18.8.10

Memories Ramadhan 2006

Aku ingin bercerita tentang Ramadhan 2006. Banyak kisah yang tercipta di tahun itu. Tahun dimana aku mendaulat diriku sebagai “aktivis” hehe. Tentu saja, karena saat itulah dimana aku keluar dari lingkup Ramadhan di Sekolah. Tahun-tahun sebelumnya, Ramadhanku diisi dengan aktivitas di sekolah, terawih bersama sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan oleh sekolah, juga buka puasa yang juga telah dijadwalkan sebelumnya. Di tahun itu, aku memberanikan diri “mendobrak” tradisi Ramadhanku. Memberanikan diri Ramadhan di luar sekolah dengan konsekuensi yang lumayan menakutkan bagiku saat itu, “satu hari tidak turun maka hukumannya menulis satu juz Al Qur’an” dan aku berhasil menorehkan cerita manis untuk dikenang pada Ramadhanku di tahun ini.

H-7 Ramadhan.
Siang begitu terik menyapa Samarinda hari itu. Di pelataran Masjid Al Ma’ruf, terlihat dua gadis berseragam SMA sedang melepas lelah. Saat itu keduanya rupanya sedang berpuasa membayar qadha puasa di tahun sebelumnya yang masih bersisa beberapa hari. Di terik matahari itu, keduanya baru saja roadshow mengelilingi beberapa sekolah di Samarinda untuk mengantar undangan kegiatan serta mengkonfirmasi peserta dari sekolah-sekolah tersebut. Dinginnya pelataran Masjid Al Ma’ruf cukup mengobati rasa lelah yang hinggap pada mereka. Setelah ini, perjalanan keduanya dilanjutkan dengan menyebrang masuk area Mall Lembuswana untuk melaporkan apa yang telah dilaksanakan hari ini kepada seorang yang begitu peduli dengan kegiatan mereka. Hari itu, persiapan kegiatan “Pesantren Jurnalistik Pelajar, Pelajar Islam Indonesia Samarinda” telah 65% terlaksana. Kedua gadis tersebut adalah aku dan sahabatku yang bernama Ayu.

H-2 Ramadhan.
Hari ini adalah hari pembukaan Pesantren Jurnalistik Pelajar. Menurut konfirmasi, ada sekitar 50 peserta yang akan mengikuti. Namun ternyata tidak sampai 20 peserta yang hadir. Ada sedikit kecewa terlintas karena kegiatan yang seharusnya mencapai target ternyata belum tersampaikan. Namun panitia tetap tidak putus asa. Tetap semangat menjadi panitia hingga nantinya acara usai. Bahkan sang ketua memarkirkan mobilnya tiga hari di lokasi untuk mengakomodir kebutuhan yang dibutuhkan oleh kepanitiaan.

Hari H Ramadhan.
Malam ini, sahurku pertama kali di lokasi kegiatan. Teman-teman yang laki-laki datang ke rumah untuk mengambil konsumsi kami. Malam itu begitu berbeda bagiku, karena saat itu adalah pertama kalinya aku menghabiskan Ramadhan pertamaku di luar rumah. Bersama peserta dan panitia lainnya kami menghabiskan menu di dini hari itu. Alhamdulillah, masih bisa bertemu dengan Ramadhan meskipun aku tidak menghabiskannya dengan ibu, ayah dan adik-adikku di rumah. Namun sayangnya, karena terlanjur pesan makanan dengan jumlah yang banyak, masih banyak bersisa. Akhirnya teman-teman PII wan berjalan untuk memberikan nasi bungkus yang berlebih tersebut.

H1 Ramadhan.
Hari ini hari terakhir pesantren Ramadhan. Sebelum kegiatan ditutup, aku, Ayu, dan Mala masih disibukkan dengan pekerjaan panitia namun juga tidak lupa mempersiapkan makalah LIT (Leadership Intermedate Training) PII yang akan dilaksanakan dua hari lagi di Tanah Grogot. Ditengah kesibukan tersebut, datanglah seorang kader Pengurus Wilayah yang mengunjungi kegiatan kami. Namun ternyata kedatangan beliau kami sambut dengan sedikit tidak ramah. Maklumlah karena kami merasa sedikit diabaikan pada saat itu, hehe. Ya namanya kader Pengurus Daerah yang pada saat itu merasa kurang mendapat perhatian, jadi ya sedikit ngambek (dan ini menjadi pelajaran berharga bagiku ketika menjadi Pengurus Wilayah untuk berusaha semaksimal mungkin mengakomodir kebutuhan teman-teman daerah :D ).

H3 Ramadhan.
Pukul 15.00, Aku, Ayu dan Mala membuat janji bertemu di Masjid al Ma’ruf. Dengan dana sisa pesantren jurnalistik, kami bermaksud untuk mengikuti LIT di Tanah Grogot. Setelah cukup lama di interogasi dengan Bapaknya Ayu mengenai mekanisme pemberangkatan kita, kami menunggu seseorang yang menjanjikan akan memandu kami hingga ke lokasi kegiatan. Namun setelah menunggu untuk waktu yang lumayan lama tidak ada yang muncul, dan ketika menghubung kakak PW yang ternyata sudah pergi duluan, akhirnya kami memberanikan diri untuk berangkat sendiri pada saat itu. Sebuah usaha yang sangat nekad menurutku karena kondisinya kami adalah rombongan perempuan yang belum pernah berpergian jauh sebelumnya, bahkan belum pernah menginjakkan kaki di tanah Paser.

Dengan bermodalkan pengalamanku pergi naik bus ke Banjarmasin bersama ayah beberapa tahun yang lalu, aku memberikan jaminan kepada dua sahabatku itu bahwa kami akan sampai di Tanah Grogot dengan menaiki bus banjar. Walhasil, akulah menjadi pimpinan rombongan kala itu. Sebelum naik ke atas bus, ibuku menelpon dan aku menceritakan kondisi kami saat itu, dan ibuku hanya berpesan untuk berhati-hati di jalan. Ternyata sampai sekarang kedua temanku itu tidak memberitahu secara jujur kepaada kedua orangtuanya kalau kami berpergian hanya bertiga. Menurut sumber dari kakak PW, katanya kami akan sampai pukul 1 dini hari, dan disuruh untuk menginap di penginapan untuk melanjutkan perjalanan esok harinya. Ketakutan menggerayangiku saat mendengar kabar itu. Tidak dapat ku bayangkan bagaimana kondisi ketiga putri cantik ini di negeri orang yang kami tidak tahu bagaimana kondisinya. Belum lagi, kami harus terjaga bergantian untuk menjaga barang-barang kami selama di bus dan agar tidak ada yang terlelap ketika kami tiba di terminal persinggahan di Kuaro. Kalau saja kami ada yang terlelap dan tidak menyadarinya, maka kami akan ikut bus hingga ke Banjarmasin. Di perjalanan, Mala mencoba memulai menghapal surah An Naba sebagai konsekuensi dari tidak ikut pesantren Ramadhan di sekolahnya. Sementara aku dan Ayu, kami menghitung berapa hari kami bolos dari terawih bersama di kelas dan membayangkan bagaimana keritingnya tangan kami menulis juz demi juz ayat Al Qur’an sebagai harga yang harus kami bayar karena tidak mengikuti kegiatan Ramadhan di SMA 2, sekolah kami.


H4 Ramadhan.
Dini hari akhirnya kami sampai di terminal Kuaro. Alhamdulillah, rupanya kami ditunggu oleh kakak PW yang pada saat pesantren Ramadhan itu kami omelin. Bersamanya akhirnya kami sampai pula di SMA 1 Tanah Grogot, tempat berlangsungnya LBT dan LIT PII Kaltim. Karena sudah dini hari dan menjelang sahur, terbersit ide gilaku untuk membangunkan sahur menggunakan toa yang dibawa dari Samarinda. Dan ternyata, ide tersebut menimbulkan kekacauan. Tidak lama berselang, datang warga yang panic dengan membawa parang akibat mendengar bunyi sirene dari toa tersebut yang dikira adalah sirne kebakaran. Aku tidak tahu bahwa sehai sebelumnya terjadi kebakaran di lokasi tersebut. Well, satu hal yang ku syukuri sampai sekarang, bahwa tidak ketahuan oleh warga kalau aku yang membuat kegaduhan malam itu :D.

Siang harinya, kami bertiga beserta Kak Ferry dari Pengurus Daerah Kukar dan Icha Pengurus Daerah Balikpapan bertemu dengan instruktur kami LIT. Beberapa tahun sesudahnya, barulah aku tahu bahwa aktivitas yang kami lakukan pada saat itu bernama screening sekaligus mengambil sebuah keputusan mengenai jadi atau tidaknya kami mengikuti LIT. Aku beserta kedua sahabat seperjalananku di PD cukup percaya diri ketika ditanya mengenai makalah dan hapalan surah serta beberapa persyaratan lainnya. Namun kondisi peserta yang hanya lima orang (dan yang satu itupun dari hasil pemaksaan) dan minim pula persiapan dari teman kami lainnya, maka dengan berat hati LIT kami batal diselenggarakan. Aku menutupi wajahku dengan makalah yang telah ku buat dan mengeluarkan air mata. Pada saat itu juga, status kami berubah, dari calon peserta LIT menjadi panitia LBT. Job panitia pun kami kerjakan, dan impian berada di local dengan mendapatkan materi pun berganti dengan obrolan sore sambil mencuci piring sembari mengamati lalu lalang peserta LBT yang antri mandi.
Berselang satu hari, aku mendengar kabar dari kakak PW bahwa ada penyelenggaraan LIT di Kalsel. Mendengar berita baik itu, aku memutuskan untuk kembali ke Samarinda untuk mempersiapkan keberangkatan kami ke Kalimantan Selatan (sebenarnya kepulanganku juga disebabkan ketakutanku akibat ulah gila yang sudah kulakukan, hehe, soalnya aku dengar ada warga yang lihat siapa pelaku keributan malam itu :D).
Beberapa hari kemudian, setelah mendapatkan kepastian penyelenggaraan LIT di Kalsel dan persyaratan LIT sudah di tangan, aku beniat pergi LIT disana. Hanya satu yang belum mendapat kepastian, masalah perizinan kedua temanku, mengingat sudah seminggu mereka meninggalkan rumah. Beruntung Ayu diizinkan orang tuanya, namun sayang sekali Mala tidak mendapatkan hal yang sama. Akhirnya kami pergi bertiga, ditambah satu teman perjalanan baru, Kak Ferry. Akhirnya ketua rombongan berganti kepada Kak Ferry, walaupun informasi perjalanan aku yang pegang kendali karena pengalamanku bersama ayah yang pernah ke Banjarmasin sebelumnya.

Setelah lebih dari 12 jam di perjalanan, kami sampai juga di Banjarmasin. Dengan dijemput oleh dua orang kakak Pengurus Wilayah Kalsel, kami diinapkan semalam karena besoknya akan pergi ke lokasi training. Perjalanan menuju Marabahan lumayan jauh, tapi bisa ditempuh pakai motor. Dan ketika sampai di lokasi training, waaaaaw! Tempatnya agak terpencil dan dekat kuburan. Jika ditanya tentang LIT kami? Jawabannya, sangat berkesaaan sekali. Banyak cerita, banyak kenangan yang tak habis untuk aku uraikan disini. Berkesan sekali. Ada suatu saat, lokasi training kami diserang kabut asap sehingga pada saat pengisian materi rata-rata kami peserta menggunakan masker atau slayer untuk metutup mulut, sehingga aku pernah dijuluki wanita bercadar. Dan saat berkesan lainnya, ketika kami sadari kalau kami pasukan dari Kaltim yang mendominasi setiap diskusi.

Seminggu kemudian, akhirnya kami mampu menambah kuota kader LIT di Kalimantan Timur. Rasa haru serta bangga menyelimuti kami berbalut rindu pada rumah. Sebelumnya tak pernah aku menghabiskan libur Ramadhanku selama ini. Akhirnya kami pulang tanpa sempat membeli oleh-oleh buat orang rumah.

Petualangan Ramadhan di tahun 2006 aku tutp dengan aktivitas terakhirku di tahun itu dengan penggalangan dana korban kebakaran di Teluk Lerong. Menjelang lebaran, aku dan teman-teman PII lainnya menggalang dana turun ke jalan dan menyalurkannya kepada korban bencana.

Hmmm, mengenang itu semua membuatku sangat rindu dengan semuanya. Mungkin benar ini yang dinamakan romantisme sejarah. Namun aku yakin, dengan refleksi ini aku berharap bisa menemukan secercah spirit dari kisah indah masa lalu yang bisa aku jadikan semangat dalam menggapai kemuliaan di bulan Ramadhan ini. Aku merindukan semua pelaku cerita empat tahun silam. Ya Allah, semoga Kau pertemukan kami semua di dalam jannahMu. Amien ya Rabb…..

16.8.10

Kaderisasi Kehidupan

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (Q.S. Annisa:9)

Menjadi seorang pengkader bukanlah sebuah tugas yang mudah. Usaha melaksanakan kaderisasi merupakan kerja berantai yang tidak dapat dibebankan hanya kepada satu generasi saja, dan tugas ini harus dilaksanakan berkesinambungan. Berbicara kaderisasi, dimanapun itu letaknya, pada hakikatnya adalah sebuah usaha untuk menyiapkan sebuah generasi penerus yang kuat. Kaderisasi juga merupakan suatu proses pendidikan, karena tidaklah mungkin dapat tercipta sebuah generasi yang kuat jika tidak disokong melalui sebuah proses pendidikan, transfer ilmu pengetahuan, dan pemberian bekal yang cukup dan dapat membuatnya mampu bertahan menghadapi realitas zamannya.

Diskusi mengenai kaderisasi sering kali kita dengar dan perbincangkan pada lingkup organisasi. Karena tidak dapat kita pungkiri bahwa suatu organisasi jika kadernya saat ini tidak mampu menyiapkan generasi penerusnya maka organisasi tersebut tinggal menunggu namanya dikenang saja. Kerja organisasi tanpa disukung kinerja kaderisasi yang kuat hanya akan seperti menyiapkan sebuah pesta. Begitu usai masa kerjanya, tidak ada lagi yang tersisa selain dikenang untuk masa yang relative singkat, dan selanjutnya menjadi sesuatu yang perlahan dilupakan.
Mungkin luput dari kesadaran kita, bahwa proses ini tidak hanya akan kita temui ketika kita berorganisasi semata. Bahkan ada esensi yang lebih penting dari menyiapkan kader bagi pengemban misi dan eksistensi keberlangsungan suatu organisasi. Peran itu sangat dekat dan melekat dalam kehidupan sosial kita, yakni mempersiapkan jundi-jundi yang mampu mengemban amanah kehidupan, baik sebagai Abdullah dan juga khalifah, yang suatu saat nanti mampu mengisi dan mengganti peran kehidupan yang pastinya akan ditinggalkan oleh generasi sebelumnya.



Kita merupakan produk dari kaderisasi orang-orang terdahulu kita. Kita adalah generasi penerus dari orang tua kita dimana harapan dan cita-cita yang menjadi impian orang tua berada di pundak kita. Kita dididik oleh lingkungan keluarga dan lingkungan sosial untuk dapat bertahan hidup. Ini juga merupakan salah satu sunatullah bagi makhluk hidup yang ternyata juga merupakan bagian dari proses kaderisasi kehidupan, yakni berkembang biak untuk melestarikan keturunan dan kemampuan bertahan hidup untuk mampu mencapai tujuan awal tersebut. Proses pendidikan dalam rangka upaya penanaman dan pembentukan sikap serta kepribadian memerlukan kader-kader kehidupan yang mampu bertahan serta menghasilkan kader-kader generasi penerusnya.

Maka sekarang kita berada pada dua posisi yang berbeda namun harus bersinergis dalam pelaksanaannya, yakni sebagai kader dari proses kaderisasi yang dilaksanakan pendahulu kita, dan secara bersamaan kita juga menjadi pengkader yang diharusnya menyiapkan kader-kader selanjutnya. Perjalanan panjang kehidupan kita, baik di lingkungan keluarga, sosial, berorganisasi, mengenyam pendidikan, bersosialisasi dengan sekitar, itu merupakan suatu proses penyiapan diri dan bekal untuk menempuh kehidupan yang nantinya akan menjadi kehidupan baru kita.

Perjalanan tersebut mendidik kita untuk menyiapkan sebuah keluarga. Mengapa konsep kaderisasi yang hebat ini harus dimulai dengan sebuah lingkup kecil bernama keluarga? Karena kaderisasi hebat yang mampu menghasilkan peradaban dimulai dari pengkaderan kepada keluarga. Lihatlah shirah nabawiyah dimana Rasulullah dalam mengemban amanah kaderisasi dimulai dari rumah dan keluarga serta orang-orang terdekat untuk menyebarkkan dakwah dan ajaran Islam. Dimana metode pengkaderan ini sangat efektif dilakukan serta menghasilkan kader-kader cerdas dan militan.

Kesadaran inilah yang harus dibangun mulai dari sekarang. Mungkin peran kehidupan kita dalam keluarga sekarang masih sebatas menjadi anak, maka kita harus berperan dengan sebaik-baiknya menjadi seorang anak yang berbakti kepada Tuhannya serta kedua orang tuanya. Selain itu kita juga harus mempersiapkan diri untuk peran penting selanjutnya, sebagai orang tua. Peran ini mungkin sedikit terlupakan dalam kehidupan kita saat ini. Padahal, tugas tersebut membutuhkan persiapan yang matang dan membutuhkan proses yang tidak singkat. Dengan peran kita sebagai orang tua, maka kita memiliki peran untuk mengkader keluarga dan anak-anak nantinya. Ketika banyak individu yang menyadari perannya ini, dan ketika banyak pula keluarga-keluarga yang memahami bahwa dari sebuah keluarga kecil yang mampu mengkader anak-anaknya menjadi Abdullah dan khalifah, sadar akan potensi yang dimiliki mereka dan mampu mengarahkan potensi tersebut ke arah yang benar, maka kita telah mempersiapkan generasi yang kuat sepeninggal kita nantinya.

Banyak hal yang dapat kita persiapkan sejak dini untuk menerima amanah mulia tersebut. Dan persiapan yang paling penting adalah dengan mengkader diri sendiri untuk senantiasa memperbaiki diri, meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan, serta tidak lupa untuk terus menyerukan kebaikan.

Sebagai orang yang sering terlibat dalam pengkaderan organisasi, saya berharap mampu menghasilkan kader-kader yang militant dan mampu menghasilkan generasi yang kuat. Selain itu, besar pula harapan saya untuk mampu mengkader anak-anak saya nantinya, sehingga mampu mneruskan perjuangan yang belum selesai untuk saya perjuangkan. Dan ketika ia dewasa nanti, ia mempersembahkan sebuah kata yang akan aku jadikan doa untukku saat ini. “Terima kasih bunda, telah memberikan kado special yaitu ayah yang sayang dengan kita semua, yang memberi teladan yang baik buat keluarga. Terima kasih Allah, telah memberikan kado special yaitu bunda yang telah mengajarkan banyak hal tentang kehidupan, memberikan kasih saying dan pendidikan yang sangat berharga, dan telah mengenalkanMu padaku, mengajarkan cinta padaMu, dan memberikan arti pada kehidupanku.”

"Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al Furqan:74)

Renungan Angka 3

Entah mengapa akhir-akhir ini hariku diwarnai dengan angka tiga. Tiga yang semula tidak memiliki arti istimewa kemudian menjelma menjadi sesuatu yang bermakna. Namun maknanya sendiri masih menjadi ambigu bagiku walaupun ingin sekali untuk ku uraikan satu persatu.

3 Agustus 2010
Inspirasi oh inspirasi. Mengapa kau terlambat sekali datangnya. Delapan bulan aku menunggu untuk menarikan tanganku kembali di atas keyboard untuk hanya sekedar mengungkapkan isi hati baik lewat puisi ataubun bahasa-bahasa misteri. Namun inspirasi baru muncul di hari ini. Tidak untuk mengenang apa-apa, hanya saja mungkin memang ada pemicunya. Apapun itu, aku bahagia di tanggal tiga ini aku kembali mencari jutaan inspirasi yang akan aku jadikan prasasti.

Mengenang 3 bulan
Apa yang terjadi selama tiga bulan? Tak mampu aku ceritakan. Karena kata tak mampu teruraikan dan ikrar masih ku tunaikan. Sebenarnya banyak sekali yang ingin aku bagi. Namun apa daya, dalam keterbatasan ini aku hanya mampu mengenangnya dalam memori, dan membaginya sedikit dalam sepenggal kisah ini.

Cerita bermula dari kejadian tiga minggu yang mendebarkan. Minggu pertama ada yang datang mengantarkan harapan. Namun aku tak lagi mempan dengan harapan-harapan yang dilambungkan tinggi-tinggi dan kemudian dilepaskan pergi, semakin tinggi tertiup angin dan akupun tak kuasa memegangnya lagi. Oke, aku tutup minggu pertama dengan istighfar. Minggu kedua, cerita berulang dengan tokoh yang berbeda. Cerita masih bertema sama dan ditutup dengan ending yang sama. Astaghfirullahal’adzim. Aku kira kejadian akan berhenti sampai disini, namun ternyata masih ada minggu ketiga. Dan menutup kisah cerita tiga minggu dengan tanda tanya.

Apa yang terjadi dengan angka tiga berikutnya? Ternyata begitu ampuh mengubah hidupku dan mengubah pandangan tentangku. Sampai sini aku tak mampu melanjutkan cerita. Karena warna-warninya begitu terasa. Bahkan aku tak mampu membedakan makna dari air mata, karena tawa, sedih, bahagia, asa, dan semua mimpi diwakilkan oleh air mata.





Bulan ketiga
Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi pada bulan ini, mungkin karena banyaknya amanah, atau karena lelah, bisa jadi ini adalah batu ujian yang memang harus dilalui untuk perbaikan diri. Namun ujian begitu berat untuk dilalui, dari awal hingga akhir di bulan ke tiga. Kuatkah aku menghadapinya? Tentu saja aku kuat dan mampu bertahan hingga saat ini. Meski angin badai menerpa, lelah mencapai puncaknya dan amanah bertubi-tubi meminta haknya. Dan semalam, aku tutup bulan ketiga dengan hamdalah. Sampai detik ini aku mampu tersenyum cerah. Entah esok hari, entah lusa nanti, entah. Adakah yang mampu memberikan garansinya? Tidak ada. Namun yang pasti, aku kan berusaha memenuhi apa yang telah menjadi kesepakatan bersama.

Resolusi tiga tahun
Tiga tahun itulah yang dipinta dan aku memenuhinya (?). Ada tanda tanya. Bukan ragu akan resolusi tiga tahunan itu. Namun hanya berusaha mempercepatnya saja. Namun jika memang pada akhirnya itulah yang tercipta, aku akan tetap tersenyum lega. Resolusi dua tahunan yang aku buat masih menyisakan tiga opsi yang berbeda. Artinya, masih akan banyak rencana-rencana yang belum bisa disusun dan dibayangkan sebelum aku menginjakkan kaki pada tahun kedua. Aku akan memenuhi janji yang telah terucapkan pada semua.
33 bulan
Akan banyak kejutan pada saat ini. KKN, PPL, skripsi, wisuda, kerja, konwil, berstruktur, demisioner, KB muda, mengabdi dan terus mengabdi. Hmmm menikah? Ini kata-kata sensitive yang aku coba hindari dalam penulisan renungan ini. Namun tentu saja hal tersebut menjadi persiapan berantai dalam cerita 33 bulan ini. Akan ada banyak mimpi, air mata, harapan, keinginan, kekecewaan, kebahagiaan yang mewarnainya. Dan harapanku, semoga mampu menutup renungan angka tiga ini dengan senyuman dan kebahagiaan. Apapun yang akan terjadi nantinya.
Ini adalah sekelumit cerita tentang angka tiga. Dan tentu saja setelah tiga tahun kedepan masih akan ada impian yang sangat panjang, harapan yang membentang luas yang akan aku ceritakan di lain episode. Tentang angka tiga ini, hanya sekelumit kisah menarik dalam hidupku untuk dibagikan. Meskipun cerita ini penuh makna, namun semoga tidak spekulatif dalam memaknainya. Karena ini semua cerita tentang keluarga, sahabat, teman-teman, aktivitasku, cerita hidupku, dan impian-impianku. Terima kasih kalian telah mengisi kehidupanku.


(Sebuah kisah yang menarik untuk memacu kembali inspirasi menulisku)
4 Agustus 2010