31.7.13

Sesal

Hari ini malam kedua puluh satu Ramadhan. Jika sebagian besar orang malam ini telah tertidur lelap, mungkin habis berbelanja keperluan lebaran, atau bagi sebagian kecil orang menghabiskan waktunya untuk itikaf, bertafakur mendekatkan diri pada Tuhannya, tetapi kedua hal tersebut tidak dilakukan oleh Abi. Lelaki dua puluh enam tahun itu hanya menatap hampa dinding kamarnya berwarna kuning gading. Sesekali menoleh pada koper terbuka dan pakaian yang berserakan di atas kasur empuknya yang kini kosong.

Sesal? Tentu terlambat jika kata itu dihadirkannya saat ini. Seharusnya penyesalan itu tidak pernah terucap jika ia tidak memilih jalan ini dua tahun yang lalu, ketika seharusnya nasehat ibunyalah yang diikutinya, bukan malah pergi dengan cinta sesaatnya. Tapi bukankah sesal selalu terjadi belakangan?

Ia menatap kembali koper dan pakaian yang masih berserakan. Dirapikannya satu per satu, dimasukkannya ke dalam koper biru. Tidak ada kemantapan sebelum ini. Sebelum suara lemah yang kembali terngiang di telinganya.

"Abi, pulang saja Nak. Ibu memaafkan kesalahanmu." Suara ibunya, yang baru saja muncul dalam mimpinya tadi.

Sepucuk surat dituliskannya, diletakkan di atas kasur kosong yang kini telah rapi.

"Maaf aku memilih pergi. Semoga lelaki pilihan barumu membuat hidupmu bahagia."

Sebuah cincin dilepaskan dari jari manisnya, diletakkan di atas secarik kertas itu.

Apa Dia Akan Menungguku Datang Kembali?



Kangen.

‘Vina, apa kabar? Sehat?’
Aku menarikan jari pada tuts handphone untuk mengirim pesan ke seseorang yang beribu kilometer jaraknya dari tempatku saat ini. Tepat saat opsi ‘kirim’ seharusnya ditekan, aku malah memilih untuk ‘keluar’ sehingga pesan sangat pendek tersebut hanya mampu memenuhi memori telepon saja.

Baru seminggu yang lalu kami bertatap muka setelah sekian lama hanya mampu menatapnya dari jauh. Namun rasa rindu tak mampu dibendung. Wajah teduhnya membayangiku lebih sering malam mini. Entah karena purnama sedang bersinar sempurna, seperti cahaya yang memancar dari rautnya .

Dari sorot matanya saat itu, aku tahu dia mencintaiku, akupun mencintainya. Kami sama-sama saling jatuh cinta, dalam diam, diam yang mengharukan. Diam yang selamanya hanya akan tetap menjadi diam bila aku terus diam.

Kumainkan handphoneku, entah tak sengaja satu nama itu selalu saja menghiasi layar handphoneku, tanpa mampu aku mengirim pesan padanya, tanpa mampu aku telepon untuk mendengar suaranya. Aku mencintainya, aku merindukannya malam ini. Mungkin dia juga sama. Aku tidak tahu. Aku tidak berani menyatakan perasaan ini. Apa dia akan menungguku datang kembali?

25.7.13

LELAH


Tanggal 26 Juli esok, adalah perayaan pertama Hari Puisi Indonesia. Sebagai apresiasi untuk perayaan ini, saya mau kembali menulis puisi dan secara kebetulan, dari forum myquran ini, baru nemu istilah yang namanya Puisi Akrostik. Kalau mau baca pengertian istilahnya, silahkan googling saja, banyak penjelasannya kok.

@>----

LELAH




Lama sudah rasanya aku ingin pergi
Entah bagaimana, namun kaki ini masih tertahan disini
Lalu jejak kaki yang mengukir di belakang selalu membayangi
Aku hanyalah bayangan palsu yang terus terbebani
Haruskah aku tetap bertahan untuk tidak segera mengakhiri?

24.7.13

Flash Fiction: Parcel





Wanita berkerudung hitam itu keluar dari ruang besuk tahanan dengan mata sembap. Seorang sipir yang dikenalnya menyapa.

“Sudah ketemu ibunya, Mbak?”

Ia mengangguk.

“Ini kolak pisang Pak, untuk berbuka.” Ucapnya sembari tersenyum dan menyerahkan bungkusan di tangan kanannya.

“Saya titip ini juga untuk ibu.” Ia juga menyerahkan keranjang berpita merah yang dibawanya.

Sipir paruh baya itu menatapnya dengan sendu. Ia bukan lagi gadis muda yang dilihatnya pertama kali beberapa tahun yang lalu.

“Ibunya masih belum mau terima bingkisan ini Mbak?”

“Belum Pak.”

Wanita itu, yang hari-harinya digunakan untuk bekerja sebagai pembantu di kota, dan setiap jelang lebaran pulang kampung untuk menjenguk ibunya, menatap nanar bingkisan yang tidak pernah mau diterima.

“Kalau tahun ini ibu nggak mau terima lagi, ambil saja buat istri Bapak. Isinya ada kue lebaran, minuman, mukena, baju, sama kerudung.” Ucapnya, kali ini dengan upaya menahan air mata.

“Semoga ibumu diberi hidayah Mbak. Nanti Bapak berikan ke ibumu sampai dia mau terima.” 

Air mata menetesi pipinya menemaninya keluar dari lembaga permasyarakatan. Teringat kembali kejadian silam saat ibunya mencoba untuk menjual dirinya ketika ia belia. Sebuah upaya yang dilakukan untuk menyelamatkan diri dan kehormatannya, harus dibayar dengan menjebloskan ibunya ke dalam penjara untuk waktu yang lama.

17.7.13

Puding Cokelat Oreo Saus Vanila

Assalamualaikum, saya mau share puding kreasi saya sendiri yang ternyata enak banget. Puasa begini, enaknya sih berbuka dengan yang manis ya. Tapi, kalau yang manis belum dapat, pakai yang manis lainnya aja deh (ini maksudnya apa ya) hihihi. Berbekal coba-coba resep baru, akhirnya jadi deh puding enak, manis, dan seger buat buka puasa. 

Nah, kalau di rumah nggak sedia alat ukur (timbangan, gelas ukur, dan sejenisnya) saya kasih resep yang bisa diukur pakai alat ukur sehari-hari. Hehehe, walau begitu rasanya tetap enak kok, pas di lidah, enak di perut, karena memasaknya pakai cinta #eaaaahh.




Bahan-Bahan :

1 bungkus agar-agar cokelat
120 gram (atau 2/3 gelas) gula pasir
4 gelas belimbing air
100 gram cokelat blok
6 buah Oreo (yang creamnya putih)

Bahan Vla :

1 bungkus My Vla rasa vanila (ehmmm, berhubung pengen praktis ya pakai ini aja xixix)
1 gelas air panas

Cara Membuat :

Campur agar-agar, gula pasir, air, dan cokelat blok. Rebus hingga mendidih, jangan lupa diaduk-aduk. Dinginkan, baru deh dimasukkan cetakan.
Hancurkan Oreo, tapi jangan terlalu hancur ya. Masukkan ke dalam cetakan agar-agar.
Kalau sudah agak dingin, masukkan ke dalam kulkas.


Cara Membuat Vla :

Ikuti instruksi di belakang bungkus ^_^

Selamat mencoba dan menikmati. Happy Blogging. Happy Cooking. Happy Fasting teman-teman \(^_^)/

16.7.13

Flash Fiction : Mengabadikan Senja







Senja mengguratkan cahaya keemasannya yang mempesona, memaksaku menepikan motor sejenak untuk menikmati keindahannya, di Tepi Sungai Mahakam yang membelah kota. Agenda mendokumentasi kegiatan berbuka puasa kuputuskan ditunda esok saja.

Kunikmati syahdunya lantunan ayat suci yang terdengar dari masjid di seberang jalan. Sementara pandanganku dimanjakan oleh siluet senja dengan pantulan sinarnya di permukaan sungai. Sebuah kompilasi yang pas dalam menghayati ayat Tuhan yang tersebar di hamparan bumi.

Kameraku berpindah-pindah dari padatnya arus jalan raya, teduhnya riak sungai yang terpantul cahaya senja, anak kecil yang berkeliling menawarkan takjil, namun tiba-tiba berhenti pada pemandangan yang sedari tadi luput dari perhatianku. Seorang gadis sedang khusyuk dengan kanvas dan kuas ditangannya. 

Dzikir yang terlantun dari masjid berhenti, disusul suara bedug dan adzan maghrib. Alhamdulillah, puasa hari ini tertunaikan. Kuucap syukur juga atas keindahan saat menanti berbuka puasa kali ini. Aku teringat tidak membawa bekal apapun untuk berbuka. Segera kucari sosok anak kecil yang berjualan kolak pisang tadi, namun sudah tidak ada.

“Selamat berbuka puasa.”

Gadis berkerudung merah tiba-tiba sudah berdiri dihadapanku dengan sebotol air mineral yang terulur ke arahku. Kanvas yang masih basah oleh tinta tergenggam di tangan kirinya. Aku menangkap sesosok lelaki dengan kamera di ujung lukisanya.

Ternyata kami mengabadikan momen yang sama.

12.7.13

Cermin : Makam

 




Apa yang ada di benakmu ketika melihat pemuda dua puluh tahunan membawa boneka panda besar dan satu tas berisi kado? Seperti ulang tahun datang terlalu cepat. Apalagi bagiku dulu, seorang gadis berusia lima tahun mendapatkan boneka dan mainan adalah hal terindah.


Sayangnya, kebahagiaan itu harus ternoda dengan adegan yang terjadi selanjutnya. Ketika melihat boneka yang baru saja kupeluk dirampas dan dibuang ke selokan, mainanku dilempar ke orang yang baru saja memberinya, dan isak tangis membahana di udara. Aku meraung saat itu, karena merasa bunda merampas kebahagiaanku. Rupanya tangisanku juga beradu dengan tangis paman baik hati yang baru saja memberiku hadiah itu. 

Bagi anak kecil, mereka akan merekam dengan jelas kejadian yang amat berkesan selama masa pertumbuhannya. Aku memilih kenangan tadi. Saat itu, terlalu kecil untukku dapat mencerna dialog bunda dan paman itu. Paman itu menangis dan memohon sambil berlutut, namun bunda memukulinya tanpa menghiraukan aku yang juga menangis karena hatiku terluka hadiahku dibuang.

Sekarang aku mengerti. Butuh dua puluh tahun untuk bisa memahami peristiwa silam. Namun ternyata semuanya terlambat. Untuk memberi balasan hadiah yang belum sempat kunikmati, dan menerima penyesalannya yang belum mampu aku artikan dulu, kukirimkan rangkaian bunga, dalam ziarah jelang Ramadhanku kali ini, di atas makammu, ayah.