"Usianya berapa, Nduk?"
tanya Ibu itu. Tangan kirinya memegang kipas, entah apa faedahnya karena kamar
ini sudah dingin dengan AC yang menggempur permukaan wajah dan telapak
tanganku.
“Dua puluh tujuh, Bu,”
jawabku sambil mengulaskan senyum.
“Sudah menikah?”
tanyanya lagi.
Tanganku yang sedari
tadi sibuk bekerja tiba-tiba berhenti tanpa kukomandoi. Aku kembali tersenyum,
meskipun wajahku kini pias. Jika Ibu itu melontarkan pertanyaan yang sama lima
bulan lalu, aku dengan bangga akan menyambar pertanyaan itu dengan sebuah
jawaban yang meyakinkan, “Tiga bulan lagi, Bu,” disertai dengan sedikit
sanjungan bahwa calon suamiku adalah seorang dokter, sahabatku sendiri yang
kukenal selama tiga belas tahun. Mengingat perjuanganku mendapatkan kejelasan hubungan dengan Hilmy, rasanya sesekali perlu membanggakan dirinya di hadapan
orang yang tak kukenal.
Tapi itu dulu.
Lima bulan yang lalu.
“Belum, Bu.” Dan ini
adalah jawaban disertai senyum artifisial yang bisa kuberikan atas pertanyaan
yang terlontar seputar statusku. Sekarang.
Aku kembali menekuri
jemari kanan sang Ibu, sementara rupanya klienku yang satu ini terlalu
bersemangat untuk berbicara sedari tadi—dalam hal ini, kalimat barusan dapat
diartikan sebagai: terlalu ingin tahu segala hal yang bukan urusannya.
“Lho kok belum? Kan Mbaknya cantik,” respon sang Ibu.
“Belum jodohnya, Bu,”
jawabku diplomatis, sembari mengukir jemari kelingkingnya.
“Pasti pilih-pilih ya?”
Aku tergelak. Untung sadar
bahwa gelakanku yang pertama terlalu menguarkan aroma sarkasme, buru-buru
kususul dengan tawa renyah untuk menetralisirnya. Pertanyaan yang sama bukan
satu dua kali mampir di telinga. Semudah itu orang-orang di luar sana
memberikan penghakiman.
“Hehe, enggak, Bu. Maunya
sih segera ketemu sama yang cocok. Tapi begitu ketemu, eh, jalannya susah....
Bu tolong jarinya jangan gerak-gerak dulu nanti bunganya berantakan.”
“Aduh, hehehe, ya
jangan sampai berantakan dong.”
Aku kembali tersenyum. Sungguh
lebih baik dikomentari seputar pekerjaanku yang tidak memuaskan ketimbang
diinterogasi seputar jodoh.
“Sudah berapa lama
kerja sama Jeng Arafah?” si Ibu kembali membuka obrolan.
“Satu setengah tahun,
Bu. Tante Arafah itu tante saya, bisa dibilang saya bantu-bantu saja.” Sambil berbicara,
aku berpuas diri dengan hasil pekerjaanku di atas kelingking kanan sang Ibu. Henna
berwarna merah tua mengukir dengan cantik di sana, dengan bunga pada ruas
pertama dan ukiran daun-daun memanjang hingga kuku. Aku beralih ke jari
manisnya.
Dalam hati aku
berspekulasi, kira-kira dalam pengerjaan sepuluh jari ini, berapa kalimat
interogasi lagi yang harus aku jawab? Apa mungkin bahkan sampai mengorek
seluruh cerita percintaanku yang kandas dengan Hilmy? Atau barangkali Ibu yang
tidak kutahu namanya itu sampai tahu bahwa rencana pernikahanku harus kandas
karena terganjal restu orangtua, karena nama belakangku tak bermarga?
Aku tertawa dalam hati.
Menertawai nasib malangku dan kesialan hari ini karena mendapatkan klien
menyebalkan seperti ini.
“Wah, sudah sering
menghias tangan pengantin dong? Kapan menghias tangan sendiri?” ucapnya. Tawa sang
Ibu melengking, kipas yang di tangan kirinya menutupi mulutnya dengan gerakan
yang dibuat-buat.
“Kalau saya menikah nanti ya bukan saya yang
membuat henna-nya Bu. Masa’ calon pengantin mengerjakan semuanya sendiri,
hehehe.”
“Betul juga ya, hihihi.
Pintar kamu.”
Aku kembali konsentrasi
dengan pekerjaanku. Dan untungnya, sesekali sang Ibu memuji di sela-sela
obrolan lain yang terjalin di antara kami. Pada jari keempat, ia mulai
membicarakan calon menantunya.
Sebenarnya aku bisa
mengerjakan pekerjaanku dengan sangat cepat dan memuaskan andai saja Ibu itu
diam dan tidak mengganggu konsentrasiku dengan pertanyaan-pertanyaan konyolnya
serta cerita seputar calon menantu idamannya itu. Aku tak henti membayangkan
sosok Hilmy di balik cerita itu. Entahlah. Sejak berakhirnya hubungan kami, dan
semakin banyaknya tangan pengantin perempuan yang harus kuhias untuk hari
bahagia mereka, selalu saja tebersit dalam benak bahwa aku sedang menghias
tangan yang akan menyentuh kepalanya, dan mengusap peluhnya, serta yang akan
diciumnya sepanjang hari. Otakku memang nyaris tidak waras. Bahkan sudah lima
bulan berselang, masih tidak bisa kuikhlaskan begitu saja perpisahanku
dengan Hilmy yang sudah terjadi.
Padahal kemungkinan itu
kecil. Tante Arafah selalu tidak melibatkanku dalam penyelenggaraan pernikahan
adat yang sama dengan suku Hilmy. Kecuali, jika akhirnya keluarga besar Hilmy mau menerima orang asing di luar suku mereka, yang rasanya mustahil.
Malangnya, Ibu ini
sudah memercikkan luka lamaku bahkan sejak titik pertama racikan henna-ku
menyentuh jemarinya.
“Alia harus ikut
suaminya ke luar negeri setelah mereka menikah nanti...” sambungnya, entah dari
kalimat yang mana yang tadi dilontarkannya. Oh ya, menceritakan calon mantu
yang mau melanjutkan pendidikan di entah bagian mananya dataran Eropa. Siapa peduli?
“Wah, bisa sekalian
bulan madu dong, Bu,” ucapku dengan enggan.
“Iya... apalah Nduk,
Ibu sudah tua. Apa lagi yang bisa ditunggu selain kehadiran cucu segera?” jawab
si Ibu disertai tawa yang ganjil. “Ibumu juga pasti berpikir begitu, tho? Makanya,
cepat-cepat.”
Oh astaga. Ingatkan aku
tugasku setelah menangani tangan ini adalah menghias henna sang calon pengantin
perempuan. Harus berapa lama lagi telingaku akan mendengar kalimat serupa ini?!
Dan begitu kipas di
tangan kiri diletakkan karena tangan itu menjadi giliran dihias, seketika itu
aku mematikan indra perasa. Terserah saja Ibu itu mau memuji-muji Adi-something
atau entah siapa nama calon mantunya tersayang itu. Atau terus-terusan
menyindir status lajangku.
Lima belas menit
kemudian penderitaanku tahap pertama selesai.
Fiuh. Aku bernapas lega
sejenak, membereskan peralatan tempurku yang berserakan lalu menyeruput teh
yang tidak lagi hangat itu sementara si Ibu berteriak kepada orang di luar
kamarnya untuk memanggilkan sang calon pengantin wanita.
Seorang wanita muda
berparas ayu dituntun untuk mendekat kepadaku yang sudah stand by di kursi. Wajahnya
pucat, meskipun itu tidak mengurangi kesan cantik padanya. Mungkin kelelahan
menyiapkan pernikahan, gumamku, mencoba berprasangka baik.
“Alia ya?” aku menyapa
dengan senyum tulus. Kurasa, wanita muda ini berkebalikan dengan ibunya. Kuharap
demikian, karena aku tidak akan sanggup mendengarkan yang serupa seperti tiga
puluh menit sebelum ini yang rasanya seperti puluhan jam.
Ia mengangguk dan
membalas sapaanku dengan senyum.
“Pakai model yang sudah
disepakati di gambar yang sudah saya kirim di WhatsApp kemarin, kan?”
Lagi-lagi ia
mengangguk.
“Oke, mungkin pengerjaannya
agak lama.”
“Asal ndak sampai
magrib aja ya Nduk, soalnya nanti malam ada acara. Ndak tahu itu yang minta
dari pihak laki-laki. Kitanya siap-siap saja. Alia juga musti dirias lho. Jadi calon
manten harus cantik, betul kan?” Ibunya menyela, dan berbicara panjang lebar,
seperti biasa.
Aku mengangguk-angguk. Mungkin
akan berlangsung Malam Pacar, Malam Bainai, atau Mapacci, atau apalah
sebutannya sesuai dari suku mana berasal. Namun inti sarinya sama.
“Enggak Bu,” aku
tersenyum, “enggak sampai satu jam.” Aku menoleh ke arah jam dinding di satu
sudut kamar yang menunjukkan masih pukul satu siang.
“Iya...” jawab si calon
pengantin dengan lirih. “Dimulai saj—”
Bahkan belum selesai
kata itu diucapkan, wanita muda itu melonjak dari kursi di depanku dan menuju
ke arah pintu lain di kamar ini, menuju ke kamar mandi. Kudengar suara keran
beradu dengan suara muntahan dari tempatku duduk.
“Aduh permisi dulu ya
Nduk, Ibu harus mengurus makanan dulu sama orang catering,” ucap Ibu itu
sembari keluar kamar. Melarikan diri. Mungkin malu dengan kondisi anaknya setelah bualannya tadi.
Aaah, aku mengerti. Lantas
aku beranjak dari tempat dudukku dan menyusul si wanita muda yang terlihat
kepayahan. Mau tidak mau pandanganku melirik ke arah perutnya yang tidak rata. Belum
membesar memang, tapi cukup kentara. Pekerjaan menjadi asisten perias pengantin
dan perias henna membuatku tidak satu atau dua kali menemukan kondisi seperti
ini. Jadi tenang saja Alia, aku sudah terlatih.
“Berbaring saja kalau
kelelahan, saya masih bisa menghias tangannya kok,” jawabku dengan tenang.
Dan begitu berbaring,
wanita muda itu menjulurkan tangannya yang langsung kusambar untuk dihiasi
dengan henna. Tak lama sesudahnya ia menangis. Aku jadi bingung sendiri. Entah mana
yang lebih baik sekarang, mendengarkan bualan ibunya yang ternyata... (aku tak
sanggup melanjutkan kalimat ini), atau mendengar tangisan si calon pengantin
yang menyayat hati seperti ini.
Ah sudahlah, seharusnya
aku tidak peduli. Aku sudah pernah mengalami kehilangan yang benar-benar
menghancurkan kehidupanku. Seharusnya, aku hanya perlu bersikap profesional
sekarang, bekerja sesuai dengan pekerjaanku. Meskipun itu dalam bentuk
mengabaikan tangisan pilu seorang calon pengantin. Sebuah posisi yang sejak
bertahun-tahun lalu kuidamkan. Dan belum tercapai hingga sekarang.
Apakah semua pernikahan harus diawali dengan sebuah kesempurnaan? Pikiranku berkelana sementara jemari
terlatihku membubuhkan gambar di atas tangan klienku. Apakah sebuah pernikahan
yang tidak sempurna bisa menjamin sebuah kebahagiaan? Jika tidak ada restu dari
satu belah pihak keluarga, tidak bisakah pernikahan itu tetap terlaksana
seperti cacat kecil yang tengah dialami wanita di hadapanku ini?
Tidak, Naya. Statusmu dan
wanita itu berbeda. Kamu dan Hilmy tidak dapat melanjutkan pernikahan karena
orangtua dan keluarga besar lelaki itu tidak menerimamu. Kamu tidak berasal dari
golongan yang sama dengan mereka. Sementara wanita ini, mungkin terpaksa
menikah karena telanjur berbadan dua.
“Kalau mual lagi, kasih
tahu saja ya. Supaya saya bisa bantu ke kamar mandi dan pastikan henna-nya
enggak rusak.”
Ia mengangguk. Dengan satu
tangan ia menghapus air matanya yang meluber entah ke mana. Mau tidak mau aku
jadi merasa kasihan. Meskipun aku tidak mengetahui di mana letak perlunya aku
menghabiskan rasa kasihanku pada wanita itu.
“Menangis saja, saya
pura-pura enggak lihat,” kataku, tanpa mengalihkan pandangan dari gambar bunga
yang tengah kuukir di jemari kanannya. “Tapi, kalau tangan yang satunya sudah
di-henna juga, jangan menangis lagi. Masa' saya yang menghapus air matanya
nanti, hehe.”
Seketika wanita itu
ikut tertawa bersamaku.
“Sorry,” katanya.
“It’s okay.”
“Saya... jadi
kehilangan konsep pernikahan impian gara-gara...” Ia kehabisan kata-kata.
Aku mengangguk-angguk
mencoba bersimpati. Aku pun pernah kehilangan konsep pernikahan impian
gara-gara kehadiranku yang tidak direstui.
“Tidak ada yang perlu
disesali,” ucapku berusaha bijak. “Semua sudah terjadi. Hidup harus terus
berjalan ke depan. Banyak hal yang baik menanti di sana.”
Tak lama wanita itu
bisa duduk kembali, dan aku menyelesaikan satu tangan lainnya. Sepertinya ia
menepati janji untuk tidak menyusahkanku dengan menghentikan tangisnya. Aku jadi
bisa mengerjakan sisa pekerjaan dengan segera. Sesungguhnya ini hari yang berat
bagiku. Tidak, bukan karena bertemu dengan Ibu cerewet yang tidak kuketahui
namanya itu dengan anak perempuannya yang akan menikah dalam kondisi berbadan
dua.
Bukan itu.
Sebelum berangkat
kemari aku melihat sepucuk undangan di atas meja ruang tamu. “Untuk Naya dan
Partner”, begitu yang tertulis di sana.
Dari Hilmy.
Sedikit lagi, bunga di
telapak tangan kiri tinggal diberi polesan terakhir. Setelah itu aku akan
menenggelamkan diri dalam kubangan kisah sedih masa depanku sendiri. Tentang seseorang
yang begitu kusayangi yang benar-benar akan pergi.
Ponselnya berdering di
dalam tas di nakas sebelah kursi kami.
“Maaf, Mbak, siapa
namanya?”
Aku menoleh dan
menghentikan pekerjaan terakhirku.
“Bisa minta tolong
angkatkan ponsel saya?”
Aku mengerti, dan
langsung mendatangi sumber suara. Kuangkat telepon itu dan meletakkan di
telinganya.
Rasa penasaran menjalariku
seolah tumbuhan merambat yang akan terus bergerak dan sebentar lagi mencekikku.
Aku tersekat sekaligus kehilangan napas saat mendengar kalimat demi kalimat
obrolan kedua wanita di telepon itu. Tanganku gemetar, aku bahkan bisa
mendengar detak jantungku sendiri. Obrolan mereka berlangsung datar disertai
banyak helaan napas dari sang calon pengantin perempuan. Setelah pembicaraan
berakhir, wanita itu menjadi sepucat kapas. Aku tidak berani becermin untuk
melihat apakah wajahku sepucat wanita itu atau justru lebih parah lagi.
“Calon mertua,”
jawabnya dengan berat, seolah aku bertanya.
“Aaah,” jawabku atas
responnya. “K-kalau boleh tahu... yang tadi... Tante Hanna Asseg—”
“Mbak kenal sama...”
“S-saya teman anaknya.
Aditya Hilmy Assegaf.” Seolah menantang kesakitan yang menjelma di dalam
hatiku, aku menyebut namanya dengan lantang.
“A-ah. Dia... calon
suami saya.”
Pyar. Hatiku yang rapuh
pecah seketika. Aku tertawa. “Jadi ternyata undangan yang tadi pagi datang ke
rumah itu undangan Mbak.” Aku kembali tertawa. Menertawakan nasibku sendiri.
“Saya teman SMA Hilmy.”
Sahabat baik. Sampai lima bulan yang
lalu. Aku memperkenalkan diri kembali.
Aku membereskan peralatanku, masih dengan tangan yang gemetar yang coba kututupi sebisa
mungkin. “Kalau begitu, sampai jumpa hari Minggu, jawabku sambil berbenah
dengan sedikit tergesa. “Semoga Malam Henna nanti malam sukses,” ucapku, dengan
senyum artifisial yang terakhir sebelum bendungan di pelupuk mataku jebol.
“Saya pamit dulu.”
Aku lantas buru-buru
pergi. Kubiarkan hiasan kelopak terakhir pada bunga di tangan kiri wanita itu
tidak terselesaikan. Toh tidak akan ada yang menyadarinya. Seperti tidak akan
ada yang menyadari bahwa wanita itu tengah berbadan dua. Seperti tidak akan ada yang menyadari bahwa ada luka kecil yang kembali menganga lebar, saat aku
meninggalkan wanita itu pergi.
Tidak apa-apa, Naya. Yang kaubutuhkan hanya menangis sebentar. Lalu esok tersenyum lagi.
_______
“Tulisan ini dibuat untuk memenuhi #tantangannulis #BlueValley bersama Jia Effendie.”