depanku.
“Ntar kamu ditinggal bus!”
“Gak mungkin. Nih uang untuk bayar
busnya kan aku yang bawa.” Jawabku sambil mengulurkan lidah dan menepuk-nepuk
tas selempanganku. “Sabar dikit dong, mereka semua itu rela nunggu bendahara. Kasihan
banget ibu bendahara panitia satu ini, dari kemarin yang diurus peserta semua,
sampai nggak punya waktu untuk beli oleh-oleh. Masih lima belas menit juga kan?
Nggak masalah.”
Aku kembali mengamati
souvenir-sovenir itu.
“Berapa bu?” Ujarku sembari
menunjuk sebuah cincin berwarna perak.
“Lima puluh ribu, Neng.” Jawab
ibu paruh baya tersebut.
“Mahal amat bu, sepuluh ribu
bisa?”
“Nggak bisa Neng, itu cincin
perak, nggak dapat segitu.”
“Yaah, nggak jadi deh.” Ujarku
sambil berlalu begitu saja.
Selang bebrapa lama, pemuda dua
puluh tahun itu menyusul dan menyejajari langkahku.
“Nggak jadi beli?” Tanyanya.
“Mahal. Lagian, itu mah bukan
cincin perak, warnanya doang yang perak.”
“Ya iyalah, mana ada cincin perak
harganya dua puluh rebu. Bilang aja nggak punya duit.” Ujarnya dengan santai.
“Perasaan hagranya lima puluh,
kata siapa dua puluh ribu?”
“Kataku. Nih, ambil. Kasihan amat
bendaharaku ini ya, beli cincin dua puluh ribu aja nggak bisa.” Jawabnya,
sembari menyerahkan bungkusan kecil berisi cincin yang aku lihat tadi, kemudian
ia berjalan cepat mendahuluiku.
Tiba-tiba langkahku terhenti
begitu saja. Sementara ia, sudah berjalan dengan cepatnya beberapa meter
dariku. Kemudian ia menoleh ke belakang, memberikan senyumnya yang biasa, dan
meneriakkan sesuatu kepadaku.
“Lima menit lagi berangkat! Ayo
cepetan jangan bengong!” Teriaknya. “Anak-anak lain jangan dikasi tahu ya soal
itu. Ntar mereka pada minta juga, bisa bangkrut.” Lanjutnya sembari tertawa,
meunjuk ke arah bungkusan yang masih ku genggam dengan erat ini.
Untuk beberapa saat aku masih
terdiam. Namun sesaat kemudian, aku berlari perlahan menujunya, menuju tempat parkir
bus yang tidak mungkin akan berjalan sebelum kami tiba disana. Aku berlari
menepis keraguan yang timbul tenggelam. Tapi akhirnya aku juga menenggelamkan
diri kepada perasaan itu. Perasaan yang sebenarnya kami sama-sama tahu, namun
sama-sama menutupinya dengan cantik. Aku hanya terus menunggu kapan saatnya
akan tiba. Saat inikah? Tidak, ini bukan saatnya. Masih terlalu muda. Namun ini
aku anggap sebagai pertanda. Biarlah untuk saat ini aku berada disampingnya,
sebagai sahabat yang baik, sahabat yang setia.
Aku yakin di lingkungan kami ini,
hanya jariku yang akan menerima cincin darinya. Namun di tempat lain, aku tidak tahu, dan tidak punya kapasitas untuk
mengetahuinya.
@>------
“Kau tahu? Sudah tujuh tahun,
cincin ini tidak pernah lepas dari jariku.” Kataku. “Dulu sekali, aku sempat
berharap, cincin ini akan segera dilepas. Digantikan dengan cincin perak yang
sebenarnya.” Jeda. “Tapi ternyata ia tetap saja tidak tergantikan, selalu
berada di tempatnya semula. Sampai yang lainnya harus mengalah.” Lanjutku.
Pandangan mataku beralih kepada
cincin emas bermata tiga yang kulepas terlebih dahulu tadi. Cincin itu sejak
awal terlupakan dan belum mendapat tempat sebagaimana mestinya.
“Ini…” Aku menunjukkan cincin
emas itu, yang berpendar terkena pantulan sinar mentari siang. “… Adalah cincin
pertunanganku. Bulan depan, aku akan menikah.”
“Dan sekarang, sudah saatnya aku
harus melepas salah satu dari kedua cincin ini, kepada pemiliknya.”
Aku letakkan cincin berwarna
perak itu kedepannya, saat itu juga. Segera setelahnya, kupasang kembali cincin
bermata tiga. Ia kini menjadi pemilik jari manis di tangan kiriku seutuhnya.
Sebenarnya aku sudah
mempersiapkan diri untuk mengatakannya, dengan cara yang lebih baik. Namun
pertemuan hari ini, memaksaku mempercepat persembunyian yang juga otomatis
mempercepat pemberitahuan ini padanya.
“Maaf, dulu sempat terbersit
dalam pikiranku kau akan kembali dan berada di sisiku lagi, selamanya. Tapi
rupanya, tidak ada rasionalisasi untuk itu. Aku sadar telah tenggelam begitu
dalam, namun seiring berlalunya waktu, menuntutku untuk bangun dan bangkit dari
itu semua. Aku menemukan lagi rasionalitas itu. Aku bersyukur untuk itu.”
“Aku…” Suaranya tertahan oleh
dering pesan yang masuk ke ponselku.
“Sebentar….” Aku membacanya dalam
hati, dan kemudian segera meraih tasku yang berada di ujung meja.
“Aku rasa, semuanya sudah jelas.
Maaf ya, ada yang sudah menungguku di parkiran. Seharusnya aku tidak
menyampaikan undangan pernikahanku dengan cara seperti ini. Nanti akan aku
antar sendiri undangannya dan aku tidak akan memaksamu untuk datang.”
Aku menoleh dan memandang lekat
pada entitas di sebelah kananku yang sedari tadi diam tanpa suara, menikmati es
krim vanillanya sendiri, seolah paham bahwa kedua orang dewasa di sekelilingnya
sedang membahas hal yang rumit. Aku mencium pipinya yang mungil, cukup lama,
hingga rasanya mampu mentransfer kesedihannya dan membagi kasih sayang yang
tidak lagi diterima dari ibunya.
Aku melangkah pergi menuju kasir.
Calon ibu mertuaku sudah menunggu di parkiran depan sana untuk menemaniku
mencari perlengkapan yang berhubungan dengan persiapan pernikahan.
“Oya…” Beberapa langkah dari
meja, aku kembali menoleh ke belakang, kembali menatap wajahnya. “Kali ini aku
yang bayar semuanya. Anggap saja sebagai permintaan maaf karena tidak bisa
menerimamu kembali.” Sembari kutatap cangkir-cangkir dan mangkok kosong di atas
meja.
“Tiara…”
Aku kembali menoleh ke belakang,
memandang ke arah pemilik suara.
“Apakah kita bisa…. Menjadi
sahabat lagi… Seperti dulu?” Suaranya melemah, menahan deru yang sama denganku
sebelumnya, juga saat ini.
Seandainya waktu dapat diulang.
Ah, sejujurnya aku benci kalimat itu, juga kalimat-kalimat pengandaian lainnya.
Namun kini, aku harus mengakuinya bahwa ada sebuah kalimat ‘seandainya’ yang
terlintas di kepalaku. Seandainya perasaan itu dulu tidak ada, dan tidak pernah
ada, mungkinkah aku telah menjadi pagar ayu di pernikahanmu dan kamu akan menjadi
saksi pada akad nikahku nanti?
Aku menyebutmu lelaki tanpa nama,
karena dulu namamu sudah melekat di hatiku tanpa perlu diragukan dan diucapkan.
Hari ini, saat ini, aku masih memanggilmu lelaki tanpa nama, karena aku tidak
ingin melekatkan namamu dalam kapasitas memori takku. Aku ingin membuang
ingatanku tentang namamu. Sehingga dalam lirih maupun letihnya hari-hariku,
tidak lagi aku menyebut nama itu. Seperti dulu.
“Biarkan waktu saja yang
menjawabnya, seperti ketika ia menyembuhkan luka.” Jawabku, tersenyum.
Aku berjalan dan tidak akan
menoleh lagi. Meskipun sayup-sayup kudengar tangisan Qonita di telinga.
Meskipun ia kembali datang dan menawarkan untuk mengembalikan semua yang dulu
pernah ada. Tidak. Aku sudah memutuskan kebahagiaanku sendiri. Aku sudah
memenangkan rasionalitas logika atas dominasi perasaanku sendiri. Aku sudah
memutuskan, bahagiaku ada di depan sana, bukan ada pada yang telah tertinggal di
belakang sana.
Semoga ini jalan yang terbaik untuk kita semua.
0 komentar:
Post a Comment