21.8.16

Kopi Anti Mimpi




“Jadi, siapa yang kaubunuh kemarin malam?” ucap lelaki itu, sambil meletakkan secangkir kopi hitam ke hadapanku.

“Orang kedua,” jawabku sembari memamerkan gigi putihku yang berderet rapi. “Hmmm,” aku menghidu aroma kopi yang memanjakan indera penciumanku. “Kopi Aceh?” tebakku asal.

“Toraja,” ralatnya. "Coba rasakan lagi aromanya. Ini tidak sepekat kopi Aceh. Kopi Toraja wanginya lebih membumi. Seperti tanah yang baru saja tersiram hujan."

"Aaah. Oke," jawabku, dengan decak kagum yang tampak dari rona wajahku. Padahal, bukan kali pertama ini aku terpesona dengan caranya mendeskripsikan kopi. 

Lelaki itu duduk di kursi kosong di hadapanku, membiarkanku sejenak terhipnotis dengan minuman yang tengah kureguk, tanpa ada interupsi. Benar juga, setelah diminum baru terasa perbedaan antara keduanya. Kopi Toraja terasa lebih asam, sementara kopi Aceh memiliki rasa yang lebih pahit.

"Ya, asamnya terasa menyenangkan. Andai saja getirnya kehidupan bisa dinikmati seperti ini," kataku. "Astaga, sejak kapan aku jadi mirip seperti kamu begini."

Dia tertawa.

"Kamu harus merasakan kopi Kintamani. Supaya kautahu bahwa kopi tidak selamanya pahit dan getir. Ada perpaduan jeruk dan kopi arabika yang membuat hidup tidak hanya tentang hitam pekat dan pahit getir semata."

"Ya Ben. Kapan-kapan," elakku. Ben tahu benar kalau aku tidak akan mau meminum kopi jenis itu meskipun aku tidak akan pernah menceritakan alasannya padanya.

Pikiranku jadi mengelana saat di mana pertama kali aku bertemu dengan Ben. Sebelum kejadian malam itu, aku bukanlah pencinta atau penikmat kopi. Tapi perjalanan takdir tidak ada yang bisa menebaknya. Bahkan tersasar di sebuah kedai kopi 24 jam ini pun berkat pintalan takdir yang aku tidak tahu bagaimana kerjanya dan apa maksudnya.

“Siapa tahu di mimpimu setelah ini, kau berhasil membunuh musuhmu dengan kopi,” ujarnya ringan.

Otomatis tawaku muncul lagi, disusul tawa darinya.

“Jadi, dengan apa kaubunuh orang kedua itu?”

“Kau tidak percaya, dengan panah beracun!” jawabku dengan bangga. "Aku merasa keren sekali karena bisa memanah. Tepat sasaran. Di jantungnya. Shoot!"

Aku kembali menyesapkan kopi dengan perlahan, mencoba menikmatinya. Benar-benar menikmati, tidak seperti apa yang kulakukan dua minggu yang lalu, di tempat yang sama, lebih larut malam dari sekarang.

***

Aku datang kemari seperti seseorang yang tengah patah hati, setelah dengan impulsif mengendarai mobilku tengah malam. Seperti orang gila, aku memang tidak bisa membedakan selaput tipis antara waras dan gila, dunia nyata dan mimpi. Satu-satunya yang ada dalam benakku adalah aku harus melarikan diri dari kekejaman mimpi dan trauma yang pernah melingkupi hidupku bertahun-tahun lalu. Tujuanku sebenarnya adalah klub malam yang tidak jauh dari sini. Namun aku menemukan tempat ini, menarikku bagaikan magnet beda kutub yang didekatkan.

Bean and Ben’s Coffee.

“Kopi anti mimpi!” pekikku.

Aku melihat seseorang terkejut dengan kehadiranku. Ada yang salah? Apa aku sudah mirip orang gila? Seorang wanita yang pergi ke tempat ini dengan baju tidur bermotif Hello Kitty dan rambut kusut, barangkali tak perlu kusebutkan juga mata sembap akibat menumpahkan air mata selama satu jam seperti orang kesetanan. Beruntung aku tidak memilih klub malam sebagai persinggahan, karena bisa dipastikan aku akan diusir satpam.

Lelaki itu bergeming sesaat, lalu mempersilakanku duduk di tempat yang agak sepi. Tapi memang tempat ini lumayan sepi di hari kerja dan di jam yang tidak wajar, pukul dua pagi. Hanya ada beberapa orang yang tengah menikmati seduhan kopi dan makanan yang tidak pas untuk disebut hidangan makan malam. Tak lama orang itu kembali datang dengan secangkir kopi hitam pekat, langsung kusambar dan kureguk dalam hitungan menit.

“Satu lagi!”

Pelayan itu—beberapa hari kemudian aku tahu kalau ternyata dialah pemilik tempat ini—datang kembali dengan cangkir kedua.

“Satu lagi!”

Aku seperti kesetanan, kopi itu kuhabiskan dalam waktu singkat. Untungnya pelayan itu cukup cerdas untuk tidak memenuhi permintaan kopi ketigaku. Aku lelah untuk berkonfrontasi, dan yang kulakukan hanyalah menangis lagi. Aku memang seperti orang gila. Namun orang gila satu ini cukup memiliki sedikit kewarasan—barangkali ini adalah upayaku untuk menjaga kewarasan itu sendiri—dengan menceritakan ketakutan yang bersemayam dalam dadaku padanya, orang asing yang tak sengaja kutemui.

“Aku baru saja dilamar.” Aku masih ingat kalimat pembuka obrolan itu. Tapi aku takut, sesuatu dari masa lalu merayap mendatangi kehidupanku lagi, merenggut segala kesadaran yang kupunya, menghantui lebih hitam dan dekat ketimbang bayanganku sendiri. Bahkan, trauma itu menerkamku hingga ke batas mimpi.

“Aku hanya ingin kopi anti mimpi… atau apa pun yang kaupunya yang bisa membuatku terjaga sampai pagi… aku tidak ingin tidur…” Suaraku seperti orang putus asa.

“Yang kau butuhkan hanyalah teman mengobrol, dan secangkir kopi,” jawabnya. “Kau sudah mendapatkan keduanya.”

Keesokan harinya, aku kembali ke tempat yang sama dengan keadaan yang lebih beradab. Begitu pula dengan hari-hari sesudahnya, aku dengan rutin melakukan hal yang sama. Benar kata Ben, aku hanya membutuhkan teman mengobrol. Dalam hal ini, Ben-lah yang paling aman sebagai tempat untuk menampung sedikit beban yang tak perlu orang terdekatku ketahui.

Kami mengobrolkan soal kopi, dia juga bertanya beberapa hal tentangku, seperti apa pekerjaanku. Barangkali dia penasaran bagaimana aku bisa berkeliaran tengah malam berjuang untuk tidak tidur—atau lebih tepatnya, berjuang untuk melelahkan diri hingga tidak membiarkan tidurku disergap oleh mimpi.

“Asisten akuntan,” jawabku, “di perusahaan orangtua. Setidaknya aku bisa mengatur jam kantorku sendiri. Selama beban pekerjaanku selesai tepat waktu, tidak ada yang mempermasalakahkan aku datang ke kantor jam berapa.”

Dan terkadang, pembicaraan berjalan lebih serius. Misalnya, tentang mimpi yang menghantui.

“Kau harus mencoba untuk mengendalikan mimpimu sendiri,” ucapnya, di malam keempat.

Darinya aku mendapatkan penjelasan tentang mengendalikan mimpi. Aku harus menghadapi dan memiliki kendali atas mimpi-mimpi buruk yang sama yang selalu menghantuiku. Aku harus melawan dan berani untuk melakukan itu. Menghindar dari kepahitan hidup tidak akan mengubah apa pun, selain menjadi korosi pada diri.

Ben memberikan nomor telepon seseorang yang mungkin bisa membantuku untuk itu. Aku harus bernapas lega, karena mengetahui bahwa aku tidak sendiri. Ada orang lain yang mengalami gangguan psikologis semacam ini. Tapi, aku juga penasaran. Aku penasaran apakah Ben pernah mengalami hal yang sama dengan yang tengah kuhadapi sekarang. 

“Menurutmu mengapa kedai kopi 24 jam ini tercipta?” tanyanya. “Sejak bertahun-tahun yang lalu, aku merasakan hal yang sama denganmu.”

“Serius?!”

Dia tersenyum hambar dan menatapku lekat. “Bahkan terkadang, sampai saat ini.”

***

“Jadi musuh yang harus kaubunuh sisa satu orang lagi?”

“Ya,” jawabku getir, “dia yang paling menakutkanku.”

“Kalau begitu, selesaikan,” ucapnya.

“Aku pun berharap begitu,” jawabku. “Jadi, untuk malam ini, aku tidak minum kopi dulu.” Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Baru setengah sepuluh, waktu yang tidak wajar untuk mengunjungi Ben karena biasanya larut malam aku berada di tempat ini. 

Good luck.”

“Kamu juga," ucapku dengan tersenyum. "Hadiahi aku secangkir kopi Kintamani kalau malam ini aku berhasil mengalahkan ketakutanku sendiri."

Ben tersenyum senang. Ia tahu betul kalau selama ini aku tidak pernah mau diberi kopi Kintamani. Aku pun mengelak saat ia bertanya mengapa. Aku hanya mengatakan bahwa, ada hubungannya dengan trauma dan ketakutanku yang muncul akhir-akhir ini.

Aku pamit pulang.

***

Yang kuinginkan sederhana saja, bisa mengendalikan mimpi, juga mengendalikan diriku sendiri dari trauma yang menghantuiku enam tahun yang lalu. Kejadiannya saat aku sedang berlibur di Bali. Aku pernah disekap, mataku ditutup, mulutku dibekap. Di sebuah tempat bekas gudang sembako, keperawananku direnggut oleh tiga pemuda mabuk yang tidak pernah diketahui siapa. Orangtuaku menutup rapat aib ini, tak ada penuntasan secara hukum yang membuat pelaku biadab itu diadili secara pantas. Kehormatanku yang masih tersisa harus dijaga. 

Tapi lamaran Andrew kembali membuatku teringat akan aib itu. Trauma yang berhasil kulalui dan kututupi begitu rapat menguak kembali bersamaan dengan lamaran itu. Bagaimana jika Andrew menolak mempersuntingku jika tahu aku mempunyai masa lalu begitu kelam seperti ini? Bagaimana jika aku tidak mampu memenuhi kebutuhannya hanya karena aku tidak sanggup menghapus segala kenangan buruk yang menimpaku dulu? Dan segala macam 'bagaimana jika' lainnya yang merusak kehidupanku bahkan sampai menghantuiku di dalam mimpi.

Kali ini, aku kembali hadir di tempat ini, tempat di mana kejadian itu berlangsung. Dua dari tiga pelaku sudah kubunuh pada dua mimpi sebelumnya. Sisa satu lagi… aku harus mengakhiri ketakutanku sendiri malam ini.

Peluh melumuri wajahku, sementara tanganku gemetar membawa revolver dengan peluru utuh di dalamnya. Hanya butuh sekali tembakan.

Seseorang datang dari balik pintu, tanganku kueratkan semakin rapat pada senjata yang siap untuk kutembakkan. Dadaku bergemuruh kencang, bahkan dalam mimpi, kutahu aku tengah berjuang sekuat tenaga melawan ketakutan. Orang itu hanyalah perlambang rasa takut yang memenuhi rongga dada. Aku harus menyelesaikannya sekarang juga.

Orang itu semakin mendekat, dalam hati aku menghitung mundur saat-saat di mana senjata ini akan kugunakan.

Tiga… dua…

“Ben?!” pekikku. Aku terkejut, saking terkejutnya, senjataku jatuh ke tanah. Bagaimana bisa aku memimpikan Ben di saat aku tengah berupaya mengendalikan mimpiku untuk membunuh orang terakhir yang memberiku luka psikis ini?

Dan sosok Ben tampil di sana, mendekat, dengan celemek seragam kafenya. Ia membawa secangkir kopi Kintamani, melengkungkan senyumnya yang biasa.





________





















Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com.