Satu jam berlalu setelah berita
kematian seorang pejabat tinggi daerah beredar. Kini di sebuah kompleks
pemakaman terkenal telah ramai dikunjungi oleh para pelayat. Sebentar lagi,
prosesi pemakaman akan dilangsungkan. Mobil-mobil berjejer rapi hingga memadati
pinggir jalan. Semua ingin memberikan penghormatan terakhir kepada mendiang.
Keluarga pun banyak memadati petak dua kali satu meter tempat peristirahatan
terakhir sang pejabat.
Dari kejauhan, di bawah pohon
kamboja yang tumbuh subur di area pemakaman, aku berdiri mematung. Berpakaian
serba hitam sebagai tanda bela sungkawa, dan membawa seikat rangkaian bunga
mawar merah tua. Aku belum beranjak dari tempat ini, karena di tempat mendiang
dikuburkan masih sangat ramai.
Aku hanya melihat dari jauh,
mencoba mengenali satu per satu keluarga yang hadir. Aku mengenali sosok istri
pejabat itu. Ibu yang cukup berumur dibalut kerudung putih dan kaca mata
hitamnya sedang menaburkan bunga sembari terduduk di sisi makam. Aku juga
melihat anak tertua, Afian, dengan kaca mata hitam pula duduk di samping
ibundanya. Yang tidak terlihat adalah wajah Adrian, yang mungkin saat ini
sedang melintasi garis meridian demi melihat tanah basah tempat ayahnya
dikuburkan.
Beberapa saat berlalu, aku keluar
dari tempat ini bersamaan dengan pulangnya para pelayat yang hadir. Rangkaian
mawar merah tua masih aku bawa. Ingin rasanya kuletakkan bunga ini di atas makam
beliau, namun ini bukan saatnya. Masih ramai, dan tentu kehadiranku disana akan
menyumbangkan tanda tanya besar.
Sejam kemudian, aku memutuskan
untuk kembali. Namun sepertinya kedatanganku kali ini masih bukan di waktu yang
tepat. Aku kembali berdiri di tempat yang sama dengan sebelumnya, menyaksikan
drama keluarga yang begitu menyayat hati.
Keluarga sah almarhum Satrio
Miharja masih berada disana. Beserta dua wajah baru yang tidak diundang.
“… kalian sudah kuperingatkan!
Pergi dari sini. Sekarang!” Suara tegas Afian, memerintah kepada dua orang yang
terdiri dari lelaki muda dan seorang ibu berusia lima puluhan.
Suara isak dari ibu berkerudung
hitam itu mengusik kesunyian di sekitar pemakaman.
“Kamu tidak bisa melarang kami
untuk kesini! Walau bagaimanapun, ini adalah makam ayahku juga!” Teriak sang
lelaki yang baru datang di depan wajah Afian.
Afian, sang putra pertama membuka
kaca matanya dan menampakkan sorotan yang mengancam pada pemuda itu yang
disinyalir usianya lebih muda darinya.
“Pak Diman!” Teriaknya pada sopir
pribadi mereka yang masih berada di sekitar tanah kuburan ayahnya. “Bawa ibu
pulang duluan. Aku akan membereskan sampah kecil ini dulu sebelum pulang!”
Pak Diman yang namanya tadi
dipanggil, tergopoh-gopoh membawa sang nyonya yang tadi hanya terduduk dan diam
menyaksikan kedatangan dua orang baru tersebut. Sorot mata sang nyonya yang amat
sangat kelelahan tidak mampu menambahkan ekspresi duka maupun keterkejutan
lagi, menurut saja apa titah sulungnya.
Aku menyembunyikan postur kecilku
di belakang batang pohon yang kokoh sembari memandang sosok nyonya besar dan
supirnya, yang keluar dari area pemakaman. Selanjutnya, inderaku
kukonsentrasikan ke tempat tadi sepenuhnya.
“Kalau kau datang kemari hanya
untuk masalah warisan, lupakan! Kau dan ibumu tidak akan mendapatkan harta
sepeser pun!”
“Kau sungguh hina! Bagaimana
mungkin berbicara warisan sementara kuburan ayahmu, ayah kita, …” pemuda kedua
itu menunjuk ke makam di sebelah mereka. “masih basah, belum kering?”
“Kau hanyalah seorang anak dari
istri yang tidak sah!” Bentak Afian, yang juga menunjuk sosok ibu yang sedari
tadi menangis tak henti sembari mencoba menenangkan anaknya yang terpancing
emosi.
“Kami tidak mengharap warisan,
Nak. Kami hanya ingin melakukan penghormatan terakhir. Walau bagaimanapun,
ayahmu adalah suami sah ibu di mata Tuhan. Dan Andre, adalah adikmu juga,
bagaimanapun kau mengingkarinya.” Ujar sang ibu, dengan air mata berleraian.
Aku tidak sanggup lagi menyimak
pembicaraan tersebut. Kuputuskan untuk meninggalkan tempat ini, tanpa sempat
mengantarkan doa secara pribadi dan meletakkan rangkaian bunga ini di atas
makamnya. Kuusap air mata yang perlahan jatuh ketika indera pendengaranku masih
mampu menangkap pembicaraan mereka yang ada di dekat makam sana. Orang waras
mana yang memperkarakan warisan saat kuburan orang tuanya belum kering?
Akhirnya aku putuskan untuk
kembali ke tempat ini, sejam lagi kemudian. Ini adalah kesempatan terakhir. Jika
tidak ada momen untukku meletakkan sendiri rangkaian bunga ini, maka akan
kuletakkan saja di bawah pohon kamboja yang tadi menemaniku mematung.
Keberuntungan memihakku kali ini.
Di atas tanah basah miliknya tidak ada siapa-siapa. Aku menahan keinginanku
untuk segera berlari menuju ke gundukan tanah itu. Aku hanya berjalan dengan
tenang, menjaga langkahku agar tidak terpeleset oleh kontur tanah pemakaman
yang tidak rata. Dan kini aku sampai di atas pusaranya.
“Ayah.” Ucapku lirih.
Kusapu daun yang berguguran di
atas makamnya yang basah dan penuh dengan taburan bunga. Andai menghapus luka
itu semudah membuang daun-daun kering yang sudah mulai berguguran di atas makamnya,
maka tidak perlu ada air mata yang kini jatuh membasahi pipiku ini.
Seorang ayah, adalah cinta
pertama bagi putrinya. Ayahlah yang melindungi putrinya ketika ada yang
mengganggu. Ayah pula, yang nantinya akan memegang dengan mantap tangan lelaki
yang dipilih anak perempuannya untuk bersama mengikrarkan akad, mengantarkan
sang putri ke kehidupannya yang baru. Ayah adalah orang yang bersanding
disampingnya kemudian menyerahkannya kepada lelaki yang direstuinya untuk
menjadi pendamping bagi anaknya.
Seharusnya memang begitu. Namun
itu tidak terjadi dalam cerita kehidupanku. Kalimat sapa itu, baru saja aku
ucapkan untuk pertama kalinya, di atas gundukan tanah basah, saat pemiliknya
tidak lagi memiliki nyawa.
“Ayah, anak perempuanmu
satu-satunya datang. Maaf atas keterlambatanku untuk berdoa di atas pusaramu.
Kamu bahagia dengan kehidupanmu sekarang, Yah? Kuharap seperti itu. Supaya aku
mampu dengan mudah memaafkan kesalahanmu padaku dan ibu.”
“Ayah, aku mencintaimu.”
Kukecup nisan dingin itu. Berharap
itu bisa menggantikan jasadmu yang tidak pernah mampu aku cium, baik dalam
keadaan hidup maupun tak bernyawa.
Aku sudah akan beranjak pergi
ketika sebuah suara, yang masih aku kenal siapa pemiliknya, memanggil namaku
dengan nada yang tidak biasa.
“Audriana?”
Aku menoleh, mengusapkan air mata
yang tak henti keluar. Sosok Adrian berdiri di sisi lain makam, dengan wajah
penuh tanda tanya besar dan juga raut kesedihan yang mendalam.
“Kamu…. Siapa?”
“Aku…. Anak dari istri ketiga
ayahmu.”
Itulah fakta yang sebenarnya,
yang tidak mampu aku tutupi lagi. Yang menjadi penyebab aku harus mengakhiri
hubunganku dengan lelaki yang kini pandangannya mengisyaratkan meminta banyak
penjelasan ketika melihatku, sang mantan tunangannya yang menangis tiada henti
dan mengecup nisan, di atas pusara ayahnya.
***
ANAK BARU. “Anak mana Lo?” | “Aku anak dari istri ketiga bapakmu!”