Aku
berdiri menyeimbangkan tubuhku di pinggir kolam renang, menatap gugup pada riuh
ramai suara di bangku penonton. Tanganku gemetar, keringat dingin muncul di
dahi. Inilah saatnya, saat yang telah aku tunggu bertahun-tahun lamanya.
Suara
tanda dimulainya pertandingan telah terdengar. Sepersekian detik kemudian aku
meluncur, menyatu dengan satu-satunya sahabatku, yakni air. Aku berpacu dengan
waktu. Kukerahkan semua potensiku. Tak ingin aku sia-siakan perjuangan latihan
demi latihan yang telah kutempuh selama ini.
“Kamu harus bisa membanggakan bangsa, meski
hanya dengan satu kaki.”
Suara
itu terngiang di telinga.
“Iya Kek, Nirmala akan buat merah
putih berkibar di tiang tertinggi dan Indonesia Raya berkumandang. Juga membawa
pulang medali emas untuk kakek.”
Kalimat
itu kembali terdengar seolah baru saja kuucapkan.
Ujung
kolam renang baru saja kusentuh, tinggal satu perjalanan kembali. Perjuangan
ini untuk negeri, begitu nasehatnya padaku. Namun bagiku, perjuangan ini juga
untuk dia, yang dulu pernah memperjuangkan merah putih untuk berkibar di tanah kita,
yang telah memperjuangkan hidupku yang nyaris tak berharga, karena tidak
berkembangnya satu kaki dengan sempurna.
Akan
aku persembahkan kemenangan untuk bangsa, walau hanya dalam kejuaraan dunia
renang khusus orang cacat. Sedikit lagi, sepersekian detik perjalanan. Aku
ingin melihat merah putih berkibar di ujung sana.
0 komentar:
Post a Comment