28.9.13

Nina Gordon ~ The End of The World

Why does the sun go on shining
Why does the sea rush to shore
Don't they know it's the end of the world
'Cause you don't love me any more

Why do the birds go on singing
Why do the stars glow above
Don't they know it's the end of the world
It ended when I lost your love

I wake up in the morning and I wonder
Why everything's the same as it was
I can't understand, no, I can't understand
How life goes on the way it does

Why does my heart go on beating
Why do these eyes of mine cry
Don't they know it's the end of the world
It ended when you said goodbye

Why does my heart go on beating
Why do these eyes of mine cry
Don't they know it's the end of the world
It ended when you said goodbye


Lagi suka lagu ini. Dicopast dulu lah ya liriknya, baru ntar diapain gitu kek. Hehehe.

Fairy Tales


 
   But Sam, you know.
Fairy tales aren't just about finding handsome princes.

They're about fulfilling your dreams...
...and about standing up for what you believe in.   A Cinderella Story

Kisah Kaum Sophis

Dua ribu lima ratus tahun yang lalu, terdapatlah sekelompok orang cerdas di Yunani. Mereka biasa dipanggil kaum Sophis (Sophist), yang dalam bahasa Yunani berarti “orang-orang bijak.” Mereka sangat terkenal di Athena, mungkin dapat kita bandingkan dengan para selebriti zaman sekarang. Diantara mereka terdapat nama-nama filsuf ternama masa itu seperti Heraclitus, Protagoras, Gorgias, Hippias, dan Prodicus.

Kaum Sophis ini hadir dengan mengusung paham skeptisisme, yang intinya adalah meragukan segala hal. Bagi kaum Sophis tidak ada yang disebut dengan kebenaran mutlak. Yang ada hanyalah kebenaran subyektif, kebenaran orang per orang, bukan kebenaran universal. Benar dan salah hanyalah soal opini. Sekiranya kebenaran itu memang ada mereka tetap tidak percaya bahwa manusia bisa sampai pada kebenaran itu.

Kendati merupakan kumpulan orang-orang yang tidak punya keyakinan, kaum Sophis justru pandai meyakinkan orang. Hal ini karena mereka mengembangkan berbagai teknik  berpidato dan berdebat. Ketrampilan ini masa itu sangat dibutuhkan oleh para elit Athena ketika menghadapi perdebatan dalam sidang dewan mahkamah Athena. Oleh karena itu mereka memanfaatkan kepandaian ini dengan mengajarkannya kepada para bangsawan dengan imbalan uang.

Tidak seperti sekarang, masa itu tidak ada filsuf yang mengajar demi mendapat imbalan. Mengajar bagi mereka bukanlah sebuah profesi, tapi merupakan kewajiban mereka untuk mewariskan ilmu pengetahuan. Itu sebabnya filsuf Yunani lainnya seperti Socrates mencela kaum Sophis karena baginya seorang guru tidak patut mengambil keuntungan dari pengajarannya.

Kaum Sophis tidak hanya mengajar seni berpidato dan berdebat, tapi juga menanamkan sifat munafik kepada murid-muridnya. Sebagai contoh, murid-murid mereka disuruh berpidato tentang dua hal yang saling bertentangan. Misalnya, murid disuruh berpidato yang membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Setelah itu murid tersebut diminta berpidato untuk membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada. Jika sang murid mampu melakukan kedua hal itu sama meyakinkannya, maka mereka dinyatakan lulus. Jadi, disini bukan benar atau salah yang penting, tapi bagaimana cara memenangkan perdebatan. Itu sebabnya Sophisme seringkali dikonotasikan sebagai argumentasi yang cerdas tapi sebenarnya menyesatkan.

Meskipun telah ribuan tahun berlalu tidak berarti ajaran Sophis telah mati. Pengikut paham Sophis ini justru semakin banyak kita temukan di masa sekarang. Mereka tersebar dari berbagai profesi yang ciri utamanya adalah menjadikan retorika sebagai senjata seperti politisi, pengacara, wartawan, pejabat pemerintah, hingga pegiat LSM,. Senjata utama mereka adalah kelihaian beradu pendapat yang dilakukan lewat lewat ucapan, tulisan, atau gambar (visual). Jika perlu debat kusir berkepanjangan akan mereka layani sampai musuh mereka takluk.

Selama memberikan keuntungan, maka semua itu sah-sah saja bagi mereka. Para politisi bersilat lidah agar terlihat berpihak rakyat, padahal hanya ingin dipilih lagi. Para pengacara mencari-cari dalih agar kliennya yang salah dibebaskan karena dia dibayar mahal untuk itu. Para wartawan memutar balik fakta agar beritanya laku. Pejabat pemerintah sibuk membesar-besarkan prestasi agar rakyat tak gelisah karena pajak yang tinggi. Pegiat LSM sibuk protes sana sini demi mendapat sokongan dana dari negara asing.

Satu-satunya cara menghadapi kaum Sophis adalah dengan ilmu yang benar. Sebab, ilmu yang benar dapat mengenal celah-celah kepalsuan retorika kaum Sophis. Dan sebaik-baik ilmu yang benar adalah yang datang dari Yang Maha Mengetahui (wahyu) karena ilmu ini bersifat mutlak, sempurna, dan abadi. Dengan ilmu yang benar seseorang akan terhindar dari perangkap retorika kaum Sophis.

Oleh : Wendi Zarman

24.9.13

Fall (or Fool) in Love (?)

Sejauh ini aku telah jatuh cinta dua kali.
Pada orang yang layak, namun diwaktu yang salah.
Karena hanya mengejar bayangan yang terus pergi menuju cahaya.
Iya, mereka pergi menuju cahaya,
Namun aku hanya terpaku, menatap bayangan yang semakin pergi semakin memendek.

Bolehkah aku jatuh cinta sekarang?
Tidak boleh Nak, kamu terlalu kecil untuk menanggung bebannya.
Senyummu terlalu manis untuk berpura-pura bahagia ketika kau terluka.

Maka titipkan saja namanya,
Pada sehelai daun yang akan meninggi seiring pertumbuhan batang pohonnya.
Titipkan saja namanya,
Pada hamparan pasir di tepi pantai yang akan melarutkannya dan membawa ke laut lepas.

Yang manapun yang terbaik bagimu,
Akan dikirimkan kepadamu,
Sebagai bingkisan yang patut kamu syukuri,
Sepanjang waktu.




Puisi titipan 'anakku' ._.v

12.9.13

Selamat Jalan Renata

Kali ini kamu tertawa dengan lepasnya di hadapanku. Membuatku terlihat semakin bodoh, sangat bodoh. Adakah wanita yang telah dikhianati di hadapannya namun hanya menanggapinya dengan tertawa saja. Perempuan bodoh!

"Sampai kapan kamu mau bermain-main, Rian?" Tanyanya padaku yang masih terlihat bodoh.

"Bodoh...." Ujarku datar.

"Sampai kapan? Kamu mau menunggu sampai kamu tua dan tidak ada yang mau menjadi pelabuhanmu karena rambutmu yang penuh uban, perutmu yang membuncit, atau sakitmu yang perlahan akan menggerogoti?" Tanyanya, masih dengan seringai tawa yang tersungging di bibirnya.

"Atau kamu menunggu usahamu bangkrut? Kekayaanmu menipis dan keuanganmu habis?" Cemoohnya lagi.

Aku hanya tersenyum sinis. Pertama, tidak rela dengan jawaban sikapnya terhadap apa yang telah kulakukan secara terang-terangan padanya. Kedua, menyadari bahwa perkataannya adalah benar.

"Aku hanya ingin berpisah denganmu. Titik." Dengan begitu aku berhenti menyakitimu dengan semua sikapmu yang selalu memaafkan perbuatan bejatku.

Perempuan itu hanya tersenyum. Ah dasar bodoh, bodoh! Perempuan sebaik dirimu, mengapa harus dipertemukan dengan lelaki bejat dan brengsek sepertiku? 

"Setelah adikku yang kamu bawa ke rumah kita, siapa lagi sekarang? Temanku? Sahabatku? Sampai kapan kamu mau menyakitiku dengan menyakiti hati banyak orang lain lagi?"

"Beritahu aku Renata, bagaimana caranya supaya kamu melepasku. Agar kamu tidak terluka, dan aku bebas merdeka." Ujarku pelan. Habis akal.

Perempuan itu hanya tersenyum, sembari menatapku tajam, pandangan matanya menusuk ke dalam jantungku, sebelum mulut beracunnya mengoyak perasaanku.

"Berhentilah bermain-main. Ketika saat itu tiba, aku akan melepaskanmu dengan ikhlas. Dengan tersenyum. Karena malaikat akan menyambutku, menyematkan mahkota atas kepalaku. Karena satu hal yang membuat hatiku bergerak untuk menikah denganmu, aku ingin menjadi istri yang menaatimu, dengan jiwa dan ragaku." 

Percakapan berakhir dengan sebuah belaian tangan halusnya yang menyeka wajahku. Perempuan bodoh! Aku terus memaki atas kesabaran seluas samudera yang dimilikinya.


***

Mengenang percakapan itu, membuat air mataku tidak berhenti mengalir. Renata benar-benar mengabulkan permintaanku kala itu. Aku dilepasnya, dengan sesungging senyuman yang terngiang di ingatan. Impianku, aku mampu terlepas dari ikatannya. Impiannya, ia ingin dilepas dengan predikat istri yang taat kepada suaminya, hingga akhir hayatnya.

Aku melepas kepergiannya sekarang, dengan penyesalan seluas bumi dan seisinya, dengan seikat mawar merah di atas tanah perkuburan yang masih basah. Jika kunci surgamu adalah ketaatanmu padaku, maka kuberikan pengakuan di hadapan Tuhan dan seluruh makhluknya, bahwa kau telah lulus atas ujian itu.

Selamat jalan Renata.

Surat Untuk Abang

Dear Abang,

Apa kabar Abang disana? Hujan kah di tempat Abang sana? Disini hujan turun dengan derasnya. Air-air dari selokan sepertinya meluap, kalau sudah begini, maka sebentar lagi pasti akan banjir. Ah, aku tidak ingin membahas itu dengan Abang, biarlah urusan banjir menjadi urusannya pemerintah saja. Aku tidak ingin merusak romantisme hujan dengan membicarakan dampaknya. Biar kita nikmati saja butiran-butiran hujan ini sebagai kumpulan butiran rinduku yang semakin membuncah kepada Abang.

Abang sehat kan? Aku disini sehat-sehat saja. Cukup makan, rajin minum susu. Ah ya, dokter mencekokiku dengan berbagai suplemen vitamin karena kemarin sempat terkena flu. Tidak Bang, aku tidak bermain hujan. Bukankah aku sudah berjanji pada Abang untuk selalu menjaga kesehatan? Ini hanya sedikit kelelahan saja. Sekarang sudah baikan kok. Kamu tidak perlu mencemaskanku Bang.

Seperti pesanmu dulu, jika aku merindukanmu, maka tulislah surat sepenuh hati. Tidak perlu mempedulikan kemajuan teknologi yang kata orang bisa mengubah dengan singkat komunikasi dengan orang lain. Maka seperti titahmu, aku mengirimkan surat kepadamu ketika aku rindu. Tidak dengan sms, skype, atau chatting di facebook.

Katamu, surat mampu mengeluarkan segala jenis kerinduan. Buncahan dalam setiap katanya, momen menunggu pak pos menyampaikannya, mengkristalkan rasa rindu itu sendiri, sehingga ia akan dengan indah tersampaikan. Seperti butiran uap air yang rela menunggu menjadi turunan hujan. Itulah makna rindu yang sesungguhnya.

Sungguh aku rindu denganmu kali ini Bang. Meski katamu, jarak hanyalah bilangan kilometer yang mampu diukur, namun jarak rindu yang membentang akan terbayarkan dengan kecepatan cahaya, jika diungkapkan melalui doa. Aku tak henti mendoa agar dapat dipertemukan kembali denganmu.

Bang, si kecil sekarang sudah pandai menendang-nendang. Membuatku semakin kelelahan saja. Tidak sanggup rasanya aku menunggu kehadirannya di dunia. Kau tidak merindukannya? Kata dokter dia laki-laki, pasti setampan dirimu.

Bang, semoga kau baik-baik saja di alam sana. Kutitipkan surat ini di atas makammu, kutitipkan isinya di akhir doaku. Semoga Abang junior mampu mengisi kerinduanku padamu, dan menemaniku hingga hari tuaku. Peluk kecup dari kekasih yang terpisahkan tidak hanya oleh jarak dan waktu.

10.9.13

Terselip Sebuah Cerita


Baru seminggu aku bekerja disini. Menerima berbagai map hasil penelitian dari peneliti, kemudian memperbaiki karya ilmiah mereka dari segi tanda baca dan penulisan EYD sesuai dengan kaidah berbahasa yang benar.  Untuk kemudian, bisa layak diterbitkan dan menjadi rujukan dan konsumsi kaum akademisi yang haus akan hasil penelitian terbaru.

Sebuah map bertuliskan Prof. Dr. Sulastri, M.Si sudah berpindah dari mejaku. Baru saja aku menuju ke ruangan beliau untuk mengembalikannya. Irisnya yang hitam dibalik kacamata menyapu halaman demi halaman penelitiannya itu. Aku mengamati wajahnya. Masih cantik. Walau telah menginjak usia lima puluh tahun, aura kecantikan beliau masih terpancar, meski kerutan wajahnya tidak dapat disamarkan. Masih sama dengan foto masa mudanya yang pernah kulihat. Beliau belum menikah. Seperti ada cerita masa lalu yang belum usai.

Kurogoh laci mejaku, mencari sebuah portrait yang kumaksudkan tadi. Tidak ada. Dimana foto itu?

Derap langkah yang berhenti di pintu ruanganku menjawab pertanyaan tadi.

“Sarah.” Suara yang biasa tegas, terdengar lirih. Foto Ibu Sulastri muda sepertinya terselip di antara kertas pekerjaanku tadi.

“Kamu anaknya ….?” Tangan kirinya memegang potret hitam putih dirinya dan seorang pemuda.

Aku tergagap, mengangguk pelan. “Bapak menunggu anda Professor, tapi …” 

Ia masih seorang lelaki dari desa yang tak berpendidikan tinggi.

Di Atas Pusara Ayahnya

Satu jam berlalu setelah berita kematian seorang pejabat tinggi daerah beredar. Kini di sebuah kompleks pemakaman terkenal telah ramai dikunjungi oleh para pelayat. Sebentar lagi, prosesi pemakaman akan dilangsungkan. Mobil-mobil berjejer rapi hingga memadati pinggir jalan. Semua ingin memberikan penghormatan terakhir kepada mendiang. Keluarga pun banyak memadati petak dua kali satu meter tempat peristirahatan terakhir sang pejabat. 

Dari kejauhan, di bawah pohon kamboja yang tumbuh subur di area pemakaman, aku berdiri mematung. Berpakaian serba hitam sebagai tanda bela sungkawa, dan membawa seikat rangkaian bunga mawar merah tua. Aku belum beranjak dari tempat ini, karena di tempat mendiang dikuburkan masih sangat ramai. 

Aku hanya melihat dari jauh, mencoba mengenali satu per satu keluarga yang hadir. Aku mengenali sosok istri pejabat itu. Ibu yang cukup berumur dibalut kerudung putih dan kaca mata hitamnya sedang menaburkan bunga sembari terduduk di sisi makam. Aku juga melihat anak tertua, Afian, dengan kaca mata hitam pula duduk di samping ibundanya. Yang tidak terlihat adalah wajah Adrian, yang mungkin saat ini sedang melintasi garis meridian demi melihat tanah basah tempat ayahnya dikuburkan.

Beberapa saat berlalu, aku keluar dari tempat ini bersamaan dengan pulangnya para pelayat yang hadir. Rangkaian mawar merah tua masih aku bawa. Ingin rasanya kuletakkan bunga ini di atas makam beliau, namun ini bukan saatnya. Masih ramai, dan tentu kehadiranku disana akan menyumbangkan tanda tanya besar.


Sejam kemudian, aku memutuskan untuk kembali. Namun sepertinya kedatanganku kali ini masih bukan di waktu yang tepat. Aku kembali berdiri di tempat yang sama dengan sebelumnya, menyaksikan drama keluarga yang begitu menyayat hati.

Keluarga sah almarhum Satrio Miharja masih berada disana. Beserta dua wajah baru yang tidak diundang.

“… kalian sudah kuperingatkan! Pergi dari sini. Sekarang!” Suara tegas Afian, memerintah kepada dua orang yang terdiri dari lelaki muda dan seorang ibu berusia lima puluhan.

Suara isak dari ibu berkerudung hitam itu mengusik kesunyian di sekitar pemakaman.

“Kamu tidak bisa melarang kami untuk kesini! Walau bagaimanapun, ini adalah makam ayahku juga!” Teriak sang lelaki yang baru datang di depan wajah Afian.

Afian, sang putra pertama membuka kaca matanya dan menampakkan sorotan yang mengancam pada pemuda itu yang disinyalir usianya lebih muda darinya.

“Pak Diman!” Teriaknya pada sopir pribadi mereka yang masih berada di sekitar tanah kuburan ayahnya.  “Bawa ibu pulang duluan. Aku akan membereskan sampah kecil ini dulu sebelum pulang!”

Pak Diman yang namanya tadi dipanggil, tergopoh-gopoh membawa sang nyonya yang tadi hanya terduduk dan diam menyaksikan kedatangan dua orang baru tersebut. Sorot mata sang nyonya yang amat sangat kelelahan tidak mampu menambahkan ekspresi duka maupun keterkejutan lagi, menurut saja apa titah sulungnya.

Aku menyembunyikan postur kecilku di belakang batang pohon yang kokoh sembari memandang sosok nyonya besar dan supirnya, yang keluar dari area pemakaman. Selanjutnya, inderaku kukonsentrasikan ke tempat tadi sepenuhnya.

“Kalau kau datang kemari hanya untuk masalah warisan, lupakan! Kau dan ibumu tidak akan mendapatkan harta sepeser pun!”

“Kau sungguh hina! Bagaimana mungkin berbicara warisan sementara kuburan ayahmu, ayah kita, …” pemuda kedua itu menunjuk ke makam di sebelah mereka. “masih basah, belum kering?”

“Kau hanyalah seorang anak dari istri yang tidak sah!” Bentak Afian, yang juga menunjuk sosok ibu yang sedari tadi menangis tak henti sembari mencoba menenangkan anaknya yang terpancing emosi.

“Kami tidak mengharap warisan, Nak. Kami hanya ingin melakukan penghormatan terakhir. Walau bagaimanapun, ayahmu adalah suami sah ibu di mata Tuhan. Dan Andre, adalah adikmu juga, bagaimanapun kau mengingkarinya.” Ujar sang ibu, dengan air mata berleraian.

Aku tidak sanggup lagi menyimak pembicaraan tersebut. Kuputuskan untuk meninggalkan tempat ini, tanpa sempat mengantarkan doa secara pribadi dan meletakkan rangkaian bunga ini di atas makamnya. Kuusap air mata yang perlahan jatuh ketika indera pendengaranku masih mampu menangkap pembicaraan mereka yang ada di dekat makam sana. Orang waras mana yang memperkarakan warisan saat kuburan orang tuanya belum kering?


Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke tempat ini, sejam lagi kemudian. Ini adalah kesempatan terakhir. Jika tidak ada momen untukku meletakkan sendiri rangkaian bunga ini, maka akan kuletakkan saja di bawah pohon kamboja yang tadi menemaniku mematung.

Keberuntungan memihakku kali ini. Di atas tanah basah miliknya tidak ada siapa-siapa. Aku menahan keinginanku untuk segera berlari menuju ke gundukan tanah itu. Aku hanya berjalan dengan tenang, menjaga langkahku agar tidak terpeleset oleh kontur tanah pemakaman yang tidak rata. Dan kini aku sampai di atas pusaranya.

“Ayah.” Ucapku lirih.

Kusapu daun yang berguguran di atas makamnya yang basah dan penuh dengan taburan bunga. Andai menghapus luka itu semudah membuang daun-daun kering yang sudah mulai berguguran di atas makamnya, maka tidak perlu ada air mata yang kini jatuh membasahi pipiku ini.

Seorang ayah, adalah cinta pertama bagi putrinya. Ayahlah yang melindungi putrinya ketika ada yang mengganggu. Ayah pula, yang nantinya akan memegang dengan mantap tangan lelaki yang dipilih anak perempuannya untuk bersama mengikrarkan akad, mengantarkan sang putri ke kehidupannya yang baru. Ayah adalah orang yang bersanding disampingnya kemudian menyerahkannya kepada lelaki yang direstuinya untuk menjadi pendamping bagi anaknya. 

Seharusnya memang begitu. Namun itu tidak terjadi dalam cerita kehidupanku. Kalimat sapa itu, baru saja aku ucapkan untuk pertama kalinya, di atas gundukan tanah basah, saat pemiliknya tidak lagi memiliki nyawa.

“Ayah, anak perempuanmu satu-satunya datang. Maaf atas keterlambatanku untuk berdoa di atas pusaramu. Kamu bahagia dengan kehidupanmu sekarang, Yah? Kuharap seperti itu. Supaya aku mampu dengan mudah memaafkan kesalahanmu padaku dan ibu.”

“Ayah, aku mencintaimu.”

Kukecup nisan dingin itu. Berharap itu bisa menggantikan jasadmu yang tidak pernah mampu aku cium, baik dalam keadaan hidup maupun tak bernyawa.

Aku sudah akan beranjak pergi ketika sebuah suara, yang masih aku kenal siapa pemiliknya, memanggil namaku dengan nada yang tidak biasa.

“Audriana?”

Aku menoleh, mengusapkan air mata yang tak henti keluar. Sosok Adrian berdiri di sisi lain makam, dengan wajah penuh tanda tanya besar dan juga raut kesedihan yang mendalam.

“Kamu…. Siapa?”

“Aku…. Anak dari istri ketiga ayahmu.”

Itulah fakta yang sebenarnya, yang tidak mampu aku tutupi lagi. Yang menjadi penyebab aku harus mengakhiri hubunganku dengan lelaki yang kini pandangannya mengisyaratkan meminta banyak penjelasan ketika melihatku, sang mantan tunangannya yang menangis tiada henti dan mengecup nisan, di atas pusara ayahnya.


***

Tulisan ini (994 kata) diikutkan ke Ngasih Hadiah September Bahagia by Harry Irfan yang dikembangkan dari fiksi mininya yaitu: 

ANAK BARU. “Anak mana Lo?” | “Aku anak dari istri ketiga bapakmu!”

7.9.13

Sebuah Kesalahan




Pukul 23.05, Kantor.

Tidak biasanya ia masih di kantor pada jam segini. Di atas mejanya, tumpukan berkas berserakan. Laptop pribadi dan komputer kantor menyala. Beberapa orang hilir mudik keluar masuk ruangannya.

Ini sebuah kejadian tidak diduga, ujian baginya yang baru dinaikkan jabatannya sebagai penanggung jawab keuangan. Ada kesalahan dalam menginput data ke buku besar yang dilakukan bawahannya. Sangat fatal.  Anggotanya sedang mengecek ulang semua data dari semua berkas dan bukti pembayaran namun belum diketahui letak kesalahannya dimana.

Handphonenya berdering beberapa kali. Bukan saatnya untuk menjawab telepon dari nomor tidak dikenal. Data keuangan ini harus segera diselesaikan dan diperbaiki hari ini juga. Sekarang. Tidak ada kompromi. Besok ada pelaporan keuangan.

Sekretarisnya masuk dengan wajah pucat.

“Pak, istri Bapak telepon.”

Ah, bukankah dirinya telah memberitahu kalau ada urusan penting dan tidak dapat diganggu dengan alasan apapun?

“Pak?”

Lelaki itu mengabaikan perkataan sekretarisnya, masih fokus meneliti berkas di hadapannya.

“Ibu ada di rumah sakit…”

“… terjatuh di kamar mandi dua jam yang lalu. Janin di kandungannya meninggal.”

“Pihak rumah sakit mencoba menghubungi ponsel Bapak tapi tidak ada jawaban. Bapak diminta kesana sekarang.”

Terdiam. Laki-laki itu dihadapkan pada dua tanggung jawab penting.

Namun ia tidak beranjak dan memilih bersama tumpukan berkas ini.

4.9.13

Give Me Your Love


Aku menyebutnya bidadari. Terlalu belebihan? Tidak. Aku tidak sedang merayu atau menggombal. Dia sungguh-sungguh seorang bidadari. Setidaknya dia bidadari bagiku, bidadari dalam istanaku.

Apakah dia akan memanggilku ‘sang pangeran’ atau ‘pujaan hati’? Aku tidak tahu. Tapi sepertinya ide yang bagus untuk menanyakan padanya. Iya, nanti. Ada saatnya akan tiba aku menatap matanya, menyentuh ke dalam relung hatinya, dan bertanya, apakah aku lelaki yang selama ini dijemput dalam doanya.

Saat itu tidak akan datang apabila aku tidak segera melangkahkan kaki, menuju ke rumahnya. Namun apa daya, kakiku sungguh bergetar hebat, tidak mampu lagi dipercepat. Tapi aku hanya tersenyum, meratapi kegugupan diri yang tidak dapat dibendung.

Akhirnya aku melangkahkan kaki juga ke rumah yang berhias gapura dan tenda. Beras kuning ditaburkan, shalawat dikumandangkan, mengiringi kakiku yang berjalan.  Hatiku semakin berbunga-bunga ketika dihadapkan padanya. Ku coba mencari manik matanya, namun dia hanya tertunduk malu, wajahnya merah tersipu. Oh bidadariku, sungguh cantiknya dirimu.

“Saya terima nikahnya, Amanda Reviani binti Maskur, dengan mas kawin seperangkat alat shalat, dibayar tunai.”

“Sah?” Tanya penghulu.

“Saaah…”

Doa terucap mengiringi langkah baru. Langkah menuju bidadariku. Ia menangis tersedu di sampingku, dan kini aku mampu menggenggam tangannya tanpa ragu. Bagiku, dia bukakan pintu hatiku yang lama tak bisa kupercayakan cinta. Namun baginya, akulah yang membuka pintu hatinya yang terkunci rapat. 

Kasihku, kini aku bebaskan nasib dan belenggumu, dari orang yang telah merenggut kesucianmu secara paksa itu. Orang yang kusebut namanya tadi dengan amarah memuncak di dada. Orang yang namanya akan selalu berada di nama belakangmu. Aku bebaskan kamu dari belenggu kesedihan itu. Mari kita rebut kebahagiaan yang telah lama memudar dari kehidupan masa remajamu.

Give me your love.

Now so come on and love me.

Give me your love.

Now so come on and love me.

Pertemuan Tak terduga



Kata orang, cara ampuh untuk mengobati sakit hati adalah dengan jatuh cinta lagi. Namun begitukah? Tidak semudah itu. Ya, butuh masa yang lama untuk dapat memberikan hatimu kepada orang yang baru, ketika kamu telah mengalami hal yang pahit dengan hati yang sama di masa silam.

Namun ada pula yang beranggapan bahwa butuh waktu sekejap untuk jatuh cinta tetapi menghabiskan waktu yang lama untuk mengobatinya ketika terluka. Ah, hanya teori saja bukan? Karena masing-masing orang, akan memiliki cerita cintanya sendiri. Cinta yang berbeda, meskipun manisnya sama.

Begitupun tentang cerita ini. Cerita di kala hujan deras melanda, di suatu sore yang seharusnya cerah. Namun takdir berkata lain. Hujan menggebu dan petir yang mendera membuat seorang wanita muda yang hendak kembali dari kantornya tertahan di sebuah cafee. Segelas cappuccino hangat mampu menghangatkan dirinya yang sempat terguyur hujan sesaat sebelum memasuki tempat ini.

Sebuah undangan merah jambu dipegangnya. Sempat menjadi penahan hujan tadi, meskipun undangannya akan basah dan rusak, namun isinya tidak akan berubah kan? Tidak lagi ia merasa terkoyak hatinya dengan kehadiran undangan itu. Tidak semenjak wanita ini bertemu dengan seseorang yang mobilnya nyaris saja menabraknya ketika ia berlari dari parkiran mobil menuju ke cafee ini.

“Diana?” Ujar lelaki di dalam sedan hitam itu.

“Andre?” Ujarnya sejurus kemudian.

Seolah hujan melambat hingga ada beberapa momen seolah berhenti. Angin hangat berhembus mengusir dinginnya cuaca.

Pembicaraan berganti di tempat yang kini masih didudukinya. Mereka bertemu lagi, setelah sekian lama. Seorang sahabat semasa SMA. Sejenak melupakan derasnya hujan. Seolah bunga-bunga bermekaran, musim semi hadir di tempat yang tidak semestinya.

Pertemuan kedua dijanjikan, di sebuah tempat yang tercetak warna emas di kertas undangan yang dipegangnya. Undangan dari mantan suaminya yang baru saja resmi berpisah bulan lalu.

Tiba-tiba ia datang begitu saja kepadaku, saat aku mulai membangun puing-puing reruntuhan hatiku.