------------o0o-------------
Setiap orang lahir
dengan banyak impian yang dihembuskan menjadi doa dalam helaan napas ibundanya
ketika pertama kali ia menyapa dunia. Sebuah hela napas panjang seorang ibu
yang memutus fase mengandungnya, mengantarkan ia menuju fase amanah baru yang
akan dipikulnya sepanjang hayat sebagai seorang insan. Kiriman doa akan
terlantun begitu saja ketika mendengar tangisan pertamanya. Namun beban
beratnya kehidupan, menjadi bayang-bayang begitu tangisan selanjutnya terlantun
menggema memenuhi ruangan tempat ia dilahirkan.
Aku lupa dengan
tangisan pertamaku ketika lahir di dunia. Tapi entah mengapa, aku selalu
teringat tangisan-tangisanku selanjutnya. Apakah itu karena aku terlahir tanpa
impian, tanpa doa atau tanpa harapan dari orang-orang? Ataukah aku terlahir
hanya menjadi beban bagi kehidupan yang semula sudah amat berat? Aku tidak
tahu. Yang aku tahu, sekarang aku hanyalah seorang lelaki beranjak dewasa yang
setahun lagi menginjak kepala dua namun masih terjebak pada seragam putih
abu-abu.
Tak perlu kuhabiskan
waktu menjelaskan mengapa berulang kali aku tidak naik kelas, atau seberapa
bermasalahnya aku dengan orang yang ada di sekelilingku. Bagiku hidup bukan
hanya selembaran nilai rapor yang harus ditandatangani orang tua setiap akhir
semesternya. Bagiku, hidup jauh lebih rumit daripada itu. Dan kenyataan bahwa
orang yang menyebabkan rumitnya hidup yang harus ku jalani ini adalah orang
yang amat ku sayangi, itu semakin menambah rumit kehidupanku.
Lupakan sejenak
tentang itu. Kini, pikiranku tiba-tiba beralih pada sebuah fokus kehidupan yang
lain. Mentari Jingga memang mengguratkan keindahannya yang cukup menyihir walau
hanya sekejap mata dan kemudian pergi. Aku tidak memiliki kuasa untuk
menahannya, karena aku bukanlah siapa-siapa. Pemuja rahasia? Mungkin saja.
Mungkin aku seorang yang menunggu semburatnya untuk mengantarkanku terlelap dan
bermimpi. Karena di siang hari, aku tidak memiliki mimpi yang nyata. Karena di
malam hari ketika tidur, itulah impianku yang sesungguhnya.
Ah,
aku tidak mampu mengontrol wajahku untuk tidak tersenyum ketika melihat
wajahnya dari kejauhan.
***
Aku tidak tahu apa
itu cinta. Tapi apabila kamu merasakan kebencian yang amat sangat dalam, namun
dengan hanya melihat mata teduhnya saat ia kelelahan kamu mampu melupakan semua
kebencianmu, apa itu dinamakan cinta? Kata orang, cinta butuh bukti tidak
sekedar pernyataan. Ketika kamu tiba-tiba berpikir untuk melakukan sesuatu
sebagai bukti cintamu, apakah kamu sedang merasakan jatuh cinta? Kalau memang
seperti itu, maka aku akan membuktikan semua itu pada orang yang sangat ku
cintai dan akan berusaha memaafkan semua kesalahannya. Kesalahan fatal
sekalipun.
***
Pagi ini, aku melihat
Mentari Jingga sedang sibuk dengan kardus-kardusnya, dan instruksi-instruksi yang
keluar dari bibirnya. Betapa sibuknya sekelompok orang di depan gerbang sekolah
ini. Hari ini sekolah diliburkan jelang Ramadhan, dan seperti agenda rutin
tahunan sekolah ini, OSIS akan melaksanakan bakti sosial membagi sembako ke
Panti Asuhan sebagai kado Ramadhan kepada yang kurang mampu. Dan jangan tanya
mengapa hari ini aku ada di sekolah, karena aku juga sedang berencana
memberikan kado untuk orang yang spesial.
“Ran!
Ini kardus gula yang belum di packing kamu bawa ke anak-anak di sekretariat untuk
di packing sekarang!” Teriaknya pada seorang gadis berkacamata bernama Rani
yang berdiri tidak jauh darinya.
“Mamat,
Mat! Sumbangan Bu Neni sudah diambil belum? Ambil sana gih ntar gak keburu di
pack sama anak-anak!” Teriaknya lagi pada yang lain. Dan semakin terlihat
betapa sibuknya dia memberikan instruksi pada yang lain. Ia sendiri, gadis
belia berkerudung putih susu, sibuk pula mengangkat beberapa dus yang tertumpuk
di depan gerbang sekolah. Sementara aku, si berandal yang terkenal suka bikin
rusuh, mengamatinya sambil berpura-pura membaca buku, di sebuah bangku tidak
jauh dari situ.
“Tari…
Tari…!” Seorang anak perempuan teman sekelasku yang ku tahu bernama Nita
menghampirinya dengan tergesa-gesa. “Pihak Panti Asuhan sudah siapkan acara
penyambutan nanti jam sebelas. Tapi mobil pick up yang kita sewa kemarin
barusan konfirm nggak bisa ngantar. Aduh Gue bingung musti sewa kemana lagi.
Pakai mobil anak-anak udah Gue hitung-hitung nggak cukup. Mana acaranya tiga
jam lagi, di sekretariat masih banyak yang harus dikerjakan lagi” Sambung Nita
dengan panik.
Bisa
kulihat kalau Mentari Jingga sang ketua panitia mulai panik dengan situasi yang
tidak diduga ini. Menurutku sih ini masalah sepele saja, namun sepertinya karena
kelelahan sejak tadi pagi, juga mungkin dari kemarin-kemarin, ia bingung juga.
Aku menghentikan bacaanku dan segera datang menghampiri mereka. Sebuah kejutan
sepertinya melihat reaksi kedua orang ini yang memandangku dari ujung kaki
hingga ujung kepala seperti sedang memberikan sensor Sinar X padaku.
“Ada
yang bisa dibantu?” Ucapku datar sambil membalas tatapan aneh mereka berdua.
Taka
ada balasan.
“Hmm
oke sorry, tapi tadi gue gak sengaja dengar dari sana.” Lanjutku sembari
menunjuk ke arah bangku dimana tadi aku tiduran sambil pura-pura baca buku.
Tak ada balasan lagi.
“Gue bisa
mengusahakan pick up jam sepuluh. Gue bisa nyetir. Asal harga sewanya cocok,
gue juga bisa bantu angkat-angkat barang.”
Mungkin
mereka masih kaget dengan keberadaanku, dan tawaran bantuan itu. Seorang Adhan
Pradana, siswa yang hampir setiap bulan diskros karena kenakalannya, yang dua
kali tidak naik kelas, yang tidak pernah peduli dengan sekelilingnya tiba-tiba datang
menawarkan bantuan. Setiap orang pasti punya masa kelam dalam hidupnya, dan
anggap saja ini adalah titik balik dalam kehidupanku. Bukankah setiap orang
harus berubah menuju kebaikan? Sepertinya
kejadian semalam cukup membuatku sadar untuk berubah. Dan inilah momen pertama
kebaikanku.
Walau
terperangah cukup lama, akhirnya mereka setuju. Transaksi disepakati, bahkan
aku menawarkan harga separuh dari yang mereka sepakati dengan penyewa pick up
sebelumnya. Tapi kemudian aku juga membuat kesepakatan untuk menambah lima
puluh ribu rupiahs ebagai biaya tambahan untuk aku ikut bantu mengangkat-angkat
barang. Mereka menyepakati, karena tentu saja dengan tambahan itu mereka cukup
diuntungkan karena mendapatkan harga yang masih jauh lebih murah dari
sebelumnya. Dan bagaimanapun, ini adalah penghasilan pertamaku dari hasil
keringat sendiri. Akan ku gunakan untuk membeli kado untuk orang yang ku cinta.
***
“Makasih Dhan untuk
hari ini.” Ucap Tari sembari ikut membersihkan barang-barang seusai acara.
“Makasih untuk apa?
Gue kan sudah dibayar professional, hahaha.” Jawabku sembari tertawa renyah.
“Emmm, kalau begitu,
Saya mau minta maaf, karena… karena…”
“Karena salah sangka
sama Gue? Sudah biasa kok. Seharusnya Gue yang minta maaf ke orang-orang kali
ya, karena sudah jadi orang jahat selama ini.”
“Eh, tapi tetap saja
Saya salah. Apa bisa dimaafkan?” Pintanya tulus.
Aku terdiam sejenak.
“Begini
saja, Gue mau minta bantuan sama Elo. Dan setelah selesai, Gue anggap kesalahan
Lo, yang sebenarnya bukan kesalahan sih ya, itu dimaafkan.” Jawabku.
Kemudian aku jelaskan
permohonanku, dan dia mengangguk sembari tersenyum. Aku merasa bunga-bunga
bermekaran sebelum musimnya.
***
Langit
menggurat jingga mengantarkan kepulangan Mentari Jingga ke rumahnya. Dan aku
terpaku sendiri menatap bungkusan cantik berpita emas di jok depan pick up yang
baru saja diduduki oleh Mentari Jingga. Kerudung pilihannya sungguh cantik,
tidak salah aku memilih dia untuk menemaniku memilihkan kado spesial ini.
Entahlah, dari sekian banyak gadis berkerudung di sekolahku, aku memilih dia
untuk menemaniku membelikan kado ini. Namun untuk berharap lebih pada gadis
sholeha sepertinya, aku perlu berkaca diri. Menerima maafnya hari ini pun
rasanya tidak pantas, dan mengetahui dia akan bersedia memenuhi permintaanku
hari ini, rasanya seperti mimpi.
Kini
aku dihadapkan kepada pilihan sulit berikutnya untuk menyerahkan kado ini
kepada orang yang tepat. Aku tidak mempunyai keberanian. Bahkan hanya untuk
meletakkannya begitu saja di dalam kamarnya tanpa berkomentar apa-apa, rasanya
sulit. Tapi sekali lagi, cinta butuh pembuktian dan aku harus berani
membuktikannya.
***
Ini
sahur pertama. Namun aku terbangun bukan karena mendengar aktivitas dapur, tapi
oleh isak tangis dari kamar sebelah. Pasti Ibu baru datang. Mungkin ia baru
menyadari ada bungkusan tergeletak di kamarnya. Aku ingin pura-pura terpejam
namun aku tidak bisa. Lebih baik aku ke dapur saja menyiapkan makan sahur
untukku. Bukankah ini sahur pertamaku setelah sekian lama?
Kemudian
terjadi begitu saja, orang yang begitu ku benci namun amat sangat ku cintai
tiba-tiba muncul dengan air mata berderai, mengambil panci dari tanganku. Aku
duduk memandanginya mengambil alih pekerjaanku. Aku menatapnya lama. Ia masih
cantik, terlebih dengan kerudung jingga yang kini dikenakannya. Ingin aku
teriakkan ‘aku sayang ibunda’ tapi tertahan begitu saja di rongga dada.
“Maafkan
Ibu Nak. Akan sulit untuk mengakhirinya sekarang. Namun Ibu akan berusaha.”
Ucapnya lirih. “Dan kejadian kemarin malam, Ibu janji tidak akan terulang kedua
kalinya.”
Sekelebat
muncul kembali peristiwa itu. Seorang ibu paruh baya datang ke rumah,
menanyakan dimana suaminya pada Ibu. Memaki-maki, mengucapkan kata-kata sumpah
serapah hingga semua tetangga keluar. Menampar dan menarik rambut ibuku dan
menampar pipinya. Aku yang mencoba melerai keduanya terkena pukulan di kepala.
Namun pukulan di hatiku amat jauh lebih sakit kurasa. Ibu itu mungkin terluka
atas apa yang –aku tidak tahu- mungkin telah dilakukan ibuku pada kehidupannya.
Namun aku, yang sepanjang usiaku hingga kini dinafkahi dan dibesarkan oleh ibu
tanpa pernah tahu siapa ayahku, amat sangat jauh lebih terluka karena tak
memiliki daya, bahkan untuk membela ibuku sendiri.
Wanita yang kini
memakai kerudung jingga itu, telah menghabiskan dua puluh tahun hidupnya
sebagai seorang Wanita Tuna Susila.
“Adhan
sayang Ibu.”
mbak, boleh tolong disediakan tissue di blog ini?
ReplyDeleteNih aku sodorin tisyu penuh cinta motif bunga-bunga #eeaaa #apaann | aaaa tarerengkyuh, suka bener dah blog akuh dikomenin :'*
ReplyDelete